Suatu hari, seorang pembaca setia Alif mengunggah screenshot laman Alif yang menampilkan sosok perempuan berambut panjang terurai dengan baju bikini di grup WA.
Usai mengirim gambar tadi, ia mencoba meminta konfirmasi dari redaksi, mengapa iklan semacam ini bisa muncul di website keislaman sekelas Alif yang notabene sarat dengan pengetahuan agama. Alih-alih mendapatkan respon dari redaksi, pertanyaannya justru ditertawai sesama pembaca dan kontributor, “itu hiburan dan hanya muncul di hp antum, syeikh.”
“Mberkahi ya… “ jawab si penanya dengan nada bercanda.
Namun tak lama kemudian masuk respon lebih serius dari yang lain, “iklan itu muncul karena user kayak kamu sering akses kayak ginian, Gus.”
Pernyataan tadi kemudian didukung dengan salinan link yang menjelaskan bagaimana algoritma media sosial bekerja: sistem ini mengawasi segala hal yang disukai oleh penggunanya.
Tidak hanya itu, apa yang dikomentari dan dibagikan pemilik akun juga terekam secara rinci. Tak heran jika tiap pengguna media sosial seakan merasa bahwa dunia digital saat ini paling memahami kebutuhan dan segala informasi yang diperlukannya. Dengan kata lain, iklan-iklan yang muncul pada laman web kita akses merupakan cerminan histori si empunya ponsel.
Usai sesi berbagi pengetahuan yang singkat tersebut, sang pengkritik konten justru kini kena bully balik, “ketahuan kau, aib aib… hahaha…”
“Alhamdulillah jati diriku semakin kaffah,” responnya tengsin.
“Membongkar hobi dan keburukan sendiri ya?” ujar yang lain.
Tak berhenti disitu, arus sindiran ternyata makin kencang, “ah, kalau (hobinya) itu kami sebenarnya sudah tahu sejak lama, hahaha… “
Sontak, ia tak lagi melanjutkan kritiknya pada tim pengelola. Akhirnya, ia meninggalkan percakapan di grup dengan mengirim gambar baru yang menggugah nafsu birahi, eh selera: rujak petis dengan kerupuk sebagai pelengkap, “agar kuat dan tahan banting dari bully-an,” begitu katanya.