Sedang Membaca
Nashiruddin Al-Thusi, Penyelamat Khazanah Intelektual Islam
Mubaidi Sulaeman
Penulis Kolom

Dosen Pemikiran Politik Islam Universitas Islam Balitar (Unisba) Blitar.

Nashiruddin Al-Thusi, Penyelamat Khazanah Intelektual Islam

Nasiruddin Thusi

Nama lengkapnya adalah Abu  Jafar Muhammad Ibn Muhammaf al Hasan Nasr al-Din al-thusi al-Muhaqiqiy., ia adalah seorang sarjana yang mahir dalam ilmu Matematika,  astronomi, politik, geografi, farmasi, filsafat, mineragoli, teologi dan etika. Nama ayahnya adalah Muhammad Ibnu Hasan, yang mendidik Al-Thusi sejak pendidikan dasar, kemudian Al-Thusi berangkat menuju  Nishapur untuk meneruskan pendidikan ketingkat lanjut.

Di sana ia belajar matematika kepada Muhammad Hasib, selain itu dia juga belajar fikih, ushul, hikmah dan ilmu kalam kepada Mahdar Fard Al-Din Damad. Kemudian ia pergi Baghdad untuk belajar pengobatan dan filsafat pada Qutb Al-Din dan matematika kepada Kamal Al-Din Ibnu Yunus serta fikih dan ushul pada Salim Ibnu Badran.

Al-Thusi lahir pada tahun 1201 M / 597 H. Kemahirannya sangat terkenal, dia dikenal sebagai sosok yang cerdas dan dihormati oleh para Khalifah pada masa itu. Ia mempunyai pengaruh yang sama dengan gubernur dan menteri. Hal inilah yang membuat sejumlah orang memusuhi dan membencinya. Al-Thusi memulai karirnya sebagai ahli astronomi pada Nasir Al-Din Abd Al-Rahim, gubernur dari Benteng gunung Muhammad (618 -652 H / 1221 – 1225 M)  Syekh Agung (Khudawand) ke tujuh dari Alamut.

Namun nasib kurang beruntung bagi Al-Thusi, ketika ia dihentikan oleh atasannya. Sebab ia difitnah menyurati Wazir Khalifah Abassiah terakhir Al-Mu’thasim Billah. Kemudian ia dipenjara di Alamut.

Selama hidup di dalam penjara, Al-Thusi mengisi waktunya dengan belajar di dalam ruangan penjara yang kecil Al-Thusi menghasilkan sejumlah karya matematika yang kelak membuat namanya terkenal di dunia ilmu pengetahuan. Di antaranya  Al-Mukhtasar Bi Jami Al-Hisab Bi Al Takht Wa Al-Turab (ikhtisar dari seluruh perhitungan dengan rabel dan bumi), Kitab Al-Jabr Wa Al-Muqabala (risalah tentang aljabar),  Al-Usul Al-Maudua (risalah mengenai euclids postulate),  Al-Qawaid Al-Handasa (kaidah-kaidah geometri), Tahris Al-Ushul dan Kitab Shakl Al-Qatta (risalah tentang kuadrilateral).

Baca juga:  Puisi: Sebuah Representasi Keindahan untuk Merawat Alam

Mempertahankan Peradaban Islam dari Puing-Puing Kehancuran

Pada tahun 645 H / 1256 M ketika Raja Mongol Hulagu Khan, naik tahta dan memerintah di Baghdad ketika itu  Baghdad porak-poranda, banyak warga Baghdad mati dibunuh oleh Hulagu Khan, mereka membangun buku-buku yang ada di perpustakaan, dan menghancurkan karya-karya ilmu muslim, namun setelah penaklukan  yang di lakukan Hulagu Khan, Nashiruddin Al-Thusi mendapat pengampunan dan dibebaskan dari penjara. Raja Mongol itu tertarik dengan kepandaiannya al-Thusi ia kemudian ia diangkat menjadi dewan konsultan para dokter. Ia juga diberi jabatan sebagai ketua lembaga pewakafan, yang kuasai oleh raja Hulagu Khan.

Ketika Al–Ghazali saja yang melakukan serangan terhadap filosuf, langkahnya diikuti oleh  Farhruddin Ar-Razi, -seorang teolog, mufasir Al Quran dan banyak menulis tentang Ilmu pengetahuan Alam dan matematika yang hidup hampir se-abad dengan Al-Ghazali. Kritik Fakhuruddin Al-Razi tersebut mempunyai akibat lebih lanjut dilihat dari segi tenis filosofis ketimbang serangan Al-Ghazali. Ar-Razi berupaya menghancurkan pengaruh fisafat Ibnu Sina buku pedoman dan catatan.

Kritik Al-Gazhali dan Fakhrudin Al-Razi tersebut disambut oleh Al-Thusi yang berusaha menegakkan  kembali aliran Ibnu Sina, dengan menulis ulasan atas kitab. Al-Isyarat Wa Al-Tan Bihat, yang di tulis oleh Ibnu Sina. Usaha inilah yang memberikan pengaruh dan bertahan lama ketimbang karya Ibnu Rusyd , dengan Tahafut Al-Tahafut khususnya di belahan timur. Sehingga di Timur Al-Thusi dikenal sebagai filosof, sementara di Barat sebagai matematikawan dan astronom dengan karyanya Syaklul Qitha’ yang mana buku ini merupakan karya ilmiah pertama yang memisahkan antara perhitungan segitiga dan ilmu astronomi, sehingga menjadikan keduanya menjadi disiplin ilmu tersendiri.

Baca juga:  Merayakan Natal Bersama Gus Dur

Nashiruddin Al-Thusi karena kemahsyurannya memiliki beberapa gelar seperti orang persia menyebutnya Ustad Al-Basyar (guru manusia), Ivanov menjulukinya dengan “kamus hidup”, Bar-Hebraeus menganggapnya sebagai “orang yang berpengetahuan luas di semua cabang filsafat” dan Afnan menyebutnya sebagai “komentator mahir terhadap Ibnu Sina.

Membangun Observatorium Maraghah   

Terlepas dari kekejaman yang Hulagu Khan lakukan. Ia sangatlah menghormati dan menghargai Al-Thusi sebagai penasehat serta sahabatnya. Hulagu Khan malah membantunya mengumpulkan buku-buku dari negeri-negeri yang ia taklukan untuk diserahkan kepada Al-Thusi. Bahkan  karena istimewa, Nashiruddin Al-Thusi  dapat membujuk seorang Hulagu Khan untuk mendirikan sebuah Observatorium di Maraghah Azarbaijan.

Observatorium didirikan pada tahun 657 H / 13 M. Di Observatorium inilah karya-karya intelektual muslim zaman dinasti Abbasiyah yang berada di Baghdad dan negeri-negeri lain yang masih yang masih bisa diselamatkan oleh Al-Thusi sebagai harta warisan yang tak ternilai harganya untuk perkembangan keilmuan Islam di masa yang mendatang.

Observatorium ini juga memiliki peran  penting dalam 3 hal: yang pertama, ia merupakan Observatorium pertama yang banyak di dukung, sehingga begitu ia membuka pintu bagi komersialis Observatorium di masa mendatang.

Kedua, sebagaimana Ibnu Tufail (meninggal tahun 581 H/1185 M) yang membuat pemerintahan Khalifah Abd Al-Mu’min menjadi galaksi intelektual cemerlang yang mendorong perkembangan pengetahuan dan kebijaksanaan di Barat, Al-Thusi membuat observatorium Maraghah menjadi suatu “majelis yang hebat” yang terdiri atas oramg-orang pandai dan terpelajar dengan membuat rencana khususnya untuk pengajaran ilmu-ilmu filsafat, disamping matematika dan astronomi dan juga dengan jalan menyisihkan uang bantuan dari Khalifah untuk beasiswa murid-muridnya yang pandai.

Baca juga:  Teladan Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari dalam Menerima Tamu

Ketiga, Observatorium itu dihubungkan dengan sebuah perpustakaan besar tempat tersimpannya khasanah pengetahuan yang tak terusakan, yang dirampas oleh bangsa Mongol ketika mereka menaklukan Irak, Baghdad, Syira dan daerah daerah lain. Menurut Ibnu Syakir perpustakaan itu berisi lebih dari 400.000 judul buku.

Di samping itu didukung oleh staf, yang terdiri astronom terkemuka pada abad itu, seperti Mohi Al-Dinal Maghribi dan Abu Faraj. Sehingga memudahkan melakukan penelitian-penelitian yang sangat penting di bawah pimpinan Al-Thusi. Ia juga mempertahankan pengaruhnya di istana hingga Hulagu Khan wafat dan digantikan Abaka, sampai ia wafat pada tanggal 26 juni 672 H / 1274 M di Baghdad.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top