Dalam webinar isu strategis TUNAS GUSDURian, Selasa (8/12) Hairus Salim penulis buku Sang Kosmpolit mengatakan, “Saya pikir pribumisasi islam butuh banyak pertanyaan interogasi agar kita mendapatkan wawasan luas. Misalnya pertanyaan apakah pribumisasi islam itu strategi? Ketika strategi itu sudah tidak dibutuhkan lagi, ia ditinggalkan.”
Lanjut Hairus Salim dalam pemaparanya melalui zoom meeting, “Saya ambil contoh di wilayah tempat tinggal saya di Banjarmasin. Kebanyakan teman-teman di luar mengutip atau mencutat Banjarmasin itu kesultanan yaitu Syekh Muhammad Al Banjari. Sebenarnya itu namanya Banjar Kuala, Banjar yang di pantai, tetapi Banjar yang di pedalaman, sangat beda sekali. Ada dua hal menarik bagaimana pribumisasi dilakukan sebagai strategi karena itu ditinggalkan sudah tidak dibutuhkan lagi.”
Istilah harta pamantangan misal, itu harta gono-gini di dalam keluarga. Di Banjar tempat saya, di Hulu, harta pamantangan itu bukan harta suami dan istri tetapi itu antara orang Banjar pedalaman dengan orang Dayak, yaitu Masjid. Ada beberapa masjid menurut catatan antropologis historis dibangun oleh orang Dayak dan orang Banjar, bayangkan masjid dibangun oleh dua orang Dayak yang masuk islam dan orang Dayak yang belum masuk islam disebut sebagai masjid pemantangan.
Artinya, masjid itu dipakai oleh dua orang, dua kelompok, orang islam dan orang Dayak yang tidak islam. Kemudian sejarah berkembang sebenarnya orang Hulu islamnya di akhir abad ke-19. Ketika islam menjadi kuat, ada dua kejadian, mungkin orang Dayak itu diusir dari masjid atau dari kampung tersebut atau orang Dayak sudah tidak tahan lagi dengan mereka, sehingga pergi dari situ.
Kasus ini menunjukkan hal yang menarik, apakah pribumisasi islam itu adalah strategi ? Saya kira kebanyakan orang mengartikan strategi. Ketika pada saat yang sama gerakan apakah itu reformasi atau arabisasi namanya dianggap sudah tidak relevan lagi dan ditinggalkan, ini menarik.
Yang kedua, kami waktu kecil, di Hulu, menyebut mushola itu balai, sekarang sudah langgar atau mushola. Kenapa balai? karena balai itu adalah tempat pertemuan orang-orang Dayak dulu sampai sekarang. Setiap acara di balai tetapi sekarang generasi di bawah saya tidak tahu karena ditinggalkan. Karena balai sekarang menjadi tempat ibadah secara resmi sebagai nama tempat ibadah orang-orang Dayak.
Dua contoh itu saya kemukakan untuk memperluas horison dimana pribumisasi islam dilakukan mungkin dari budi baik orang Dayak atau di sisi lain dilakukan oleh umat islam berdasarkan hitungan waktu dan tempat yang terbatas. Jadi ia tidak akan permanen dan ia tidak akan diperluas. Buktinya istilah balai dan masjid pamantangan tidak sampai ke Banjarmasin.
Pertanyaan sederhananya apakah pribumisasi itu sebuah strategi saja? atau suatu pilihan permanen.
Kalau kita lihat rupanya pribumisasi islam dalam arti praktik-praktik yang dilakukan umat islam di berbagai tempat selama ini sebagai strategi. Ketika islam kuat sudah tidak butuh lagi.
Ada dua hal berbeda dalam konteks ini. Selain mengkaji kitab-kitab, studi- studi history antropologis itu juga penting untuk meletakkan praktek-praktek bagaimana pribumisasi islam dimasa lalu dilakukan terutama dalam konteks hubungan antar agama.
Pewarta : Suci Amaliyah