Tak dapat dimungkiri dalam kehidupan sehari-hari kita seringkali menjumpai banyak orang berdebat, baik di acara formal maupun di media sosial. Perdebatan ini biasanya terjadi disebabkan adanya perbedaan pendapat, pandangan, dan pemikiran tentang sebuah persoalan dari kedua belah pihak atau lebih yang terlibat di dalamnya dengan tujuan untuk mencari kebenaran (jawaban yang benar) ihwal persoalan tersebut.
Namun berbeda dengan fakta di lapangan, dimana perdebatan yang dilakukan tak jarang menimbulkan permasalahan baru. Alih-alih mencari kebenaran dengan menyodorkan pelbagai data dan argumentasi memadai, justru permusuhanlah yang terjadi di antara kedua belah pihak atau lebih. Hal ini disebabkan karena dalam berdebat masing-masing mereka berupaya untuk saling menjatuhkan semisal, tidak menghargai pendapat orang lain, mencaci maki, merendahkan, dan lain-lain.
Oleh karena itu, agar perdebatan yang dilakukan kita tidak menimbulkan permusuhan penting kiranya untuk meneladani tata cara atau gaya Imam Syafi’i ketika berdebat dengan orang lain. Seperti diketahui bersama, Imam Syafi’i selain dikenal sebagai mujtahid mutlak, imam mazhab fikih, dan pakar ushul fikih paling kesohor, juga dikenal sosok yang gemar berdebat atau berdiskusi. Tak mudah bagi lawan debatnya untuk mematahkan argumentasinya begitu saja.
Sementara lawan debatnya pun tidak tanggung-tanggung. Ia merupakan para ulama-ulama kesohor yang kealimannya sudah masyhur di kalangan masyarakat. Salah satunya adalah ulama sangat senior dari Mazhab Hanafi, Syekh Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Keduanya sering terlibat perdebatan cukup alot dan apik terutama menyangkut dalil-dalil agama. Itu terjadi berkali-kali. Dan berkali-kali pula Syekh Asy-Syaibani dibuat tidak berkutik oleh Imam Syafi’i.
Menariknya, Syekh Asy-Syaibani justru mengagumi lawan debatnya itu. Bukan marah, dendam, mencaci maki apalagi merasa sakit hati. Sebaliknya, beliau malah mengagumi Imam Syafi’i. Mengapa bisa demikian? Selain karena argumentasi Imam Syafi’i cukup berkualitas (dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya), juga dalam berdebat Imam Syafi’i bertujuan untuk mencari kebenaran serta kekeliruan akan argumentasinya. Hal ini tampak dalam salah satu pernyataannya:
“Aku berdebat dengan seseorang bukan karena aku suka mencari kesalahan-kesalahannya. Di hatiku, tiada secuil ilmu pun, kecuali hal itu ada di setiap orang. Aku tidak berdebat dengan seseorang, kecuali atas dasar kebijaksanaan (dalam rangka memberi nasihat).”
Lebih jauh, dalam kitab Diwan Asy-Syafi’i (kumpulan syair Imam Syafi’i), halaman 65, Imam Syafi’i melantunkan syair, dan kemudian dijadikan etika pakem oleh Imam Syafi’i bagi siapa saja yang berkeinginan untuk melalukan perdebatan dengan orang lain:
اِذَا مَا كُنْتَ ذَا فَضْلٍ وَعِلْمٍ # بِمَا اخْتَلَفَ الْأَوَائِلُ وَالْأَوَاخِر
فَنَاظِرْ مَنْ تُنَاظِرُ فِى سُكُوْنٍ # حَلِيْمًا لَاتُلِحُّ وَلَا تُكَابِر
يُفِيْدُكَ مَا اسْتَفَادَا بِلَا امْتِنَانٍ # مِنَ النُّكَتِ اللَّطِيْفَةِ وَالنَّوَادِر
وَاِيَّاكَ اللَّجُوْجَ وَمَنْ يُرَائِي # بِأَنِّي قَدْ غَلَبْتُ وَمَنْ يُفَاخِر
فَإِنَّ الشَرَّ فِي جَنَبَاتِ هَذَا # يُمَنِّي بِالتَّقَاطُعِ وَالتَّدَابُر
Apabila engkau adalah orang mulia dan berilmu, (memiliki pendapat) berbeda dengan orang lain,
maka hadapilah lawan debatmu dalam keadaan tenang, sabar, tidak pongah dan tidak sombong.
Janganlah kamu memiliki sikap keras kepala atau merasa sombong.
Apa yang ia peroleh tentang kelembutan perilaku, dan hal-hal yang jarang terjadi akan sangat berguna bagimu.
Waspadalah terhadap air yang dalam dan terhadap orang yang suka memamerkan (sesuatu),
dengan menganggap bahwa dirinya sudah unggul dan orang-orang yang berbangga diri.
Sebab, sebenarnya kejelekan itu berada di balik itu semua. Dan juga ia bermaksud untuk memutus persahabatan.
Dari bait-bait syair Imam Syafi’i di atas, kita bisa mengambil pelajaran bahwa dalam melakukan perdebatan seyogianya seseorang harus mengedepankan nilai-nilai etika. Dengan kata lain, perdebatan mesti dilakukan dengan sikap yang tenang, menghargai pendapat orang lain, tidak mencaci maki, tidak bernuansa ujaran kebencian apalagi sampai menyulut api permusuhan dan ungkapan-ungkapan yang tidak senonoh lainnya.
Demikianlah, gaya atau tata cara berdebat ala Imam Asy-Syafi’i yang patut kita teladani dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun kealimannya dalam pelbagai disiplin ilmu sudah masyhur di penjuru dunia, namun beliau tetap bersikap tawaduk. Betapa mulia dan luhurnya akhlak seorang Imam Asy-Syafi’i. Lantas bagaimana dengan kita? Akankah perdebatan yang kita lakukan hanya untuk mencari kemenangan atau popularitas semata? Wallahu A’lam