Kritik terbuka Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terhadap pengesahan UU Cipta Kerja mengawali hubungan baru antara organisasi Islam terbesar itu dan pemerintahan Jokowi. Bahkan dalam video yang kemudian menjadi viral, pimpinan NU KH Said Aqil Siroj menyebut dengan tegas UU tersebut hanya menguntungkan konglomerat tetapi meminggirkan rakyat kecil. Lebih lanjut NU konon akan membawa UU itu ke Mahkamah Konstitusi untuk ditinjau ulang.
Sikap oposan NU terhadap pemerintahan Jokowi memang sudah mulai tampak sejak akhir tahun lalu. Ketika presiden mengumumkan anggota kabinetnya, sejumlah ketidakpuasan di kalangan NU muncul ke permukaan. Sebagai pihak yang merasa telah mengantarkan Jokowi ke kekuasaan, representasi NU dianggap kurang.
Akan tetapi, kritik kali ini sungguh serius. Perkaranya sangat fundamental, bukan sekadar ketidakpuasan bagi-bagi jatah kekuasaan. Dalam detail pernyataannya mengenai UU Cipta Kerja, PBNU setidaknya menyebut empat hal yang bermasalah. Selain soal ketenagakerjaan, isu lainnya adalah terkait pertambangan, pangan, dan sertifikasi halal.
Sikap PBNU yang keras ini menarik karena berseberangan dengan pandangan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dianggap anak kandung resminya. Tidak hanya itu, kenyataan bahwa mantan Rais Aam PBNU KH Maruf Amin adalah wakil presiden saat ini membuat sikap tersebut menimbulkan tanda tanya. Apa yang terjadi sesungguhnya?
Jika kita menengok sebentar ke belakang, ke tahun 1980-an dan 1990-an, apa yang disuarakan oleh NU hari ini sesungguhnya tidak mengejutkan. Memang begitulah wajah NU di hadapan kekuasaan. Saat itu, terutama sejak Gus Dur memimpin pada 1984, NU adalah organisasi masyarakat sipil yang paling diperhitungkan. Ada kalanya ia mendukung kebijakan pemerintah, seperti UU No. 3/1985 mengenai asas tunggal, tetapi ada kalanya juga ia keras menentang. Hal terakhir ini semakin diperankan oleh Gus Dur pada awal 1990-an ketika dia menilai pemerintahan Orde Baru semakin sektarian.
Bagi Gus Dur, perubahan orientasi Soeharto yang mendekat kepada kelompok Islam politik bukan pertanda baik, melainkan sebaliknya. Oleh karena itu, secara tegas dia menolak bergabung dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada 1990 karena dipandang hanya merupakan perpanjangan tangan rezim penguasa.
Anti-sektarianisme yang diusung oleh Gus Dur menjadi tema utama NU sebagai organisasi masyarakat sipil. Konteksnya adalah kebangkitan kembali agama di ruang publik. Namun karena diisi oleh pemahaman agama yang ekslusif ditambah dengan politisasi yang juga tidak kalah ekslusifnya, kebangkitan agama membuahkan wajah Islam yang konservatif. Terutama sejak awal 1990-an itu NU bertarung habis-habisan melawan kecenderungan ini.
Tema anti-sektarianisme masih bertahan sebagai narasi utama NU hingga pemerintahan Jokowi periode pertama berjalan. Meski tidak diresmikan, jelas sekali sebagian besar orang NU mendukung Jokowi karena—dibanding lawannya Prabowo Subianto—dia dianggap lebih memberikan harapan bagi terwujudnya narasi utama tersebut. Tema ini, yang dalam bahasa populer dikenal sebagai toleransi, memang cocok dengan kesan yang dibangun oleh Jokowi dalam rangka mengatasi intoleransi yang begitu menggejala.
Akan tetapi, sekarang menjadi lebih jelas, termasuk bagi kalangan NU sendiri, betapa tema anti-sektarianisme atau toleransi mempunyai jebakannya sendiri. Memusatkan perhatian pada isu-isu keberbedaan kultural membuat NU terlepas dari arus yang ternyata lebih deras: menguatnya ketimpangan karena kapitalisme yang melulu mengurusi pertumbuhan ekonomi.
Di awal periode kedua pemerintahan Jokowi, arus ini terasa mengusik keprihatinan. Terlebih lagi di tengah situasi pandemi, pengesahan UU Cipta Kerja membuat arus itu seolah-olah menenggelamkan rakyat kecil yang sudah kesusahan.
Keterlepasan NU dari perhatian terhadap masalah ketimpangan dialami juga oleh organisasi masyarakat sipil lainnya. Namun ini juga bukan hanya fenomena di Indonesia, melainkan fenomena global. Sejak tahun 1980-an, narasi utama organisasi masyarakat sipil memang didominasi oleh wacana keadilan rekognisi yang berpusat pada pertanyaan bagaimana kita menerima keberbedaan kultural. Makanya yang dikampanyekan adalah pluralisme dan multikulturalisme. Sementara itu, wacana keadilan redistribusi yang bertanya bagaimana kita membagi kesejahteraan terutama di antara mereka yang termarginalkan surut ke ke belakang.
Sekarang, di periode kedua pemerintahan Jokowi, wacana keadilan redistrubusi seakan bangkit dari kuburnya. Ini merupakan keniscayaan zaman. Ini juga, sekali lagi, bukan hanya fenomena di Indonesia, melainkan fenomena global. Krisis kapitalisme yang terlihat telanjang di era pandemi ini menyingkapkan adanya ketimpangan antara si kaya dan si miskin yang sangat lebar. Melihat ini, organisasi masyarakat sipil seperti NU seperti tersadar.
Inilah saatnya mereka mereorientasi tujuan gerakannya dan ini pula konteks struktural dari kritik PBNU terhadap UU Cipta Kerja. Bukan berarti isu anti-sektarianisme atau toleransi tidak penting, tetapi melepaskanya dari konteks ekonomi politik yang lebih luasa adalah kekeliruan yang harus segera dibayar. Saya kira NU sudah membayarnya tunai.