Pengantar: Komunitas Generasi Literat yang didirikan oleh aktivis perempuan Milastri Muzakkar menginisiasi kegiatan #MerayakanMerdekaDariRumah. Proyek ini mengajak anak muda dari berbagai daerah untuk menggali kembali dan menuliskan nilai-nilai persatuan dalam kearifan lokal di berbagai daerah di Indonesia, yang sangat penting untuk dipraktekkan di masa pandemi. Karena itu, mereka disebut “Guide (virtual) Indonesia”, yang mengajak para pembaca untuk berwisata ke berbagai daerah. Generasi Literat memilih cara ini untuk merayakan merdeka dari rumah sebab kegiatan ini memiliki dua kekuatan: anak muda dan kearifan lokal. Keduanya adalah modal besar yang dimiliki Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan maju. Untuk itu, mulai Minggu, 16 Agustus 2020 hingga sepuluh hari ke depan, alif.id akan memuat karya para Guide (virtual) Indonesia Generasi Literat. Dirgahayu Republik Indonesia. Salam literasi.
Indonesia sebagai negara kepulauan adalah negara-bangsa yang memiliki kekayaan dan keragaman budaya nusantara yang menjadi daya tarik tersendiri di mata dunia. Seharusnya hal ini dapat dijadikan modal untuk menaikkan citra bangsa di mata dunia sekaligus menebarkan nilai-nilai fundamental yang berfungsi merekatkan persatuan.
Mencintai keanekaragaman seni dan tradisi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan tanggung-jawab kita semua sebagai warga negara Indonesia. Keanekaragaman ini merupakan suatu kekayaan bangsa Indonesia yang harus dijaga dan dilestarikan agar tidak dicuri atau ditiru oleh bangsa lain.
Melestarikan kebudayaan bangsa tidak dapat dibatasi oleh usia maupun golongan. Gotong-royong seluruh warga Indonesia menjadi hal yang utama untuk menjaga kelestarian tersebut, terlebih lagi negara kita Indonesia terbentuk atas dasar semangat gotong royong yang tinggi.
Salah satu budaya gotong royong yang masih lestari di Indoneisa adalah belale’ yang menunjukkan solidaritas warga petani di Sambas. Belale’ sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu di Sambas. Sistem kerja gotong royong ini memiliki hak untuk dibantu dan berkewajiban untuk membantu.
Belale’ berasal dari bahasa Melayu Sambas yang berarti suatu kegiatan atau sistem kerja yang dilakukan secara bersama-sama dalam mengerjakan sesuatu. Sistem belale’ memiliki kesamaan dengan sistem arisan. Yang beda adalah bentuk dari kegiatan yang dilakukan tersebut. Meskipun demikian, nilai-nilai gotong royong dan kebersamaan ikut tertanam dalam tradisi ini.
Tradisi belale’ ini biasanya dilakukan pada waktu akan menanam padi, saat padi sudah tumbuh yang diikuti dengan membersihkan lahan dari rumput liar dalam bahasa Sambas disebut ”merumput” atau menuai padi yang dalam bahasa Sambas disebut ”beranyi”.
Tradisi belale’ ini digeluti oleh kaum ibu-ibu petani. Jumlah orang yang di ajak/diperlukan dalam belale’ sesuai dengan musyawarah dan kesepakatan mereka dalam menggarap sawah. Waktu dalam pengerjaan belale’ ini juga sesuai kesepakatan bersama, akan tetapi biasanya dilakukan pada pagi hari dan sore hari. Yang mana pada pagi hari kisaran waktu antara jam 6 sampai jam 9, dan dan untuk sore hari kisaran waktu antara jam 13 sampai jam 16, seperti dikutip nusantaranew.com.
Tradisi belale’ ini cukup aman dilakukan walau di musim pandemi seperti sekarang ini, dikarenakan kegiatannya yang dilakukan di persawahan dan berhadapan langsung dengan matahari, pengerjaannya pun juga saling berjarak, Hanya tinggal memakai masker sebagai pelengkapnya.
Terselip pesan moral dan sosial yang di sampaikan dalam budaya belale’ di Sambas Kalimantan Barat ini. Pesan tersebut terkandung dalam tujuan belale’. Pesan dan tujuan itu meliputi:
1) Pekerjaan akan cepat selesai dikerjakan bersama-sama. Hal ini khususnya pada pekerjaan di sawah yang berkaitan dengan masalah waktu dan energi yang dikeluarkan.
2) Untuk mempererat dan memperkokoh jalinan silaturahmi terutama kepada sesama petani, dan dapat saling berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam bertani.
3) Terciptanya kehidupan yang tentram dan harmonis. Dapat menimbulkan kesadaran bahwa manusia adalah makhluk sosial, tidak dapat hidup sendiri.
Sebagaimana yang disebutkan di awal, lumrahnya yang berperan dalam budaya belale’ ini adalah kaum ibu-ibu. Tradisi ini memberi ruang kepada kaum perempuan untuk bekerjasama dengan kaum laki-laki. Hal ini menunjukan pula bahwa kaum perempuan tidak hanya bisa mengurus pekerjaan rumah tangga, tetapi juga bekerja di persawahan.