Dulu, ketika masih di madrasah, ketika sebelum pelajaran dimulai, para santri diminta untuk berdoa. Dengan niatan, dalam proses belajar (bertholabul ‘ilmi) para santri mendapatkan ridho dari Allah Swt dan dimudahkan ketika menyerap ilmu dari para masyayikh (guru/kiai).
Wajar jika sudah memasuki pukul 07.15 WIB, dari corong TOA sekolah ada seorang yang memimpin ritual do’a. “Ya Fattahhu Yaa ‘Alim-Iftah Lanaa Baaba Fadhlikal ‘Adzim. Dst..” (doa pembuka). Dan sewaktu usai pelajaran, hendak pulang, juga diakhiri dengan bacaan pujian atas ilmu yang diperoleh seharian dengan membaca: “Subhanarabbika Rabbil ‘Izzati ‘Amma Yashifun…” .
Namun yang menarik adalah hal ihwal ritual semacam itu hampir tidak pernah saya temukan sewaktu di bangku kuliah/kampus. Guru atau dosen mengajak para mahasiswa dalam mengawali kuliah dengan berdoa. Terkadang, pas pertama kali masuk di dunia kampus, saya merindukan hal-hal yang begitu; berdoa. Kelihatannya sih sederhana, tapi penting, karena addu’a shilah al-mu’min. Doa adalah senjatanya orang mukmin.
Di kalangan pesantren, do’a memang menjadi andalan, senjata utama. Tidak hanya seusai mengerjakan shalat saja, tetapi di dalam segala hal. Mulai bangun tidur, sampai tidur lagi, diajarkan berdo’a. Dalam analisis Toshihiko Izutshu—seorang orientalis asal Jepang yang mengaji ayat-ayat al-Qur’an—hal ihwal itulah yang dinamakan relasi Tuhan dan manusia dalam bentuk komunikasi verbal. Yakni dari manusia ke Tuhan. Lebih lanjut bisa baca bukunya; God And Man In The Koran.
Do’a, mantra, wirid, ataupun lainnya yang berupa pengharapan dari hamba ke Tuhan merupakan sugesti. Anda yang tidak bertuhan sekalipun (katakanlah atheis), pada hakikatnya akan mengakui keberadaan-Nya, mengakui ada kekuatan besar di luar diri kita, dengan fakta bahwa dalam benak Anda (yang atheis) selalu ada pengharapan-pengharapan, selalu ada do’a-do’a walau dalam hati kecil. Hal itu tidak bisa dipungkiri. Bahkan, Tuhan sendiri pun berdo’a kepada hambanya, yakni dengan bersholawat kepada Nabi Saw (baca: surat Al Ahzab ayat 56).
Walaupun demikian, tidak semua do’a, harapan, keinginan yang kita minta selalu diijabahi dan dikabulkan oleh-Nya. Karena itu, tidak semua do’a itu baik untuk kita, dan tidak semua permintaan itu menjadikan diri kita lebih baik (seperti gambaran di film drama religi yang diperankan oleh Aming; “Do’a yang Mengancam”).
Bukankah telah banyak di antara kita yang tidak meminta tetapi diberi, dan yang terus-terusan meminta tidak kunjung ditepati? tanya kenapa?
Oleh sebab itu, para guru saya memberikan beberapa tips supaya doa kita diijabahi oleh Allah Swt. Yang pertama, berdoa dalam keadaan suci (dari segala hadas dan najis, baik badan maupun tempat). Yang kedua, berdoa dengan menghadap ke arah kiblat disertai kekhusyu’an dan menundukkan kepala sebagai bentuk kita menghamba/mengemis kepada Sang Pencipta. Hal ini sebagaimana yang diajarkan oleh Njeng Nab Saw. Yang ketiga, sewaktu berdoa diawali dengan membaca Bismillah, Alhamdulillah, dan sholawat atas nabi (dan di tutup juga dengan bacaan sholawat). Guru saya pernah menyatakan, barang siapa yang berdoa diawali dan diakhir dengan sholawat, tidak akan tertolak doanya. Yang keempat, cari timing yang tepat (waktu-waktu mustajabah), seperti pada waktu sepertiga malam, disaat shalat tahajud, misalnya. Intinya kondisi kita sedang fresh, tidak banyak pikiran atau beban.
Insya Allah keempat hal itu jika dirutinkan, doa-doa yang kita panjatkan akan dikabulkan oleh Allah Swt. Tentunya, selain berdoa, ada ikhtiar atau usaha yang mesti diupayakan. Misalnya, kalau Anda saat ini sedang jomblo dan ngebet banget ingin mendapatkan pasangan, ya usaha dong!
Pedekate ke gebetan atau langsung ke calon mertua malah lebih bagus, cari kepastiannya. Mumpung sebentar lagi lebaran lho, setelah doa dilakukan, saatnya beraksi! Wallahhu a’lam.