Nama Balochistan mungkin tidak begitu familiar di telinga kita. Sebagai bagian dari wilayah Pakistan, pemberitaan Balochistan masih kalah dengan Islamabad, Karachi, Kandahar, dan Lahore, misalnya. Namun, menyangkut posisi strategis sebagai (potensi) titik perdagangan dunia, Balochistan berada pada posisi terdepan.
Anggapan tentang posisi strategis Balochistan diungkapkan pemikir ekonomi ternama Robert D Kaplan, dalam artikelnya di The Atlantic dengan judul Pakistan’s Fatal Shore (05/2009). Kaplan menggambarkan tiga milieu penting peradaban dan perdagangan dunia. Pertama, di masa lalu orang mengenal Carthage, Thebes, Troy, Samarkand, dan Angkor Wot. Kedua, Kaplan menyebut saat ini milieu itu berada di Dubai, Singapura, Teheran, Beijing, dan Washington. Ketiga, milieu masa depan diantaranya adalah Gwadar di Balochistan.
Tiongkok seperti telah “mendengar” wejangan Kaplan sejak lama. Mereka telah berinvestasi besar-besaran di Gwadar. Tahun 2015, Tiongkok dan Pakistan menyepakati Koridor Ekonomi China–Pakistan atau China-Pakistan Economic Corridor (CPEC) senilai 62 Miliar USD. Paket kerja sama ini dengan tujuan dasar menjadikan Gwadar sebagai hub perdagangan laut dan udara internasional dan terhubung langsung dengan Tiongkok.
Bagi Tiongkok, Balochistan selayaknya “halaman belakang”. Selain akses dan posisi pentingnya secara geografis, Balochistan menyediakan kekayaan alam yang besar. Sementara itu, “halaman depan” Tiongkok sampai kini masih menghangat dan cenderung panas. Sengketa perbatasan dan keinginan Tiongkok di Laut China Selatan berhadapan langsung dengan Filipina, Vietnam, Malaysia, Indonesia, dan negara lainnya. Topik ini juga menarik Amerika dan Australia untuk memerankan diri dalam skala kepentingan masing-masing.
Hingga kini, pemberitaan dan studi tentang Balochistan relatif tidak mudah didapatkan, karena perlakuan tersendiri yang diterima warga Baloch dari negara Pakistan. Upaya untuk memisahkan diri dari Pakistan terus berlangsung hingga kini. Sikap ini didasari anggapan warga Baloch yang merasa wilayahnya dicaplok Pakistan pada saat berdiri dan diakuinya Pakistan sebagai negara. Perlakuan pada Balochistan juga dinilai sangat diskriminatif dibanding warga Punjab.
Saat ini psikologi warga Balochistan merasa bahwa wilayah dan kedaulatan mereka sedang “dijual” kepada Tiongkok. Banyaknya pembangunan infrastruktur dan penambangan alam tanpa melibatkan Balochistan dianggap sebagai pelengkap derita diskriminasi sosial-politik dan pelanggaran hak asasi manusia selama ini. Eks Perdana Menteri Pakistan Nawaz Sharif dan para pendudkungnya di Punjab dinilai lebih banyak mendapat keuntungan dari CPEC dan BRI secara umum.
Sejarah Singkat Balochistan
Balochistan adalah salah satu provinsi di Pakistan, terluas di antara 3 provinsi lain (Punjab, Sidh, dan North West Frontier). Meskipun demikian, Punjab adalah etnis terbesar di Pakistan. Etnis lain yang mewarnai Pakistan adalah Pashtun, Afghan, Brahui, dan banyak lainnya. Mozaik etnis seperti ini mewarnai upaya Pakistan dalam membangun identitas nasional.
Dari sejarah peradabannya, Balochistan memiliki keunikan tersendiri. Dalam Balochistan, in Quest of Freedom (2017), Syed Ramsey menjelaskan bahwa Balochistan dibangun oleh kekuasaan Arab dan Sassanid (abad 5 dan 7), Persia (dimulai dari Dinasti Ghaznawi pada era Nasiruddin Sabuktagin pada abad 12), Mongol (saat Chagatai berkuasa), Mughal India (abad 16), dan Dinasti Qajar (abad 19).
Memasuki abad 20, Balochistan terdampak oleh pembagian wilayah yang diprakarsai Inggris dan Iran. Akibatnya, sebagian wilayah Balochistan menjadi wilayah Iran dan sebagian lainnya berdiri sebagai Balochistan dan “dimasukkan” ke dalam kekuasaan Pakistan.
Letak dan Geopolitik Strategis Balochistan
Dari sudut maritim, Balochistan berada di sebelah selatan Laut Arab, di mulut Selat Hormuz. Sebagai titik persinggungan geopolitik, Balochistan selayaknya Turki yang menghubungkan Asia – Eropa – Kaukasus, karena terhubung langsung dengan wilayah geopolitik Timur Tengah, Asia Barat Daya, Asia Tengah, dan Asia Selatan. Lokasi geografisnya telah menempatkan wilayah yang relatif sepi itu dalam lingkup persaingan global yang intens.
Gwadar dan Balochistan akan makin penting dan memainkan peran krusialnya ke depan setidaknya karena beberapa alasan. Alasan utamanya adalah kepentingan bersama China – Rusia. Kedua negara besar ini sama-sama berkepentingan dengan kondisi geopolitik Kaukasus dan Asia Tengah.
Jika Balochistan dan Gwadar perlu mendapat perhatian ekstra dari Tiongkok sebagai hub perdagangan dan keamanan kawasan, hal yang sama perlu dilakukan Rusia pada negara-negara Asia Tengah dan bentang Kaukasus Utara dari “godaan” Amerika dan NATO. Keberadaan Gwadar menjadi sangat penting untuk menopang aktifitas Rusia atas ekplorasi minyak di Kazakhstan dan Georgia serta ambisi China untuk menghidupkan kembali Jalur Sutra sebagaimana tertuang dalam dokumen Silk Road Economic Belt (SREB) tahun 2013.
Alasan lainnya, posisi strategis Gwadar. Saat ini, kondisi jalur perdagangan utama tidak terlalu menggembirakan dari sisi keamanan. Di Teluk Aden, keberadaan para perompak Somalia masih belum bisa diatasi dengan tuntas. Demikian juga kegaduhan Teluk Oman yang menjadi pintu masuk ke Doha, Dubai, dan seterusnya. Laut China Selatan yang menghubungkan Asia Tenggara menuju Asia Tengah, Timur Tengah, dan Eropa juga seperti “sengaja” dibuat gaduh. Menimbang hal demikian, Gwadar yang cenderung tenang jelas bisa menjadi alternatif sebagai titik perdagangan utama.
Namun demikian, Gwadar dan Balochistan sulit untuk menuju kondisi ideal yang diidamkan karena beberapa alasan. Pertama, lemahnya keuangan dan perekonomian Pakistan. Sebelum terjadi pandemi Covid-19, ekonomi Pakistan sudah dalam tubir masalah. Kesulitan yang datang menyusul pandemi menyebabkan Pakistan harus mendatangi IMF (International Monetery Fund) untuk pendanaan dalam negeri.
Kedua, perbedaan dengan kota-kota hub internasional. Berbeda dengan Dubai dan Singapura yang memiliki dana yang besar sebelum mereka berkembang menjadi kota pelabuhan, Gwadar tidak dalam posisi demikian. Dukungan dan ekosistem usaha yang kondusif juga tidak dimiliki Pakistan secara umum.
Ketiga, fluktuasi hubungan bilateral Pakistan-Tiongkok. Meskipun Tidak mudah menjaga komunikasi yang konstan pada keduanya. Ujian serius terjadi ketika PM Imran Khan berupaya menutup hutang Pakistan sebesar 15 Miliar USD. Sebesar 6 Miliar USD telah didapatkan Pakistan dari Arab Saudi. Tiongkok terlihat tidak nyaman dengan paket bantuan dan “pesan” di balik bantuan Saudi tersebut. Selain itu Pakistan dinilai membiarkan berkembangnya kelompok radikal di kawasannya, hal mana sangat dikhawatirkan Tiongkok sebagai faktor pendorong menguatnya pemberontakan di Xinjiang.