Sedang Membaca
Tradisi Barifola, Sebentuk Kepedulian Sesama Warga di Maluku Utara
Nurul Haura Syakira
Penulis Kolom

Pelajar. Instagram: @nrlhaurasy. Guide (virtual) Indonesia Generasi Literat

Tradisi Barifola, Sebentuk Kepedulian Sesama Warga di Maluku Utara

Barifola 1

Pengantar: Komunitas Generasi Literat yang didirikan oleh aktivis perempuan Milastri Muzakkar menginisiasi kegiatan #MerayakanMerdekaDariRumah. Proyek ini mengajak anak muda dari berbagai daerah untuk menggali kembali dan menuliskan nilai-nilai persatuan dalam kearifan lokal di berbagai daerah di Indonesia, yang sangat penting untuk dipraktekkan di masa pandemi.  Karena itu,  mereka disebut “Guide (virtual) Indonesia”, yang mengajak para pembaca untuk berwisata ke berbagai daerah. Generasi Literat memilih cara ini untuk merayakan merdeka dari rumah sebab kegiatan ini memiliki dua kekuatan: anak muda dan kearifan lokal. Keduanya adalah modal besar yang dimiliki Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan maju. Untuk itu, mulai Minggu, 16 Agustus 2020, alif.id akan memuat karya para Guide (virtual) Indonesia Generasi Literat. Dirgahayu Republik Indonesia. Salam literasi.

Strata hidup orang modern kerap dipandang melalui kekayaan dan kemewahan. Padahal, pola hidup yang baik, kecerdasan, dan rasa kemanusiaan, adalah hal terpenting dalam hidup. Bagaimana kita bisa membantu sesama, peduli dengan makhluk hidup lainnya, adalah hal-hal yang sederhana dan bermanfaat. Namun, selalu ada orang yang merasa sangat berat  melakukannya.

Penerapan nilai-nilai Pancasila makin kurang dilakukan oleh masyarakat Indonesia, dan ini membuat generasi-generasi selanjutnya menjadi individualis, kurang tenggang rasa, enggan membantu sesama. Rasisme yang sudah tidak jarang terjadi menjadi hal yang sudah biasa.

Perundungan yang terjadi di sekolah, tempat umum, atau di lingkungan sudah dianggap biasa saja. Semangat “bhineka tunggal ika” kurang dipraktekkan. Kebenaran terkadang disalahkan, sementara kesalahan dibenarkan.

Beruntung, masih banyak masyarakat yang menjunjung tinggi kearifan lokalnya, seperti masyarakat adat di berbagai daerah di Nusantara. Di Maluku Utara, khususnya Tidore, misalnya, tradisi masyarakatnya masih sangat kental dengan gotong royong dan peduli sesama.

Baca juga:  Gandeng Warteg, Bank Mega Syariah dan LAZISNU Salurkan 100 Ribu Takjil bagi Warga Terdampak Covid-19

Ikatan Keluarga Tidore Maluku Utara sejak tahun 2008 menggagas satu program gotong royong untuk membangun rumah warga tak mampu yang disebut dengan “Program Barifola”. Barifola sendiri berasal dari dua kata bahasa Tidore yaitu “bari” yang artinya saling membantu atau gotong royong dan “fola” yaitu rumah. Sehingga barifola diartikan sebagai kegiatan bergotong-royong membangun rumah.

Secara historis, tradisi ini mulanya berlangsung pada abad 13 Kesultanan Tidore untuk mewujudkan masyarakat sejahtera. Di era 1990-an tradisi ini sempat mengalami degradasi nilai, dan hanya dipakai warga untuk membangun rumah ibadah semata.

Di tahun 2008, tradisi ini kembali digelorakan, seiring banyak anggapan bahwa rumah layak huni saat ini menjadi penilaian terhadap strata sosial kelompok masyarakat modern. Semakin bagus dan mewah rumah yang dimiliki, semakin banyak orang yang menghormatinya, begitu pun sebaliknya.

Dengan adanya program ini, banyak masyarakat Tidore Maluku Utara yang sangat terbantu, mereka tidak menyangka bahwa masih banyak orang di sekitar yang masih peduli dengan sesama. Makanya, barifola dianggap “motor pengerak” semangat kebersamaan antar warga untuk melakukan perubahan.

Tradisi ini dinilai dapat merajut rasa kesetiakawanan antar warga sehingga tak ada jurang pemisah. Semuanya menjadi satu untuk saling membantu. Tradisi barifola sesungguhnya merupakan tradisi budaya masyarakat Indonesia yang pada hakekatnya menitikberatkan pada memeratakan kepentingan bersama.

Saya melihat tradisi ini baik dan bisa menjadi alternatif solusi untuk menghilangkan kesenjangan sosial di masyarakat, terlebih di era saat ini di mana seseorang lebih banyak dinilai dari ukuran materi.

Baca juga:  Mbah Dim Dan Lawatan Gus Usman dalam Buku Anjangsana

Sejak dicetuskan tahun 2008, tradisi barifola kini telah sukses membangun ratusan rumah tak layak huni milik keluarga tak mampu di empat kota di Maluku Utara, yaitu Tobelo, Morotai, Bacan, dan Ternate. Dana yang digunakan untuk pembangunan ratusan rumah tersebut lebih dari Rp 10 milyar.

Setiap unit rumah yang dibangun  membutuhkan dana Rp 60-80 juta. Uniknya semua dana tersebut merupakan sumbangan dari keluarga Tidore di Ternate. Pengelolaan dananya pun dilakukan secara mandiri, tanpa konsultan maupun staf pengelola keuangan layaknya lembaga profesional.

“Jadi setiap dana terkumpul langsung pakai habis untuk membangun rumah, tidak ada dana yang mengendap dalam waktu lama. Kalau sudah cukup untuk satu rumah, maka langsung digunakan untuk membangun rumah. Dan beruntung sampai sekarang tidak ada penyalahgunaan anggaran,” tutur Burhan, Ketua Ikatan Keluarga Tidore (IKT) Maluku Utara, seperti dikutip indotimur.com.

Sasaran aksi sosial ini utamanya kepada keluarga yang sepantasnya untuk dibantu yakni keluarga yang belum memiliki rumah dan kemampuan ekonominya tidak memungkinkan membangun rumah sendiri. Atau keluarga yang memiliki rumah, namun kondisinya tidak layak huni, baik secara sosial ekonomi maupun lingkungan dan sanitasi (kesehatan).

Sasaran penentuan keluarga prioritas dalam aksi kemanusiaan ini adalah keluarga yang berpendapatan minimal per bulan di bawah Rp.500.000, single parents (janda/duda) dan manula; memiliki tanggungan keluarga yang besar (anak-anak usia sekolah); tidak memiliki sanak keluarga atau kerabat yang dapat dijadikan tulang punggung perekonomian keluarga bersangkutan, dan lain-lain.

Awalnya, program ini dilakukan dengan membangun rumah ibadah, namun mulai dikembangkan dengan membangun rumah layak huni. Meski berasal dari Tidore, gerakan tersebut tidak dikhususkan untuk masyarakat di wilayah itu saja. Dalam perkembangannya, barifola juga menyasar rumah-rumah warga tidak mampu di daerah-daerah lain di seluruh penjuru Maluku Utara. Di antaranya, Ternate, Halmahera, Obi, dan Bacan.

Baca juga:  Udik, Mudik dan Kembali Fitri

Membaca banyak berita dan tulisan mengenai barifola, saya melihat bahwa tradisi ini memang murni gerakan kemanusiaan, tidak pandang suku, agama, ras, dan kelompok. Rumah-rumah dari semua suku di Maluku Utara sudah dibangun, termasuk penduduk dari suku Jawa, Bugis, Gorontalo, Kei yang sudah berdomisili di Maluku Utara, sudah kita bangun.

Untuk membangun rumah barifola, IKT  melakukan cala moi, yakni  gerakan menyisihkan Rp 1000 bagi setiap anggota IKT.  Jadi, dana untuk membangun rumah barifola itu murni berasal dari iuran anggota IKT ditambah bantuan dari dermawan, karena IKT tidak pernah  menyodorkan proposal ke pemerintah maupun swasta, seperti ditulis indotimur.com.

Ada tiga hal dasar yang menjadi pertimbangan dalam melakukan gerakan barifola, yakni untuk menjalin dan mempererat tali silaturrahmi antara anggota IKT dengan masyarakat, membantu warga yang kurang mampu dan membangkitkan kembali tradisi gotong-royong yang saat ini mulai memudar.

Nah, melalui barifola, kita bisa belajar dan menerapkan semangat yang sama di daerah Indonesia lainnya. Membangun rasa peduli dan gotong royong sangat penting untuk memajukan bangsa Indonesia, menghindari perpecahan. Semangat ini sejalan dengan nilai Pancasila “Persatuan Indonesia”.

Kearifan lokal barifola bisa sangat membantu masyarakat atau warga setempat yang memiliki masalah dalam kerusakan tempat tinggal. Di masa pandemi seperti ini, semangat barifola sangat cocok untuk  dilaksanakan. Hilangkan rasa individualistis, mari kita bangun kembali rasa persatuan dan nasionalisme.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top