Rizal Mubit
Penulis Kolom

Guru Ngaji di Kampung. Pengajar di Universitas Kiai Abdullah Faqih Manyar Gresik, Jawa Timur. Alumni Pusat Studi Qur'an Ciputat dan Pascasarjana IAIN Tulungagung prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Menulis sejumlah buku bertema keislaman. Peneliti Farabi Institute.

Tafsir Surah Al-Ma’un (Bagian 3)

Ayat ketiga dalam surah al-Maun berkaitan dengan orang-orang yang miskin.

وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ

Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.

Ayat ini masih berkaitan dengan ayat sebelumnya yakni berkaitan dengan sikap Al-‘Ash bin Wail dan Al-Walid bin Al-Mughirah sebagaimana yang disebutkan dalam Tafsir Jalalain.

Dalam Kamus Lisanul Arab, Miskin diartikan dengan seseoang yang tidak memiliki sesuatu, dan dikatakan juga, orang yang tidak memiliki sesuatu cukup untuk menafkahinya, Abu Ishaq berpendapat: miskin adalah orang yang diselimuti kefakiran yaitu orang yang membatasi ruang geraknya (karena tidak memiliki sesuatu ia tidak dapat berbuat apa-apa). Dan makna ini sangat tidak tepat, karena kata miskỉn itu adalah subjek, dan perkatan Abu Ishaq yang mengatakan bahwasannya miskỉn itu adalah yang diselimuti kefakiran mengubah maknanya menjadi objek.

Adapun perbedaan antara miskin dan fakir disebutkan pada tempatnya masing-masing, dan kami akan menyebutkan sebagian penjelasan dari kata tersebut. Salah satunya adalah mif’ỉlun dari kata assukun seperti al-mintỉq dari annutqi.

Menurut Ibnu Al-Anbari, Yunus berkata, fakir itu lebih baik keadaannya daripada miskin, dan fakir adalah orang yang memiliki sesuatu atau sebagian yang membuatnya bertahan hidup. Sedangkan miskin merupakan keadaan yang lebih buruk daripada fakir. Dan ini juga merupakan perkataan dari Ibnu Sukait.

Baca juga:  Sakralitas Simbolisme “Kiai” bagi Orang Jawa

Asep Usman Ismail dalam Al-Qur‘an dan Kesejahteraan Sosial mengartikan kata نيكسم bahwa “ istilah miskin menggambarkan dari keadaan diri seseorang atau sekelompok orang yang lemah.”

Dalam ayat ini Allah menegaskan lebih lanjut bagaimana sifat pendusta itu, menurut Prof. H. Zaini Dahlan, MA. Dkk “yaitu dia tidak mengajak orang lain untuk membantu dan memberi makan orang miskin. Berdasarkan keterangan ini, bila seseorang tidak sanggup membantu orang-orang miskin, maka hendaklah ia menganjurkan orang lain untuk usaha yang mulia itu.”

Orang yang tidak mau berbagi dan membenci orang lain yang berbagi, mereka memiliki sifat kikir, buka orang-orang yang tidak dapat berbagi karena memang mereka tidak mampu, tetapi karena pendustaannya terhadap balasan dan ganjaran di akhirat nanti.

Mereka yang tidak mau mengajak orang lain supaya memberi makan orang miskin, ia melahap dan menikmatinya sendiri tanpa memikirkan orang miskin atau tidak dididiknya anak istrinya supaya menyediakan makanan bagi orang miskin itu jika mereka datang meminta bantuan. Orang seperti ini pun disebut sebagai pendusta agama.

Quraish Shihab menekankan bahwa “ayat di atas bukannya menyatakan tidak memberi makan, tetapi tidak menganjurkan memberi makan (harta). Dengan demikian tidak ada alasan bagi siapa pun, kendati miskin, untuk tidak mengamalkan kebaikan.”

Baca juga:  Ilmu Hikmah Bukan Ilmu Sihir

Abu Ja’far maksud “tidak menganjurkan memberikan makan orang miskin” ialah tidak mendorong orang lain untuk memberi makan kepada orang yang membutuhkan.

Imam Zamakhsyari dalam a-Kasysyaaf menyebutkan seseorang disebut sebagai pendusta agama “Karena dalam sikap dan perangainya. Tidak mau menolong sesamanya yang lemah padahal Allah telah menjanjikan pahala dan balasan, tentu dia akan takut dengan azab Allah. Kalau sudah ditolaknya anak yatim dan didiamkannya orang miskin minta makan, jelaslah bahwa agama itu didustakannya.”

Muhammad Abduh menyebutkan bahwa ayat ini merpakan kiasan tentag manusia yang tidak biasa mendermakan seabgian dari hartanya kepada orang-orang miskin yang tidak cukup penghasilannya untuk membeli makan untuk dirinya dan keluarganya. Namun perlu diingat, kata Abduh, seseorang yang disebut miskin bukanlah orang yang meminta Anda memberi sesuatu sementara ia memiliki kemampuan untuk memperoleh makanannya. Orang-orang seperti ini disebut dengan mulhif, yaitu orang meminta-minta sambil mendesak orang lain agar memberinya, sementara ia masih memiliki cukup uang untuk keperluan hariannya. Karena tidak ada salahnya apabila seseorang memalingkan diri dari orang mulhif seperti itu dan menolak memberinya apa yang ia minta.

Perlu diketahui bahwa orang-orang yang rajin melaksanakan ibadah salat dan puasa sekalipun, namun ia suka menghina, pelit dan tidak mau menghimbau orang lain untuk berbuat kebajikan, mereka tetap dikelompokkan sebagai orang yang tidak percaya kepada agama. Orang yang benar-benar percaya pada agama, pasti ia akan menjadi orang yang tawadhu, tidak takabbur terhadap fakir miskin, tidak mengusir dan tidak mengahrdik mereka.

Baca juga:  Tafsir Surah Al-Ma'un (Bagian 1)

Dapat dipahami bahwa para mufassir sepakat menjelaskan tentang lanjutan ciri-ciri orang yang mendustakan agama, yakni mereka yang tetap melakukan salat terlebih bagi yang tidak melakukannya sedangkan mereka tidak mau memberi makan (harta) pada orang miskin, padahal itu adalah salah satu amal shalih yang paling penting dia tahu akan adanya pahala atau balasan dari Allah untuk setiap perbuatan kita, sehingga kalaupun kita tidak bisa memberi makan (harta) seorang miskin, kita harus menganjurkan orang lain untuk berbuat demikian. Mereka yang kikir biasanya akan selalu mencari alasan untuk tidak mengeluarkan hartanya, maka orang yang berperangai demikian lemah imannya dan keyakinannya tidak kokoh. (RM)

Referensi

Tafsir Al-Kasysyaf karya Imam Zamakhsyari

Lisanul ‘Arab karya Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad

Tafsir Marah Labid karya Syekh Nawawi Al-Bantani

Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab

Tafsir al-Qurtubi Karya Imam Al-Qurthuby

Tafsir Juz Amma karya Muhammad Abduh

Tafsir Al-Jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli Jalaluddin as-Suyuthi

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
3
Senang
3
Terhibur
3
Terinspirasi
3
Terkejut
3
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top