Di Indonesia seringkali terjadi perbedaan dalam menentukan awal bulan kamariah (Ramadan, Syawal dan Dzulhijah). Perbedaan muncul karena ormas NU, Muhammadiyah dan Pemerintah berbeda. Memang kadang ada perbedaan dari ormas Islam lain seperti Naqsabandiyah, Jamaah An Nadzir dan lainnya. Namun perbedaan yang paling mencolok terjadi apabila NU, Muhammadiyah dan pemerintah tidak kompak.
Namun pada awal Ramadan tahun 2019, Pemerintah, NU dan Muhammadiyah kompak memulai Ramadan. Semuanya memutuskan awal Ramdan dimulai pada Senin 6 Mei 2019. Mengapa demikian?
Karena faktor penyebab perbedaan tersebut tidak muncul dalam tahun ini. Setidaknya ada empat faktor yang menyebabkan perbedaan di Indonesia. Pertama, menggunakan acuan hisab yang berbeda. Artinya, ada perbedaan acuan kitab atau metode hisab yang dipakai, baik oleh pemerintah ataupun oleh ormas Islam. Hampir setiap ormas Islam memiliki acuan hisab yang tidak sama. Terlebih di kalangan Nahdlatul Ulama yang mengkaji belasan kitab falak di pesantren.
Kedua, Perbedaan dalam memahami hadis. Bagi Muhammadiyah, hadis “Shuumuu liru’yatihii waafthiruuu liru’yatihii.” (Berpuasalah bila kalian telah melihat hilal dan berlebaranlah ketika kalian telah melihat hilal), arti melihat hilal tidak harus melihat dengan kasat mata. Perhitungan hisab merupakan cara untuk “melihat”.
Ketiga, Posisi hilal. Posisi hilal yang memungkinkan terlihat menjadi faktor penyebab terjadinya perbedaan awal bulan kamariah. Misalnya pada tahun 2000 penentuan awal Zulhijah, posisi hilal memungkinkan hilal terlihat karena sudah di atas ufuk dengan ketinggian 2º sampai 3,5º. Akan tetapi hilal tidak berhasil dilihat, NU melakukan istikmal (menggenapkan hingga tanggal 30), sementara pemerintah menetapkan malam itu juga sebagai bulan baru.
Keempat, adanya pengikut pendapat rukyah global. Rukyah global maksudnya, apabila ada satu negara yang berhasil melakukan rukyah maka awal bulan Kamariah sudah bisa ditentukan. Baik itu dilakukan di Arab, di Amerika, di Jerman dan negara lainnya.
Dari keempat perbedaan ini, faktor ketiga lah yang paling sering menjadi penyebab. Karena, Muhammadiyah biasanya sudah memutuskan awal bulan Kamariyah selama hilal sudah di atas ufuk. Walaupun tingginya di bawah 2º. Padahal, fakta di lapangan mengatakan bahwa hilal yang tingginya di bawah 2º belum bisa dilihat kasat mata saat rukyatul hilal. Sehingga NU akan melakukan istikmal. Artinya NU akan menyempurnakan bilangan bulan menjadi 30 hari. Sebab bagi NU, berapa pun ketinggian hilal, selama hilal tak dapat dilihat, maka awal bulan tidak bisa ditentukan.
Sementara itu, pemerintah dalam menentukan awal bulan kamariah (Ramadan, Syawal dan Dzulhijah) menggunakan metode imkan rukyat artinya penetapan tanggal satu bulan kamariah didasarkan pada kemungkinan hilal dapat dilihat dengan tiga kriteria:
Pertama, ketika matahari terbenam ketinggian bulan di atas horizon tidak kurang dari 2°. Kedua, jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3° dan ketiga, ketika bulan terbenam umur bulan tidak kurang dari 8 jam selepas konjungsi/ijtimak berlaku. Ketiga kriteria ini sebenarnya merupakan upaya untuk menjembatani antara NU dan Muhammadiyah. Namun sampai saat ini upaya tersebut masih belum terealisasi.
Ramadan tahun ini, pemerintah, NU dan Muhammadiyah kompak sebab posisi hilal sudah tinggi. Yakni berada pada ketinggian 4.52° sampai 5.72° di atas ufuk. Dengan ketinggian tersebut, kriteria hilal yang ditentukan oleh pemerintah sudah terpenuhi. Sehingga Muhammadiyah dan pemerintah sudah pasti sama.
NU yang melakukan rukyatul hilal hari ini juga berhasil melihat. Tercatat ada 112 titik di 34 privinsi. Dari 112 titik tersebut, ada 9 petugas di Gresik, Bangkalan, Lamongan, Makasar, Sulsel, Brebes dan Sukabumi yang menyampaikan kesaksian melihat hilal dibawah sumpah. Karena hilal sudah terlihat maka NU memutuskan awal Ramadan dimulai pada hari Senin 6 Mei 2019. Sama dengan pemerintah dan Muhammadiyah.