Sedang Membaca
Ibu-Ibu Pergerakan
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Ibu-Ibu Pergerakan

Lingga Anakku

Dua tahun sebelum pendirian Perguruan Nasional Taman Siswa (1922), Soewardi Soerjaningrat mengalami pemenjaraan akibat delik pers di Semarang. Pada saat bersamaan, di Jogjakarta, sang istri bernama Soetartinah sedang berjuang melahirkan anak ketiga. Soetartinah mengalami pendarahan. Soewardi Soerjaningrat mendapat izin cuti: menengok dan menunggu istri. Kesehatan ibu dan anak belum pulih tapi Soewardi Soerjaningrat dipaksa kembali ke penjara. Di ranjang dalam kondisi lemah, Suhartitah berpesan pada suami agar tak putus asa berjuang: “Kita tidak usah khawatir dikatakan orang meninggalkan dunia perjuangan. Dunia pendidikan adalah dunia perjuangan juga, bukan?” Masa 1920-an, Soewardi Soerjaningrat memutuskan meninggalkan politik, beralih ke gerakan pendidikan.

Soewardi Soerjaningrat semakin bertekad mewujudkan perguruan nasional untuk “menggembleng calon-calon pemimpin gerakan kemerdekaan” (Bambang Soekawati Dewantara, 1979). Perkataan Suhartitah representasi dari ibu pejuang, tak cuma ibu bagi tiga anak. Suhartitah atau Nyi Hadjar Dewantara telah mengabdikan diri menjadi ibu gerakan pendidikan nasional demi kemerdekaan Indonesia. Pembesaran tekad berjuang melalui pendidikan berbarengan kelahiran anak ketiga, perempuan. Anak itu bernama Ratih Tarbi’ah, berarti rembulan pendidikan.

Peran Nyi Hadjar Dewantara sebagai ibu dibuktikan dengan menjadi pengelola dan pengajar di Taman Siswa, sejak 1922 sampai pada masa 1960-an. Kita pantas menempatkan Nyi Hadjar Dewantara adalah ibu bagi Indonesia jika menilik jejak-jejak perjuangan. Beliau ikut menggerakkan agenda kebangsaan dengan pelaksanaan Kongres Perempoean Indonesia, 22-26 Desember 1928. Kongres itu menghasilkan Perikatan Perempoean Indonesia. Nama organisasi berubah menjadi Perikatan Perhimpoenan Isteri Indonesia (1929). Misi kongres dan pembentukan organisasi adalah memperjuangkan hak-hak pendidikan bagi perempuan. Mereka pun menjadi “ibu” bagi keluarga dan bangsa. Sebutan terhormat bagi Nyi Hadjar Dewantara adalah “ibu bagi Taman Siswa” dan ibu bagi Indonesia (Minggu Pagi, 21 Desember 1951). Peran kaum perempuan, sejak masa kolonial sampai kemerdekaan, membuktikan bahwa mereka ibu Indonesia.

Baca juga:  Zakat untuk Korban Kekerasan Seksual (1): Narasi Perempuan Bukan Objek Seksual Semata

Para ibu Indonesia terus bermunculan, memberi kontribusi besar bagi Indonesia melalui politik, pendidikan, seni, dan pers. Kita mengingat nama Fatmawati, ibu negara pertama di Indonesia. Proses menjadi ibu bagi Indonesia semakin terasa setelah 3 bulan Fatmawati resmi menjadi istri Soekarno, 1943. Fatmawati mendampingi Soekarno dalam pertemuan-pertemuan dengan para penggerak bangsa. Fatmawati pernah diajak bertemu Ki Hadjar Dewantara dan Nyi Hadjar Dewantara. Dua perempuan itu bertemu, mendampingi para suami. Hari demi hari berganti, Fatmawati memerankan diri sebagai penggerak Indonesia, menjadi ibu bagi anak-anak Soekarno dan ibu bagi Indonesia.

Fatmawati dalam buku berjudul Catatan Kecil Bersama Bung Karno (1983) mengenang: “Aku ditentukan nasib dan sejarah menjadi peserta di dalamnya sebagai istri Bung Karno.” Beliau bersikap santun, tak mau berlebihan menampilkan peran diri. Kita tentu mengingat peran-peran besar Fatmawati dalam menjahit bendera bangsa dan menjadi pendamping Soekarno saat menggerakkan revolusi. Kejadian di Pegangsaan Timur 56, 17 Agustus 1945, menempatkan Fatmawati sebagai tokoh berjasa. Pagi, Fatmawati tak sempat mandi, cuma cuci muka. Setelah meladeni pelbagai keperluan dan mendandani suami, Fatmawati hendak melangkah ke serambi. Beliau mendengar ada orang berteriak bahwa bendera belum ada. Fatmawati bergegas menuju lemari, mengambil bendera. Pengibaran bendera membuat proklamasi menjadi sempurna. Bendera itu dijahit Fatmawati saat mengandung anak pertama. Bendera itu mengisahkan biografi ibu bagi Indonesia.

Baca juga:  Kocak! Aksi Spontan Siti Walidah, Istri Pendiri Muhammadiyah Itu

Lakon Soekarno-Fatmawati berakhir pada tahun 1954. Soekarno memutuskan menikah lagi dengan Hartini. Fatmawati memilih pisah, pergi meninggalkan Istana Merdeka. Fatmawati berkata pada Soekarno: “Di sini bukan rumahku, keadaan kita sekarang sudah lain.” Fatmawati tak lagi di Istana Merdeka, tapi tetap ibu bagi Indonesia. Publik terkejut dan sedih. Sang ibu tenang melangkah pergi dari Istana Negara, memberi jawab untuk publik: “… keseluruhan hidupku ini rata-rata terdiri dari korban rasa dan penderitaan sesuai dengan jalannya perjuangan bangsa kita.” Peristiwa itu memicu polemik sengit mengenai perkawinan dan hak-hak perempuan di Indonesia.

Kisah para ibu Indonesia terus berlanjut, memunculkan tokoh bernama Mia Bustam. Beliau adalah istri Sudjojono, penggerak seni rupa modern di Indonesia. Proses menjadi ibu bagi Indonesia pernah dipengaruhi pertemuan dengan Soekarno dan Fatmawati, 1945. Pertemuan itu bermula dari keakraban Soekarno dan Sudjojono. Mia Bustam dalam buku berjudul Sudjojono dan Aku (2006) mengenang peristiwa memasak bersama Fatmawati. Dua ibu itu membuat kroket untuk hidangan para tamu di Bogor. Istri politikus bersua istri pelukis. Dua pengisah Indonesia, bersuamikan para tokoh tapi berakhir dengan perceraian. Sudjojono berkontribusi besar bagi Indonesia melalui SIM (Seniman Indonesia Muda) dan politik (PKI) tapi gagal mencipta harmoni abadi bersama Mia Bustam.

Baca juga:  Hijrah dari Jerat Ekstremisme: Baihajar Tualeka, Perakit Bom yang Menjadi Perekat Perdamaian

Kesibukan di SIM merembet ke situasi rumah. Mia Bustam tak cuma ibu bagi anak-anak. Mia Bustam juga ibu bagi para pelukis Indonesia. Para pelukis itu berperan mengisahkan Indonesia melalui lukisan, patung, dan poster. Kita bisa menjuluki Mia Bustam adalah ibu seniman Indonesia. Episode heroik dan membahagiakan itu berakhir  perceraian, 1958. Sudjojono memilih melanjutkan hidup bersama Rose. Ibu bagi seniman itu tak lagi menggunakan nama Nyi Sudjojono, memilih nama sendiri: Mia Bustam. Kalimat dramatis dituliskan Mia Bustam: “Sebuah episode yang diawali dengan penuh pesona, dilalui dalam kebahagiaan, harus diakhiri dengan kekecewaan.” Mia Bustam menapaki lakon hidup bersama anak-anak, tetap melukis dan mengisahkan Indonesia. Derita terus menimpa. Rezim Orde Baru memenjarakan Mia Bustam akibat malapetaka 1965. Kegiatan dan keterlibatan Mia Bustam di Lekra mengakibatkan pemenjaraan selama 13 tahun. Di penjara, Mia Bustam berikhtiar menjadi ibu bagi anak-anak dan Indonesia. Kesaksian itu ditulis dalam buku Dari Kamp ke Kamp: Cerita Seorang Perempuan (2008).

Nyi Hadjar Dewantara, Fatmawati, dan Mia Bustam adalah para ibu bagi Indonesia. Kita mengenang dan menghormati mereka sebagai penggerak dan pengisah Indonesia. Para ibu rela menanggung derita demi Indonesia. Oh, ibu…

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top