Ramadan selalu membawa cerita sendiri pada setiap orang. Setiap tahunnya seiring bertambah dewasanya seseorang tentu akan berubah cara kita memandanya. Bisa jadi kisahnya sama, akan tetapi perspektif kita yang berbeda. Tiap tahunnya, mulai dulu ketika masih kecil, kemudian menginjak remaja, dan mungkin sekarang menuju dewasa.
Puasa menyimpan memori yang sangat personal. Oleh karena itu ibadah ini juga diberi ganjaran langsung. Saking personalnya kadang kita tidak bisa “melihat” secara fisik orang yang sedang melakukan ibadah ini. Tidak seperti orang yang sedang salat, membayar zakat, maupun haji yang secara penglihatan dapat mudah kita lihat. Memori personal tentang puasa setiap orang berbeda dengan yang lainnya. Dan semuanya unik dengan menyenangkan tentunya.
Kenangan awal saat Ramadan dulu adalah menyaksikan ceramah Tafsir Al-Misbach dari Prof. Quraish Shihab. Saat itu ceramah di TV. Sekarang dapat dilihat di Youtube atau bisa di dengar di Spotify. Logat khas Prof. Quraish Shihab tentu sangat membekas. Mendengar dengan seksama walaupun pada waktu itu belum sepenuhnya paham materi yang disampaikan. Akan tetapi disadari atau tidak ceramah itu sangat membekas, padahal sudah belasan tahun yang lalu.
Pun cerita lain tentang Ramadan dulu pasti banyak dan selalu menyenangkan. Ketika SD, jamak diketahui bahwa semua siswa ditugasi mengisi Jurnal Ramadan. Berisi tentang kegiatan Ramadan (terutama kultum). Kita “dipaksa” mendengarkan kultum sehabis Tarawih dan Subuh. Dan untuk melegalisasi keikutsertaan kita maka diharuskan untuk minta tanda tangan yang bertugas kultum. Semua jadwal yang ada di Jurnal Ramadan diikuti dengan khusyuk.
Walaupun ada juga yang mengerjakan karena takut kepada guru Agama di sekolah. Padahal sepanjang sejarah per-Jurnal-an Ramadan tidak pernah dikumpulkan. Dan kita sebetulnya tahu dan paham karena hal ini terjadi dari tahun ke tahun. Tapi tak mengapa. Mungkin ini insting anak-anak soleh calon pemimpin bangsa.
Mengingat kegiatan di sore hari pasti menyenangkan. Kegiatan TPA mendadak jumlahnya membeludak di bulan Ramadan. Pun intensitasnya diperbanyak. Apa penyebab demikian? Yak betul, di masjid disediakan takjil. Takjil menjadi barang istimewa bagi anak kecil yang hidup di era 90’an. Walau hanya sekedar buah semangka, nasi bungkus, dan es teh. Momen seperti ini serasa seluruh “nikmat Allah” telah diturunkan kepada kami.
Selain momen takjil di masjid, tentu salat Tarawih juga menjadi momen yang terus diingat. Bagi anak-anak rangkaian salat Tarawih 11 rekaat terasa amat berat. Bagi kami yang belum “terbiasa” salat tentu menjadi beban. Apalagi ketika mendapat imam yang bacaannya panjang dan lama. Rasanya ingin menghilang dari muka bumi.
Beranjak remaja tentu punya pengalaman sendiri tentang bulan Ramadan. Ketika anak-anak sebelumnya menjalani hidup penuh dengan kepolosan dan kejujuran, ketika remaja sedikit menjalani hidup dengan “cara” agak lain. Godaan puasa mulai berdatangan, dan sialnya lingkungan sekitar malah mendukung. Sudah mulai tuh batalkan puasa, kalau dalam bahasa ilmiah disebut “mokah”.
Mokah menjadi jalan ninja ketika bulan puasa tapi sekolah masuk. Awalnya coba-coba, tapi akhirnya menjadi life style. Tak tahu mengapa godaan batalkan puasa begitu kuat ketika remaja awal. Padahal kalau dielaborasi, mokah merupakan salah satu kegiatan “bodoh” yang pernah dilakukan umat manusia. Kita rela “pura-pura” puasa seharian kepada orang rumah tetapi kita hanya mokah dengan satu gelas es teh yang habis tak sampai sepuluh menit.
Anak yang mokah umumnya tak betah di rumah. Ia rela berangkat pagi dan pulang sore menjelang berbuka. Hal ini guna memaksimalkan “pelanggaran”nya di bulan Ramadan. Maka dari itu, bapak-ibu yang punya anak seusia ini tolong diperhatikan. Bisa dilihat jadwal sekolahnya, harus berangkat jam berapa dan pulang jam berapa.
Kenangan sebuah masa tentu tak lepas dari hal-hal yang melingkupinya. Sebagaimana disebut sebelumnya tentang kajian Prof. Quraish Shihab yang melekat erat. Ternyata musik juga selalu mendapat patrian kuat dalam suatu momen. Ketika kecil musik-musik Ramadan diisi oleh Raihan, Bimbo, Hadad Alwi, dll. Album Cinta Rasul dari Hadad Alwi sangat membekas bagi anak generasi 90’an akhir atau 2000’an awal. Album yang berjilid-jilid ini sangat membekas. Teringat dulu menyetel lagu sambil membaca lirik di cover albumnya. Setelah itu sok-sok-an ngulik untuk dimainkan format rebana..
Beranjak remaja experience musik tentu berubah. Dekade 2000 musik pop religi begitu dominan. Para Pencari Tuhan yang sudah berjilid-jilid dan bahkan mengalahkan Tersanjung turut mempengaruhi selera musik remaja. Band-band yang digandrungi berbelok arah sebentar ke ranah musik religi. Pun setelahnya muncul Sabyan yang “sangat laku” ketika itu. Lagu Deen As-Salam menjadi lagu seluruh alam semesta beserta isinya.
Semua pengalaman di masa kanak dan remaja tentu akan selalu tumbuh. Ketika lebih dewasa kita akan memandang sesuatu dengan lebih banyak perspektif daripada sebelumnya. Ramadan yang indah ketika kita kecil akan tergantikan dengan Ramadan indah ketika kita remaja, pun juga menginjak dewasa. Dalam bahasa pesimistik, kisah “indahnya” Ramada hanya dirasa ketika masih kecil. Atau paling banter hanya sampai usia remaja.
Semakin ke sini menjadi lebih paham arti dari menahan lapar dan haus. Pun juga kita menjadi lebih bijak mengamini arti dari kata “bulan penuh berkah”. Bulan yang didalamnya tertumpah ruah segala kebaikan. Semua orang berbondong mencari kebaikan dengan kapasitasnya sendiri-sendiri. Karena sejatinya semua kebaikan yang diniatkan untuk kebaikan dengan cara yang baik akan menghasilkan kebaikan.
Ketika lebih dewasa kita akan punya perspektif lain tentang Ramadan. Yang semula kita pahami hanya “dari dan sebatas” teks keagamaan saja, saat ini lebih punya pengalaman spiritual dan sosial yang lebih nyata. Konsekuensi menjadi “dewasa” kadang memberatkan. Kita harus menanggung konsekuensi semua yang diperbuat. Baiknya dan buruknya.
Dewasa merupakan sebuah proses. Manusia selalu dan tetap dalam pencarian. Dewasa kemarin akan berbeda dengan dewasa saat ini, pun juga akan berbeda dengan besok maupun lusa. Hal ini juga berlaku pada kebenaran. Sebuah kebenaran yang kemarin kita yakini belum tentu kita anggap benar saat ini, pun juga dengan esok maupun lusa. Anggapan kebenaran senantiasa tumbuh berkelindan dengan kedewasaan. Ilmu pengetahuan telah membuktikan hal itu.
Menjadi lebih dewasa ketika kita dapat memandang suatu hal dengan banyak perspektif. Tidak selalu suatu hal dipandang dengan hitam dan putih. Seolah kita hanya diberi pilihan “benar” dan “salah. Banyaknya perspektif didapat dari banyaknya kita belajar. Belajar dari bacaan, pengalaman, dan kespiritualan.