Sedang Membaca
Saya Bermaksiat, Apakah Kehendak Allah?

Santri di Al-Azhar Cairo & Rumah Syariah Mesir.

Saya Bermaksiat, Apakah Kehendak Allah?

Dalam bentang perjalanan kehidupan di dunia ini, sudah menjadi hal yang lumrah bagi kita bahwa manusia tidak terlepas dari dosa, baik itu dosa kecil maupun dosa besar. Sebagaimana sabda Rasulullah: 

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

Seluruh anak Adam itu bersalah, dan sebaik-baik yang bersalah adalah mereka yang senantiasa bertaubat.”

Akan tetapi, makna hadis di atas tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan dosa, kapan pun dan di mana pun. Melainkan kita dituntut sekuat tenaga untuk tidak melanggar batas-batas yang telah Allah tetapkan. Oleh karena itu, kita dianjurkan untuk senantiasa bertaubat setiap harinya. 

Di sisi lain, kita sudah menyakini bahwa Allah adalah Dzat yang maha mengetahui dan berkehendak. Tidak ada sesuatu yang terjadi di atas muka bumi ini kecuali dengan kehendakNya. Imam Dardir dalam kitabnya secara tegas mengatakan(108): 

وكل أمر بالقضاء والقدر # فكل مقدور فما عنه مفر

“Setiap perkara itu sudah ada qodlo (ketentuan) dan takdirnya. Dan setiap yang sudah ditakdirkan maka tidak akan mampu berlari darinya.”

Lantas yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah kemaksiatan yang terjadi merupakan kehendak Allah juga  ???

Secara tegas kita mengatakan, “Iya”. Jadi, segala perbuatan manusia baik buruknya merupakan kehendak Allah tanpa terkecuali. Karena pada hakikatnya kita tidak bisa berbuat di luar jangkauan kehendak Allah ta’ala.

Baca juga:  Ayat Iqra', Qalam, dan Fikih Menulis

 Seandainya kita mengatakan bahwa maksiat yang terjadi bukan kehendak Allah maka, akan ada suatu hal yang terjadi di luar kehendak dan jangkaunNya. Dan hal itu mustahil bagiNya. Bagaimana mungkin ada suatu hal yang terjadi di luar kehendak Allah, padahal Dia adalah Dzat yang Maha Menghendaki. 

Kemudian, muncul sebuah anggapan, jika Allah berkehendak atas kemaksiatan pada diri fulan misalnya, apakah pantas bagi kita menisbatkan hal yang bersifat buruk kepada Allah yang maha suci?

Terkait hal ini, Syekh Husam Ramadhan salah satu ulama muda Mesir, dalam kajian kitab tauhid Kharidah al-Bahiah mengatakan bahwa perbuatan maksiat seperti mencuri, berzina, membunuh dan lain sebagainya itu bersumber dari Allah SWT.

 Akan tetapi, beliau juga menegaskan bahwa mencuri atau berzina hakikatnya bukan suatu perbuatan yang buruk. Karena, baik dan buruknya suatu perbuatan itu di dasarkan pada koridor syariat Islam. Maka, melihat kemaksiatan dari sudut pandang hakikat perbuatan itu sendiri tidaklah bersifat buruk ataupun keji. Melainkan, kacamata syariat lah yang menghukumi baik buruknya suatu perbuatan. 

Sekali lagi saya tegaskan bahwa, suatu perbuatan bisa dinilai pahala atau dosa hanya berlandaskan pada ketentuan syariat. Karena kita tidak bisa menilai apakah perbuatan mencuri misalnya itu perbuatan dosa atau ibadah kecuali datangnya dari syariat. 

Baca juga:  Ulil, Somad dan Jiran Kita

Kemudian, kita sudah mengetahui bahwa koridor hukum syariat itu berlaku bagi manusia dan jin. Sehingga, kita dituntut untuk melakukan segala sesuatu yang ada pada koridor hukum syariat tersebut. Meliputi perkara yang wajib, sunnah, haram atau makruh.

 Maka dari itu, hukum syariat tidak berlaku bagi Allah ta’ala. Karena seperti yang saya katakana di atas, bahwa hukum syariat hanya berlaku bagi manusia dan jin. 

Sehingga, dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan, meskipun Allah menciptakan perbuatan maksiat, akan tetapi Allah terbebas dari sifat keji dan buruk. Sebab, hal itu dilihat dari dari sudut pandang hakikat perbuatan, bukan dari kacamata syariat.

 Karena sekali lagi, bahwa perbuatan maksiat seperti pencurian dan perzinaan, jika kita melepas keduanya dari koridor syariat, maka ia bersifat netral. Bukan suatu hal yang baik dan bukan suatu hal yang buruk atau keji. Tak hanya itu, Allah juga terbebas dari hukum-hukum syariat tersebut. Karena syariat hanya ditujukan kepada manusia dan jin. 

Oleh karena itu, Meskipun segala sesuatu bersumber dari kehendak Allah taa’la, lantas tidak membuat kita berdalih dengan takdir ketika berbuat maksiat. Melainkan, kita tidak diperkenankan ridha terhadap kemaksiatan yang terjadi di dunia ini. Syekh Jamal Farouq selaku dekan fakultas dakwah Universitas Al-Azhar mengatakan:

Baca juga:  Gus Dur Membicarakan Perkembangan Islam dari Zaman ke Zaman

لا يلزم من الرضا بالقضاء الرضا بالمقضي

 “Tidak ada keterkaitan antara ridha dengan Qadla, ridha dengan ketentuan yang telah diputuskan”

 Terakhir, Takdir adalah hak prerogatif Allah ta’ala. Kita tidak bisa menghindar bahkan menentang kehendakNya. Sehingga, cukup bagi kita untuk mengimani bahwa Allah adalah sebaik-baik dzat yang menentukan jalan kehidupan hambaNya. 

Sekian, Wallahu A’lam. 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
3
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top