Ibunya sudah tua dan jatuh sakit. Ia mengurungkan keberangkatannya berkelana menimba pengetahuan dengan teman-temannya. Ia memilih merawat ibunya walau rasa ingin tahu itu bergemuruh dalam dirinya. Ia tumpahkan beban hatinya di pekuburan. Berjam-jam ia menangis. Itu dilakukannya berhari-hari, sampai suatu hari seorang lelaki lanjut usia itu datang kepadanya.
“ Maukah engkau bila aku memberimu pelajaran setiap hari..?”
“ Tentu saja,” sahutnya.
Dalam otobiografinya tercatat, bahwa lelaki tua itu memberinya pelajaran selama tiga tahun. Dan di akhir pertemuan ia menyadari bahwa lelaki itu adalah Nabi Khidir ‘alaihis salam, sosok suci yang memperantarai dua dua wilayah eksistensi yang tidak terbatas, sosok suci yang menyalurkan ilmu rahasia kepada para hamba yang saleh.
Riwayat di atas dari Syekh Fariduddin Atthar, seorang sufi besar abad ke-13, dalam kitabnya Tadzkirah al-Auliya. Sosok yang dalam riwayat ini tidak lain adalah Abu Abdullah Muhammad ibnu Ali Hakim at-Tirmidzi atau biasa dikenal dengan Imam Hakim at-Tirmidzi, sufi masyhur dari abad ke-9, yang lahir di Oxus (maa waraa’a an-nahr), Asia Tengah.
Perjalanan ruhaninya seperti perulangan dari kisah sahabat Rasulullah, Uways al-Qarni, yang hanya menyongsong keberadaan Rasulullah secara ruhaniah tanpa pernah bersua karena harus merawat ibunya yang sudah tua. Pelayanannya yang menyeluruh kepada sang ibu menjadi sebab keutamaan Uways.
Persamaan kedua, dari sosok Uways tumbuh aliran tarekat Uwaysiah. Praktis tarekat ini terhubung dengan mereka yang memperoleh bimbingan ruhani secara barzakhi, tanpa guru fisikal seperti dalam tarekat lainnya.
Dalam otobiografinya, Imam Hakim at-Tirmidzi menceritakan bagaimana ia menerima pengajaran dari jalur barzakhi pula. Ia mendapat bimbingan dari “guru gaib” yang membimbingnya.
Dalam rujukan kitab tasawuf, mereka yang mendapatkan bimbingan secara barzakhi ini jumlahnya tidak banyak karena ini semacam anugerah yang sangat istimewa. Menjadi murid Khidir merupakan hal yang tidak umum, tidak semua manusia muslim memperoleh anugerah semacam ini.
Dan satu hal lagi yang menarik dari sosok Imam Hakim at-Tirmidzi ini, yaitu bagaimana seluruh bimbingan dan pengajaran ruhani diterimanya melalui mimpi. Hal yang unik, sebagian besar mimpi atau ru’ya shoolihaa itu diterima oleh istrinya melalui mimpi.
Sosok-sosok transenden seperti Rasulullah, Khidir, dan malaikat hadir bergantian dalam mimpi istrinya. Kemudian istrinya memberitahu Imam Hakim at-Tirmnidzi tentang mimpi yang dialaminya sesuai dengan perintah dari sosok transenden dalam mimpinya.
Seluruh mimpi berupa ilmu ruhani tersebut dikumpulkannya dalam kitab Budduw Syaa’n: sebuah antologi pengetahuan ruhani melalui mimpi. Bahkan dalam beberapa riwayat disebutkan, bahwa Imam Hakim at-Tirmidzi menulis beberapa kitab lainnya melalui metode yang sama. Misalnya kitab Nawadir al-Ushul, Khotmul Auliyaa, Masail ahl- Sarkh, Kitabur Riyadhoh, Manazilal ‘Ibad, Siiratul Awliyaa.
Seperti dicatat dalam kitab-kitab babon tasawuf Islam, Imam Hakim at-Tirmidzi ini sangat memengaruhi para sufi besar setelahnya, seperti Imam Ghazali dan Ibnu ‘Arabi. Michel Chodkiewicz, pakar tasawuf dari Perancis yang juga ayah dari penulis biografi Ibnu ‘Arabi, Claude Addas, mengatakan bahwa Ibnu ‘Arabi pernah mengatakan, kalau seandainya Imam Hakim at-Tirmidzi tidak menghanyutkan sebagian karya tulisnya di sungai, maka Ibnu ‘Arabi tidak merasa perlu menulis kitab tasawuf.
Kitab Buduw Syaa’n merupakan satu-satunya kitab utuh yang ditulis berdasarkan mimpi. Seperti telah disebutkan sebelumnya, beberapa ulama lain pernah juga menuliskan riwayat perjumpaan dengan para Nabi dan orang suci melalui mimpi, tetapi tidak dikumpulkan dalam suatu kitab tersendiri seperti Buduw Syaa’n.
Makna penting lainnya dari kitab Buduw Syaa’n adalah bukti paling nyata dari adanya jalan lain, jalan yang tidak umum, dan di luar jalur pengetahuan modern, dalam memperoleh pengetahuan dan bimbingan ruhani.
Pada zaman pra-modern, orang sudah terbiasa dengan pembersihan hati, penguatan tekad, dan disiplin ruhani yang ketat untuk menggapai pengetahuan hakiki, makna terdalam dari seorang hamba Tuhan.
Tasawuf Islam sendiri merupakan tradisi yang beragam, dan tidak pernah anti-rasio. Dalam tasawuf, fakultas intelek manusia itu beragam jenisnya, tidak semata akal. Dan cara olah intelektual pun beragam, tidak pernah tunggal. Maka tidak heran, banyak sekali para orientalis yang meneliti tasawuf Islam mengambil model kajian yang lepas dari arus utama orientalisme.
Sosok seperti Henri Corbin, Annamarie Schimmel, dan beberapa pelanjutnya tenggelam dalam dunia tasawuf sampai bagiannya yang terdalam sehingga mereka melintasi batas-batas formal keagamaan dan kebudayaan.
Schimmel misalnya, mengukirkan pengakuannya akan keagungan Rasulullah dalam judul bukunya, Dan Muhammad adalah Utusan Allah. Apa artinya ini? Tidak perlu dijawab karena itu sebuah kesaksian yang estetik. Wallahu ‘alam bis Shawab.