Para ulama Ahlussunah wal Jamaah yang tergabung dalam organisasi Nahdlatul Ulama dikenal mempunyai kepedulian tinggi tentang isu-isu perempuan. Dalam Konferensi Besar (Konbes) Ulama NU pada 1957 misalnya, NU memutuskan bahwa menurut hukum Islam perempuan diperbolehkan menjadi anggota DPR/DPRD sesuai dengan kaedahnya.
Untuk kemaslahatan keluarga dan otomatis juga mengenai perempuan sebagai istri atau ibu, Konbes Ulama NU pada tahun 1960 yang di antaranya membahas tentang Family Planning (Perencanaan Keluarga), memutuskan membolehkan pembatasan keturunan atau perencanaan keluarga (family planning). Keputusan itu adalah sebagai berikut:
S: Bagaimana hukumnya membatasi keturunan/merencanakan keluarga (family planning)?
J: Kalau dengan ‘azl (mengeluarkan air mani di luar rahim) atau dengan alat yang mencegah sampainya mani ke rahim seperti kopacis/kondom, maka hukumnya makruh. Begitu juga makruh hukumnya kalau dengan meminum obat untuk menjarangkan kehamilan. Tetapi kalau dengan sesuatu yang memutuskan kehamilan sama sekali, maka hukumnya haram, kecuali kalau ada bahaya. Umpamanya saja karena terlalu banyak melahirkan anak yang menurut pendapat orang yang ahli tentang hal ini bisa menjadikan bahaya, maka hukumnya boleh dengan jalan apa saja yang ada.
Merujuk tahun 1960 bermakna bahwa fatwa ulama NU ini sudah terjadi pada Orde Lama, kepemimpinan Presiden Soekarno. Di tahun itu, di antara ulama terpandang pakar fikih dan Ushul fikih adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Bisri Syansuri. Jadi, jauh-jauh masa ketika sebelum diperkenalkan program KB pada tahun 1967 oleh pemerintah Orde Baru, Presiden Soeharto.
Adapun fatwa NU di Orde Baru, adalah pada 1969, ketika Syuriyah PBNU mengeluarkan keputusan tentang Keluarga Berencana (KB).
Di tahun inilah peran dan respon keulamaan dalam bingkai resmi organisasi NU dilakukan oleh Kiai Bisri Syansuri, yang memang dikenal sebagai ahli fikih.
Di tahun ini beliau adalah Wakil Rais ‘Aam PBNU, mendampingi Rais ‘Aam PBNU, KH. Abdul Wahab Hasbullah. Kiai Wahab wafat pada 29 Desember 1971, empat hari setelah Muktamar ke-25 Nahdlatul Ulama di Surabaya. Dan pada tanggal dan tahun itu pula, agar tak ada kekosongan jabatan Rais ‘Aam, KH. Bisri Syansuri diikrar baiat sebagai Rais ‘Aam oleh perwakilan PBNU, yaitu KH. Idham Chalid, KH. Saifuddin Zuhri, dan Nuddin Lubis.
Kemudian dalam Musyawarah Ulama Terbatas mengenai KB, pada 28 Juni 1972, Kiai Bisri Syansuri, yang ketika itu telah menjadi Rais ‘Aam PBNU, menyampaikan fatwa tanggapan tentang KB.
Hal ini sesuai dengan data dari Gus Dur, bahwa Menteri Agama periode 1971-1978, Mukti Ali, memohon pandangan tujuh ahli agama, dan di antaranya adalah Kiai Bisri Syansuri.