Sedang Membaca
Halal: Dokumentasi dan Referensi
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Halal: Dokumentasi dan Referensi

Halal

Pada suatu masa, ada anggapan-anggapan menimbulkan polemik. Perkara terpenting dalam polemik melibatkan pelbagai pihak: “halal”. Kata itu berasal dari bahasa Arab. Sejak ratusan tahun lalu, “halal” datang ke Indonesia. Orang-orang menerima dengan terbiasa mengucap dan menulis.

Dulu, “halal” bisa berurusan dengan makanan dan minuman. Sekian orang memilih penggunaan halal dalam hubungan lelaki dan perempuan bertema pernikahan. Di Indonesia, “halal” pun dimaknai berkaitan Lebaran. Di situ, orang-orang meminta dan memberi maaf. Kita berhak membuka kamus-kamus (lama dan baru) jika ingin mengerti “halal”.

Pada abad XXI, “halal” masih masalah rumit berdalih agama, kesehatan, bisnis, kekuasaan, dan lain-lain. Kita belum selesai mendapat berita dan opini bertema “halal”. Kritik, lelucon, sindiran, atau pembelaan terus bertumpuk dalam menjelaskan “halal”. Kita mungkin lelah tapi bisa sejenak mengingat masa lalu untuk mengerti babak-babak masalah “halal” di Indonesia. Ingatan itu menggunakan acuan majalah-majalah.

Di majalah Femina, 12-18 Januari 1989, kita melihat sampul belakang memuat iklan dari kecap ABC. Di pojok bawah, dicantumkan keterangan: “Dijamin 100% halal.” Dulu, keterangan itu penting bagi pembeli atau pengguna. Konon, urusan “halal” terlalu serius, menentukan nasib bisnis dan derajat keimanan bagi konsumen. Penulisan 100% mengesankan mutlak. Orang-orang diminta jangan ragu.

Baca juga:  Almanak Derita Muslim Tatar Krimea

Di halaman 86, pengumuman resmi dari Indomie. Halaman berisi kata-kata minta perhatian setelah gegeran berurusan “halal”. Kata-kata itu tampak dibingkai dengan gambar masjid dan pohon. Gambar memberi kesan agama.

Kita mengutip: “Terima kasih kami ucapkan kepada masyarakat Indonesia yang telah pulih kembali keyakinannya dan tetap memilih Indomie sebagai hidangan lezat dan halal. Hasil penelitian laboratorium oleh tim resmi pemerintah menyatakan bahwa Indomie tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan agama. Ini melegakan kita semua dan patut kita ucapkan syukur alhamdulillah. Ternyata Indomie telah diuji, dicoba dan semakin disukai.”

Pada masa lalu, keributan “halal” dan “haram” menimbulkan kerepotan di pihak perusahaan. Polemik bisa menentukan untung dan rugi. Polemik berakibat di pertaruhan kesetiaan konsumen. Para ahli agama pun memerlukan memberi khotbah-khotbah. Pemerintah wajib menunjukkan perhatian dan tanggung jawab. Hari-hari mendebarkan telah berlalu dengan pemuatan pengumuman dari perusahaan menghasilkan Indomie. Pengumuman mengandung iklan lanjutan. Kini, kita melihat dan membaca halaman itu kliping (dokumentasi) bersejarah.

Indonesia belum sepi dari masalah-masalah. “Halal” terus menjadi masalah sulit tamat. Di majalah Gatra, 24 Februari 1996, kita membaca berita masih mengenai “halal”. Hal terpenting: “label halal masuk ke dalam RUU Pangan”. Di situ, ada peran MUI dan Soeharto. Kita memahami “halal” berurusan kekuasaan, konstitusi, dan institusi keagamaan.

Baca juga:  Pengembaraan Ilmu dan Pesantren Mahal

Berita penting terbaca lagi saat Indonesia abad XXI tetap sibuk memikirkan “halal”. Kita mengutip dampak dari kebijakan Soeharto: “Hal ini tentu akan menenteramkan batin umat Islam, konsumen terbesar di negeri ini. Mereka tak perlu waswas lagi – soal halal tidaknya makanan – ketika memasuki rumah makan atau membeli makanan di supermarket. Maklumlah, makanan bagi umat Islam adalah bagian tak terpisahkan dari iman.” Berita bertahun 1996 bisa teringat jika orang-orang ribut masalah “halal” dan peran pemerintah.

Kita boleh membaca berulang setiap muncul polemik “halal”. Usaha menjelaskan “halal” dilakukan pelbagai pihak, termasuk harus menghadap Soeharto. Rapat, pertemuan, seminar, dan pelbagai acara diselenggarakan dalam menuntaskan masalah “halal”. Di berita, ada ingatan atas peristiwa telah terjadi: “Lebih jauh lagi, pada September 1994, LP POM-MUI mengadakan pameran dan seminar makanan halal dalam INHAFEX ’94 di Jakarta Fair, Kemayoran, Jakarta. Pameran itu, antara lain, memberikan penyuluhan kepada para produsen makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetika, bagaimana memproses produksi mereka agar benar-benar dapat dikategorikan produk halal.”

Di Indonesia, “halal” itu polemik mungkin sepanjang masa. Polemik mengandung sekian tuduhan, pembelaan, argumentasi, pembuktian, undang-undang, khotbah, dan lain-lain. “Halal” tak selesai dalam kamus-kamus. Kita justru berpikiran terwujud pembuatan “kamus halal” di Indonesia bersumber masalah-masalah sering bermunculan di Indonesia, dari masa ke masa. Kamus itu dokumentasi dan referensi. Begitu.

Baca juga:  Corona, Sastra, dan Kutukan Tuhan?

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top