“Barangsiapa ingin ibunya kehilangan anak atau dia ingin anaknya menjadi yatim, datangilah aku di balik lembah itu,” ujar Umar bin Khathab di depan kerumunan orang Quraisy Makkah. Sahabat Umar mengucapkan itu ketika ia hendak berangkat hijrah ke Madinah setelah sekitar satu dekade lebih umat Islam tidak bisa bebas menjalankan kepercayaannya.
“Semua orang ketika itu berangkat sembunyi-sembunyi, kecuali Umar,” kata Ali bin Abi Thalib.
Demikian kisah yang direkam oleh Shawqi Daif dalam Muhammad Khatam al-Mursalin. Maka wajar saja jika momen hijrah ini kemudian menjadi sangat berkesan bagi Amirul Mukminin Umar bin Khathab. Bahkan periwayat hadis tentang niat hijrah (innama al-a’malu bi al-niat) yang masyhur itu adalah sahabat Umar.
Tujuh belas tahun setelah kejadian hijrah ini, Umar yang ketika itu sudah menjadi khalifah mendapat surat dari Abu Musa al-Asy’ari. “Surat-suratmu yang tidak memiliki tanggal telah sampai kepadaku,” tulis Abu Musa sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (7/267).
Merasa dapat sindiran cerdas dari Abu Musa, Umar mengumpulkan orang-orang dan menanyai mereka tentang sistem penanggalan.
Lantas mereka mulai mengusulkan pendapat mereka masing-masing; ada yang mengusulkan diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai permulaan tahun; ada yang mengusulkan hari lahir beliau; ada yang mengusulkan hari beliau meninggal; ada pula yang mengusulkan tahun di mana hijrah dilakukan.
Usulan terakhir ini rupanya menarik hati Umar. “Hijrah memisahkan kebenaran dan kebatilan. Mari kita mulai penanggalan dari tahun hijrah.” Pada tahun ketujuh belas itu akhirnya dipilihlah hijrah menjadi permulaan tahun. Pemilihan ini dilakukan saat bulan Rabiul Awal.
Pertanyaan selanjutnya adalah bulan apa yang tepat untuk dijadikan sebagai awal tahun baru? (Baca tulisan menarik: Nowruz, Tahun Baru ala Irania)
Sebagian orang mengusulkan Rajab dan sebagian lagi mengusulkan Ramadan. Namun Utsman punya pendapat yang berbeda, “Kita mulai dengan bulan Muharam, karena bulan ini adalah awal tahun (di masa jahiliah) dan waktu pulangnya jemaah haji.”
Usulan ini diterima oleh Khalifah Umar. Maka bulan Muharam yang akan datang saat itu menjadi perayaan tahun baru pertama bagi umat Islam. Menurut an-Nawawi dalam Tahdzibul Asma’ pemilihan Umar ini adalah termasuk ijmak umat. (Baca tulisan menarik: Melihat Allah)
Al-Suyuthi dalam al-Syamarikh fi ‘Ilmil Tarikh mengisahkan bahwa orang Arab pra Islam tidak memiliki penanggalan yang solid. Orang Arab meskipun sudah memakai sistem penanggalan lunar (qamariyyah, merujuk pada perputaran bulan), namun mereka tidak mengawali penanggalan dengan satu momen pasti. Sistem penanggalan tertua yang dimiliki orang Arab menurut as-Suyuthi adalah sejak dibangunnya Kakbah oleh Ibrahim dan Ismail—meskipun klaim ini hendaknya butuh pembuktian lebih lanjut.
Setelah pembangunan Kakbah ini orang Arab bermigrasi ke berbagai macam tempat dan mulai membuat penanggalan sesuai momen yang berkesan bagi kabilah mereka. Misal sebuah kaum bermigrasi dari Tihamah ke tempat lain, maka kaum tersebut akan menandai tahun itu sebagai sistem penanggalan mereka. Sedangkan keturunan Ismail ketika itu sudah tidak menjadikan pendirian Kakbah sebagai permulaan tahun. Mereka beralih menjadikan migrasi Sa’d, Nahd, dan Juhainah sebagai permulaan. Hal ini terus berlangsung hingga meninggalnya Ka’b bin Luay, kakek ketujuh Nabi Muhammad saw. Tahun meninggalnya Ka’b mereka jadikan sebagai penanda penanggalan baru.
Namun ketika Abrahah menyerang Kakbah menggunakan gajah, orang Arab beralih menggunakan tahun itu sebagai permulaan penanggalan dan baru berganti sampai Umar memilih hijrah sebagai permulaan tahun yang baru.
Pemilihan hijrah ini sendiri didasarkan atas fakta bahwa orang Romawi dan Persia menggunakan kelahiran tokoh atau kematian raja mereka sebagai permulaan tahun. Di samping pula bahwa waktu kelahiran dan diutusnya Nabi saw masih diperselisihkan kapan pastinya oleh para Sahabat. Sedangkan jika menggunakan tahun meninggal beliau sebagai permulaan tahun maka hal itu tentu sangat menyedihkan. Maka pemilihan hijrah ini adalah pilihan realistis sekaligus juga wujud otentisitas umat Islam dengan tidak meniru orang Persia dan Romawi.
Pemilihan hijrah ini juga disebut didasarkan pada surat at-Taubah ayat 108 berikut:
لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ
Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba) sejak hari pertama (didirikan) adalah lebih patut untuk kamu salat di dalamnya.
Masjid Quba adalah masjid yang pertama kali didirikan oleh Rasulullag saw tatkala beliau baru sampai hijrah. Maka kata “sejak hari pertama” (min awwali yaumin) menurut Al-Suhali—sebagaimana dikutip oleh Ibn ‘Asyur dalam at-Tahrir wat Tanwir (10/115)—mengindikasikan bahwa Alquran mengakui hijrah adalah permulaan hari. Tentu tidak mungkin hijrah adalah hari pertama secara harfiah, maka maksudnya pasti hijrah adalah hari permulaan tahun. Jadi pemilihan Khalifah Umar ini adalah ilham dari Allah, kira-kira demikian.
Negara Timur Tengah sendiri seluruhnya menggunakan penanggalan hijrah hingga jatuhnya Daulah Utsmaniyyah. Baru setelah itu beberapa negara mulai menggunakan penanggalan Masehi (Syamsiyyah, merujuk pada perputaran matahari). Selamat tahun baru 1 Muharam 1440 H. Wallahu a’lam.
Syukron.Mencerahkan.