Bulan puasa berlabuh dengan segudang berkah, siapapun yang menjumpainya ia akan mendapatkan kemuliaan darinya. Dulu, bila Ramadan telah tiba, Rasulullah Saw. menyambutnya dengan penuh kebahagiaan. Sebagaimana riwayat Abu Hurairah Ra: “Nabi Muhammad Saw. memberikan kabar gembira kepada para sahabatnya, beliau bersabda:
قَدْ جَاءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ كُتِبَ عَلَيْكُمْ صِيَامُهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حَرُمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حَرُمَ الخَيْرَ الكَثِيْرَ
(Telah datang bulan Ramadan, bulan penuh berkah, Allah mewajibkan kepada kalian untuk berpuasa, di dalamnya pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka dikunci, dan para syaithan dibelenggu, di dalamnya pula terdapat malam yang lebih baik dari pada seribu bulan. Siapa saja yang luput dari kebaikannya, maka ia telah luput dari kebaikan yang banyak). (HR. Ahmad, 2/230).
Para ulama mengatakan bahwa hadis tersebut merupakan asal dimana orang-orang saling memberikan kabar gembira satu sama lain saat bulan Ramadan tiba. Siapa sangka, kini kita tengah menyapa bulan Ramadan, lantunan doa yang senantiasa dipanjatkan sejak 2 bulan terakhir pada akhirnya terpenuhi pula, اللّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ (Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab, Sya’ban, dan pertemukanlah kami dengan bulan Ramadan). Sudah barang tentu setelah kita dipertemukan dengan Ramadan selayaknya kita mampu meningkatkan rasa syukur kepada sang Skenario Takdir.
Lantas bagaimana langkah selanjutnya setelah kita berjumpa dengan bulan Ramadan? Apakah kita mampu mengabdi secara totalitas di bulan Ramadan ini? Ataukah bahkan kita masih belum sempat kontemplasi akan keagungan bulan Ramadan itu sendiri, sampai-sampai kita terlena dengan kesibukan rutinitas layaknya bulan-bulan sebelumnya.
Bulan Ramadan adalah bulan yang penuh kebaikan dan keberkahan, hari-harinya diliputi sejuta kebaikan, Ramadan menjadi kesempatan emas bagi para hamba-Nya, bulan Ramadan merupakan bulan yang dapat membersihkan lumpuran dosa bagi orang yang bertaubat. Mari kita sedikit menyelami kedudukan dan keagungan bulan Ramadan itu sendiri. Sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab-kitab salafus-shalih.
Pertama, Ramadan adalah bulan yang Allah sendiri pilih sebagai momen diturunkannya kitab dan risalah-Nya. Bulan yang menjadi penghubung antara bumi dan langit, Allah menurunkan firmannya dari langit ke bumi dan berdialog dengan makhluk-Nya. Hal ini dijelaskan dalam riwayat Watsilah bin al-Asqa’ dari Rasulullah Saw. bersabda: “shuhuf (lembaran) Ibrahim diturunkan pada permulaan Ramadan, kitab Taurat diturunkan pada hari keenam Ramadan, kitab Injil diturunkan pada hari ketiga belas Ramadan, kitab Zabur diturunkan pada hari kedelapan belas Ramadan, dan kitab Al-Qur’an diturunkan pada hari kedua puluh empat Ramadan (ini versi lain nuzululqur’an)” (HR. Ahmad, 4/107).
Hadis di atas sudah menjelaskan bahwa Allah tidak sembarangan memilih bulan Ramadan sebagai bulan dimana kitab dan risalah-Nya diturunkan kepada para utusan-Nya. Dalam arti luas, sebegitu agungnya sampai Allah memulai risalah-Nya untuk mengeluarkan manusia dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang di bulan Ramadan.
Kedua, Rasulullah Saw. bersabda: “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: كُلُّ عَمَلٍ ابْنِ آدَمَ لَهُ، اِلَّا الصَّوْم فَإِنَّهُ لِيْ وَاَنَا اجْزِي بِهِ (setiap amal manusia untuk dirinya kecuali amal puasa, karena ia untukku dan akulah yang akan membalasnya) (HR. Bukhari: 1850 dan Muslim: 1151).
Dari sini dapa dilihat bahwa ibadah puasa memiliki keistimewaan sendiri, ibadah puasa urusannya langsung dengan Allah Swt. Akan tetapi, semuanya kembali lagi kepada latar belakang niat seseorang. Oleh karenanya kelanjutan dari hadis di atas adalah: انه اِنَّمَا تَرَكَ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ وَشَرَابَهُ مِنْ اَجْلِيْ (asalkan ia berpuasa untuk meninggalkan syahwat, makan, dan minumnya karena aku [Allah]).
Banyak sekali pandangan dari maksud hadis di atas, penulis mengambil pendapatnya Abu Ubaid dalam kitab Gharibnya, ia mengatakan; “kita mengetahui bahwa setiap amal kebaikan karena Allah akan dibalas oleh Allah pula. Namun di sini kita lihat bahwa Allah mengkhususkan amal puasa, sebab puasa merupakan amal yang tidak tampak dikerjakan oleh manusia, ia terletak di dalam hati. Dimana setiap amal itu mesti dilakukan dengan gerakan (terlihat), berbeda dengan puasa karena ia merupakan niat yang tersembunyi dalam hati manusia.”
Al-Hafidz Ibnu Rajab menjelaskan dua pendapat terkait makna “puasa untukku”: (1) bahwa puasa itu dapat membatasi nafsu syahwat seseorang dan hal itu tidak dapat ditemukan dalam ibadah lain selain puasa. Adapun ibadah shalat yang sama dalam membatasi syahwat itu sifatnya sementara yakni saat ia shalat saja, berbeda dengan puasa sepanjang siang seseorang harus menahan syahwatnya.
Tentu hal ini hanya diketahui oleh Allah, apakah ia benar-benar melakukan puasa karena Allah atau selainnya; (2) puasa adalah rahasia antara seoarang hamba dan tuhannya, sebab persoalannya ada di dalam hati, apakah dia melakukan riya’ atau tidak, hanya Allahlah yang mengetahuinya. Jangan sampai hari-hari puasa kita sama dengan hari-hari tidak berpuasa, Nabi bersabda: رُبَّ صَائِمٍ حِظُّهُ مِنَ الصِّيَامِ اْلجُوْعُ وَاْلعَطَشُ، وَرُبَّ قَائِمٍ حِظُّهُ مِنَ اْلقِيَامِ السَّهَرُ (Berapa banyak orang yang berpuasa, hanya mendapatkan dari puasanya rasa lapar dan haus saja, dan berapa banyak orang yang melakukan qiyamullail hanya mendapatkan dari qiyamullail-nya begadang saja). (HR. Ahmad, 2/373).
Ketiga, Di dalam bulan Ramadan terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan (bila disederhanakan menjadi 83 tahun lebih). Ini merupakan kemuliaaan Allah yang diberikan kepada umat Muhammad Saw. dimana umur umat Nabi Muhammad kisaran 60/70 tahun dan sedikit yang melewatinya. Tidak berhenti di situ, setiap satu amal kebaikan dibalas 10 kali lipat, 1 huruf bacaan Al-Qur’an mendapat 10 pahala, dan lailatul qadar di bulan Ramadan lebih baik dari seribu bulan.
Mari kita angan-angan bilamana kita mendapatkan malam lailatul qadar sebanyak 30/40 kali selama hidup, yang setiap malamnya terhitung 80 tahun, maka umur kita mampu mencapai dua ribu tahun/tiga ribu tahun lebih. Tentu hal tersebut merupakan keberuntungan yang tidak dapat diperoleh kecuali di bulan Ramadan. Allahumma waffiqna liqiyami lailatil qadri wa la tahrimna ajraha.
*Disarikan dari kitab Asrar al-Muhibbin fi Ramadhan karya M. Husein Ya’qub.