Sedang Membaca
Pengajian Kitab Filsafat di Pesantren
Avatar
Penulis Kolom

Pengampu pengajian kitab Filsafat Islam di Pesantren Ciganjur, Jakarta. Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Jakarta.

Pengajian Kitab Filsafat di Pesantren

Pada umumnya, pesantren-pesantren di Indonesia fokus mengajarkan Al-Quran, Hadits, Sejarah Islam, Fikih, Kalam, Tasawuf dan Ilmu-Ilmu Alat (Nahwu, Sofof, Balaghah, Mantiq, Arudh). Belum ada pesantren yang secara khusus mengajarkan kitab-kitab filsafat. Oleh karena itu, saya berupaya mengisi kekosongan itu.

Memperkenalkan filsafat di pesantren itu penting karena beberapa alasan. Pertama, pesantren adalah “pondasi” Islam di Indonesia, sementara Islam adalah agama mayoritas di Indonesia. Dikatakan “pondasi”, karena pesantren merupakan institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia yang masih ada hingga sekarang. Pesantren mengajarkan Islam dari jenjang paling dasar, mulai dari cara membaca Al-Quran hingga cara membaca dan memahami kitab-kitab berbahasa Arab tanpa harakat dengan konten beragam (kitab kuning). Meski mengkaji banyak objek kajian, pesantren tidak mengajarkan filsafat.

Kedua, mayoritas pesantren di Indonesia menghormati Al-Ghazali. Tokoh yang populer dengan kitab Ihyâ’ `Ulûm Al-Dîn itu sempat mengkafirkan para filsuf di kitabnya yang berjudul Tahâfut Al-Falâsifah. Sehingga, kalangan pesantren cenderung berhati-hati bahkan melarang pembelajaran filsafat, tanpa pernah sungguh-sungguh belajar filsafat.

Ketiga, sebagian pesantren mengajarkan logika (mantiq). Namun pengajaran kitab logika di pesantren sama dengan pengajaran kitab yang lainnya, dengan aksentuasi pada pemahaman teks kitab, bukan pada pencerapan metode berpikir logis dan penerapannya. Padahal, inti logika adalah memiliki kemampuan berpikir logis-filosofis, dan proses berikutnya adalah berfilsafat, yaitu berinteraksi dengan dan memunculkan gagasan-gagasan filosofis. Celakanya, hanya logika saja yang diajarkan, metode pengajarannya tidak tepat, sementara filsafat dan berfilsafat tidak diajarkan sama sekali.

Keempat, filsafat Islam adalah peradaban Islam. Yang dimaksud dengan peradaban adalah budaya suatu komunitas yang memberi kontribusi tidak hanya untuk komunitas itu tapi juga untuk pihak di luar komunitas itu. Filsafat Islam yang diusung oleh Ibn Sina dan Ibn Rusyd, misalnya, dipelajari oleh komunitas non-Islam, bahkan membantu kebangkitan Eropa. Sungguh disayangkan bila peradaban Islam tersebut justru tidak dipelajari oleh umat Islam sendiri, khususnya pesantren yang notabene tulang punggung Islam di Indonesia.

Baca juga:  Tafsir Al-Ghazali soal Renungan Ketuhanan Nabi Ibrahim

Berdasarkan alasan tersebut, saya berinisiatif untuk mengajarkan kitab filsafat di pondok pesantren. Ikhtiyar saya itu dilakukan di Pesantren Ciganjur dengan dua pertimbangan. Pertama, Pesantren Ciganjur adalah pesantren yang didirikan oleh Alm. KH. Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur, Presiden ke-4 Republik Indonesia, yang terkenal berpengetahuan luas dan terbuka terhadap berbagai wacana. Kedua, Pesantren Ciganjur adalah pesantren mahasiswa, yang para santrinya telah cukup mengenyam pendidikan pesantren konvensional. Dua pertimbangan itu memungkinkan saya mengintroduksi pendidikan non konvensional di pesantren, yaitu mengajarkan kitab-kitab filsafat Islam.

Kitab pertama yang saya ajarkan adalah kitab Ibn Rusyd yang berjudul Fashl Al-Maqal fî Taqrîr Mâ Baina Al-Syarî`ah wa Al-Hikmah min Al-Ittishâl (selanjutnya disebut Fashlu Al-Maqâl). Kitab itu memberi sanggahan ringkas atas pernyataan Al-Ghazali di kitab Tahâfut Al-Falâsifah seperti disinggung di atas, sementara sanggahan panjangnya dicatat di kitab Ibn Rusyd yang berjudul Tahâfut Al-Tahâfût.

Fashl Al-Maqâl juga memberi jawaban bagi pertanyaan: bolehkah muslim mempelajari filsafat dan logika? Alih-alih sekadar menjawab “boleh”, Fashl Al-Ma`qâl, yang ditulis oleh filsuf sekaligus hakim agung Islam di Sevilla dan Cordoba zaman kejayaan Islam di Spanyol itu, justru mengatakan bahwa filsafat dan logika wajib dipelajari oleh muslim, karena menyelarasi perintah agama Islam. Jawaban itu merupakan pegangan penting untuk muslim mempelajari filsafat dan logika. Kalangan pesantren yang menjadi pondasi Islam di Indonesia harus membaca langsung argumen keselarasan filsafat dan agama Islam, serta kewajiban muslim berfilsafat itu, supaya bisa mengarungi dunia filsafat secara lebih intensif. Oleh karena itu, Fashl Al-Maqâl menjadi kitab pertama yang diajarkan.

Kajian pengantar filsafat Islam melalui pembacaan kitab Fashl Al-Maqâl itu telah diselenggarakan di Pesantren Ciganjur dari mulai tanggal 10 Februari 2020 hingga tanggal 20 Juli 2020. Rekaman pengajian tersebut dapat disaksikan di kanal Youtube https://www.youtube.com/watch?v=vuo1Q2c5zKI&list=PLSheXQ0gyYOPdGPvOe8K1EMJnOZ5vjfBS

Baca juga:  Berpura-Pura Bodoh Agar Bisa Hidup Tenang

Usai memberikan pengantar filsafat yang memberikan landasan bagi muslim untuk berfilsafat, saya mengajarkan kitab Ihshâ’ Al-`Ulûm karya Al-Farabi. Kajian kitab Ihshâ’ Al-`Ulûm masih merupakan kajian pengantar menuju filsafat Islam. Kitab itu berisi ragam disiplin ilmu di peradaban Arab-Islam, yang termasuk di dalamnya cabang-cabang kajian filsafat. Dengan mempelajarinya, kalangan pesantren bisa mengetahui secara global apa saja objek kajian filsafat secara khusus dan isi peradaban Arab-Islam secara umum. Pengajian kitab Ihshâ’ Al-`Ulûm mulai diselenggarakan tanggal 27 Juli 2020, dan masih rutin dilakukan setiap Senin pukul 20.00 WIB. Rekaman pengajian Ihshâ’ Al-`Ulûm itu dipublikasikan di kanal Youtube https://www.youtube.com/watch?v=dnq-wTO1wQE&list=PLSheXQ0gyYOM1Tz303j_TAoRdicNbHGI0

Pada dasarnya, pengajian kitab di Pesantren Ciganjur bersifat ofline (luring). Beberapa tokoh senior mengajar di sana. Misalnya, KH. Wahid Maryanto (murid Gus Dur di Pesantren Tebuireng yang kini mengasuh Pesantren Al-Kinaniyah di Jakarta) mengajar kitab Asybâh wa Al-Nazhâir (tentang Ushul Fiqh); dan Dr. KH. Lutfi Zuhdi (wakil rektor Universitas Indonesia) mengajar kitab Al-Jâmi` li Ahkâm Al-Qur’ân (tentang tafsir dan fikih).

Selaku junior tokoh-tokoh tersebut yang berinteraksi dengan generasi masa kini, saya mau tidak mau harus menggunakan strategi generasi masa kini. Pesantren Ciganjur menugaskan saya mengampu pengajian kitab filsafat Islam. Mengingat generasi masa kini adalah generasi internet, maka pengajian yang saya ampu disiarkan di internet juga, melalui siaran langsung di Facebook saat pengajian berlangsung tiap Senin pukul 20.00 malam, dan melalui siaran tunda di Youtube sebagaimana tersebut di atas.

Mengonlinekan pengajian di pesantren itu penting mengingat masyarakat masa kini punya kecenderungan belajar beragama Islam dari internet. Sayangnya, kajian keislaman di internet berbahasa Indonesia didominasi oleh kalangan formalis yang pada tataran tertentu anti budaya setempat dan intoleran. Formalisme intoleran tak sekadar meracuni para pembelajar di internet, tapi juga menodai Islam yang beresensi toleran. Oleh karena itu, menyebarkan pengajian pesantren yang esensial dan toleran di internet berbasis kitab menjadi kebutuhan kekinian.

Baca juga:  Peran Polisi dalam Amar Makruf dan Nahi Munkar

Publikasi pengajian kitab melalui internet bukan hal baru. Beberapa tokoh telah melakukannya. KH. Ulil Abshar Abdalla, misalnya, mengampu pengajian kitab tasawuf Ihya’ Ulûm Al-Dîn di facebooknya. KH. Mukti Ali Qusyairi, contoh lainnya, mengampu pengajian beberapa kitab, antara lain kitab akhlak Adab Al-Dunya wa Al-Din di facebooknya. Dalam pengamatan saya, belum ada kalangan pesantren yang mengajarkan kitab filsafat Islam di pesantren dan menyiarkan proses belajar itu di internet. Saya berusaha memenuhi hal yang belum diisi itu.

Saya mengajarkan kitab-kitab filsafat Islam sesantai mungkin. Itu metode pengajaran yang saya sengaja, karena filsafat dikenal sebagai disiplin yang serius. Jika filsafat diajarkan secara serius dan menjemukan kepada orang-orang yang belum mengenal filsafat dengan baik, maka filsafat akan semakin dijauhi. Demi menghindari hal itu, saya sengaja mengajarkan kitab-kitab filsafat Islam sambil memberikan contoh-contoh kekinian dan sesekali bergurau.

Kajian kitab filafat Islam di pesantren yang disiarkan melalui internet itu diniatkan untuk sedekah ilmu. Tak ada niat untuk memperkaya diri dengan memperbanyak jumlah viewer/subscriber/iklan. Lagi pula, sudah disadari sejak awal bahwa kajian filsafat bersifat segmented. Berfilsafat perlu berpikir mendalam. Tak semua orang mau berlelah-lelah berpikir. Hanya orang-orang khusus saja yang mau berfilsafat dengan tekun. Oleh karena itu, kajian kitab filsafat di Pesantren Ciganjur yang disiarkan di internet itu menyasar kepada orang-orang yang mau berpikir secara mendalam, tapi disampaikan secara populer, supaya yang berharga bisa dinikmati siapa saja, termasuk Anda.[]

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
3
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top