Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti. (QS. Al-Hujurat [49]: 13)
Ayat ini menjadi dasar bahwasanya Islam, merupakan agama humanistis. Agama yang anti perpecahan, diskriminasi, dan eksploitasi. Bahkan, Islam agama kritik terhadap laku hidup manusia yang dinilai dapat merugikan pada manusia lain. Demikian juga ketika membicarakan sosok perempuan. Islam hadir sebagai agama pembebas bagi kaum perempuan tatkala hak-hak mereka dalam semua aspek kehidupan dipasung – baik sosial, politik, dll.
Lebih jauh lagi, Islam memandang kaum perempuan sejajar dengan kaum laki-laki. Yang membedakan keduanya hanyalah tingkat ketakwaan mereka. Ini berarti, tinggi-rendahnya derajat seseorang di mata Islam bukan dinilai dari strata sosialnya apakah ia keturunan orang terhormat atau tidak, kaya atau miskin, berpendidikan atau tidak, dll., melainkan ketakwaannya kepada Allah. Jika ia bertakwa maka tinggilah derajatnya. Sebaliknya, jika tidak bertakwa maka rendahlah atau hinalah dia. Sungguh mulia cara pandangan Islam terhadap manusia terutama perempuan.
Adalah wajar, apabila pada zaman Rasulullah Saw banyak kaum perempuan telah memainkan peranan penting dengan turut andil dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, bahkan terlibat secara langsung menyukseskan dakwah Islam walaupun dengan cara mereka sendiri. Lihat misalnya, bagaimana kiprah Rufaydah al-Aslamiyah selaku seorang dokter perempuan pertama dalam sejarah Islam. Di masa perang, Rufaydah, bersama perawat lain pergi ke medan perang untuk merawat yang terluka. Ia telah banyak berkecimpung dalam peperangan, baik perang Badar, Uhud, Khandaq, Khaibar, dll.
Pun dalam konteks kekinian, ada banyak kaum perempuan yang telah berkecimpung di ruang publik. Mereka memainkan peranan penting bahkan memiliki kedudukan cukup strategis dalam tatanan kehidupan kemasyarakatan. Wanita-wanita karier juga semakin merebak, baik di tingkat masyarakat pelosok-pedesaan maupun masyarakat urban atau perkotaan. Demikian pula keterlibatannya di pentas perpolitikan dan pemerintahan tak bisa dimungkiri. Ini menjadi bukti bahwa perempuan mampu mengelola tatanan sosial laiknya seorang laki-laki.
Kendati demikian, masih ada sebagian – untuk tidak mengatakan tidak ada – terutama di kalangan umat Islam sendiri yang memiliki cara pandang sinis dan misoginis terhadap sosok seorang perempuan. Meski Islam sebagai agama memosisikan perempuan sangat mulia dan ditopang dengan fakta bahwa perempuan mampu berkiprah di ruang publik, hal ini tak membuat susut citra negatif pada perempuan. Stereotip perempuan sebagai makhluk yang menjadi titik lemah keimanan, pelengkap penderitaan kaum laki-laki, dan ketidakpantasannya terlibat dalam urusan pemerintahan semakin menguat.
Tidaklah mengherankan apabila pandangan negatif ini acapkali dijadikan alat legitimasi kaum laki-laki terhadap perempuan bahwa: laki-laki superior sementara perempuan inferior. Akibatnya, mereka tak memiliki ruang sedikitpun. Nasib mereka seakan-akan tengah ditentukan oleh struktur dominasi kaum laki-laki. Demikian juga dalam urusan rumah tangga. Perempuan tak memiliki peran apapun selain dapur (memasak), sumur (menyuci), dan kasur (menunaikan kewajiban suami-istri).
Jika demikian, pertanyaan yang muncul kemudian mengapa masih ada sebagian orang khususnya umat Islam memandang rendah kaum perempuan? Bukankah Islam sendiri memberi ruang dan kedudukan yang sangat mulia serta sejajar dengan kaum laki-laki? Atau sudah menjadi suratan takdir seorang perempuan untuk direndahkan, tidak dihargai, didiskriminasi, dan dipasung eksistensinya?
Menurut saya, mengakarnya stereotip negatif terhadap sosok perempuan sampai kiwari, sekurang-kurangnya disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kuatnya hegemoni sejarah perempuan dalam masyarakat pra-Islam. Mafhum, sebelum Islam datang kondisi perempuan cukup memilukan. Eksistensinya tak dihargai, hak-haknya pasung, dan kebebasannya dibatasi bahkan dicabut. Apabila lahir seorang anak perempuan, ia dikubur hidup-hidup karena dianggap sebagai aib keluarga. Jangankan terlibat dalam urusan publik, keluar rumah pun mereka tak diperbolehkan. Sungguh kondisi yang sangat tragis dialami seorang perempuan kala itu.
Anehnya, catatan sejarah kelam masyarakat pra-Islam tentang perempuan ini diamini oleh sebagian umat Islam kiwari. Akibatnya, mereka seringkali berdalih dengan sejarah untuk memosisikan perempuan sebagai makhluk inferior yang pantas ditindas. Padahal, mengutip M. Amin Abdullah seorang ilmuwan dan cendekiawan Muslim pakar hermeneutika asal Indonesia menyatakan, apa yang diyakini oleh kebanyakan masyarakat tak terkecuali umat Islam merupakan hegemoni dari kehidupan kaum jahiliyah yang gemar mendudukkan kaum perempuan dalam tatanan kehidupan sosial secara diskriminatif dan tidak adil. (Amin Abdullah, dkk., 2000: 27)
Kedua, kuatnya doktrin teologi (keagamaan). Pandangan teologi yang dianut selama ini oleh kebanyakan orang menganggap bahwasanya, kekuasaan hierarkis kaum laki-laki atas perempuan adalah keputusan Tuhan yang tak bisa diubah apalagi dikritisi. Misalnya, argumen yang kerap diajukan untuk melanggengkan sikap diskriminatif pada perempuan adalah Alquran Surat An-Nisa’ [4]:34, yaitu;
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوْا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Artinya: “Kamu laki-laki adalah pemimpin atas kaum perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkah sebagian dari harta mereka”.
Menurut Gus Dur sapaan akrab KH. Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa para ulama (mufasir) klasik menafsirkan lafaz qawwamun, sebagai penanggungjawab, pemimpin, penguasa, pelindung dan sejenisnya. Hal ini didasarkan karena kaum laki-laki memiliki kelebihan ketimbang perempuan. Sehingga, kenyataan ini merupakan ketentuan yang pasti dan tak bisa diubah. (Abdurrahman Wahid, dkk., 1999: 206-207)
Tak ayal, dengan corak penafsiran demikian berimplikasi pada kekalnya budaya patriarki. Dengan kalimat lain, peran seorang perempuan – baik di wilayah publik maupun domestik – acapkali mengalami diskriminatif dan selalu tersubordinasi oleh laki-laki. Bahkan, menurut Asghar Ali Engineer, hal ihwal menyebabkan sempitnya aktivitas perempuan yang dibatasi di dalam rumah dan penundukan perempuan di bawah struktur kekuasaan laki-laki. (Asghar Ali Engineer, 2000: 63)
Ketiga, keliru memahami proses penciptaan perempuan. Tak bisa dimungkiri bahwa pemahaman yang dianut selama ini tentang terciptanya seorang perempuan (Hawa sebagai perempuan pertama di bumi), adalah berasal dari tulang rusuk laki-laki (Adam selaku laki-laki pertama di bumi). Pemahaman ini telah menjadi doktrin yang sangat kuat bahkan mengikat dalam benak setiap orang, tak terkecuali umat Islam. Mengapa demikian, karena hal ihwal ditopang oleh hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim, yaitu;
عن أبى هريرة رضى الله عنه، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: اِسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ، فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، وَإَنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِى الضِّلَعِ أَعْلَاهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِخَيْرًا.
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiaallahu ‘anhu bahwa Rasulullah bersabda: “Berwasiatlah (dalam kebaikan) pada wanita, karena wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah pangkalnya. Jika kamu coba meluruskan tulang rusuk yang bengkok itu, maka dia bisa patah. Namun bila kamu biarkan maka dia akan tetap bengkok. Untuk itu nasihatilah para wanita dengan penuh kebijakan”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadis inilah, akar superioritas kaum laki-laki dan inferioritas seorang perempuan semakin merebak dan tetap dipertahankan oleh sebagian orang Islam sampai kiwari. Akibatnya, seorang perempuan tak memiliki ruang dan peran untuk bereksistensi dengan bebas sebagai manusia. Memang secara tekstual, hadis di atas secara tegas dan lugas menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk seorang laki-laki.
Menurut Quraish Shihab, hadis di atas adalah sahih, karena itu kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. Walau begitu, lanjut Quraish, redaksi hadis tersebut jangan dipahami secara tekstual karena bisa meninggalkan kesan bahwa perempuan itu adalah makhluk yang rendah derajat kemanusiaannya ketimbang laki-laki. Tetapi, “tulang rusuk yang bengkok” harus dipahami secara majasi (kiasan). Maksudnya, sebagai peringatan kepada kaum Adam (laki-laki) ketika menghadapi kaum Hawa (perempuan) dengan sikap yang bijaksana, lemah lembut, dan santun. Pasalnya, ada sifat, karakter, dan kecenderungan yang dimilikinya berbeda dengan laki-laki. (M. Quraish Shihab, 2002: 271)
Berbeda dengan Quraish Shihab (yang agak lunak menafsirkan hadis tersebut), Riffat Hasan secara tegas menyatakan bahwa pemahaman tentang hadis penciptaan perempuan dari tulang rusuk yang selama ini diyakini dan diamini umat Islam khususnya, disebabkan adanya pengaruh dari kitab Injil. Untuk menguatkan argumennya, Hasan kemudian mengutip 4 rujukan dalam genesis (kitab kejadian). Menurutnya, kajian genesis, menyebutkan bahwa Adam berasal dari bahasa Ibrani yang berasal dari kata ‘adhamah’ berarti “tanah”. Sehingga tidak tepat dan tidak dapat diterima jika Hawa diciptakan dari tubuh Adam. Teks-teks Injil tersebutlah yang merasuki teks-teks hadis dengan pelbagai cara dan telah dijadikan instrumen untuk menafsirkan Alquran. (Dony Arung Triantoro, 2018: 78-79)
Jadi, jelaslah bahwa pemahaman sebagian orang Islam tentang superioritas kaum laki-laki dan inferioritas kaum perempuan sangat keliru. Bahkan, perilaku demikian tak memiliki dasar atau legitimasi yang cukup memadai, baik dari sisi Alquran maupun hadis. Walau begitu, apakah cara pandang sinis dan misoginis terhadap sosok perempuan yang mengakar kuat ini akan tetap bertengger dalam pemikiran mereka? Yang pasti dikembalikan pada pribadi masing-masing.
Sebagai catatan tambahan: tulisan ini merupakan hasil refleksi dan kegelisahan saya khususnya dikarenakan masih ada sebagian orang yang memiliki cara pandang sinis dan miring terhadap perempuan: tak perlu memiliki pendidikan tinggi – toh pada akhirnya akan tetap menjadi ibu rumah tangga yang selalu mengurusi anak dll. Pun tulisan ini, tentu saja, jauh dari alasan sebenarnya mengapa ada sebagian orang memandang rendah perempuan. Karena itu, kritik dan saran sangat terbuka bagi para pembaca. Sebab, tulisan ini bukan untuk menghakimi apalagi mengklaim. Wallahu A’lam
Referensi
Abdullah, Amin, dkk., Islam dan Problem Gender, (Yogyakarta: Aditya Media, 2000).
Engineer, Asghar Ali, Hak-hak Perempuan dalam Islam, (Yogyakarta: LPSA, 2000).
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2002).
Triantoro, Dony Arung, Pandangan Al-Quran tentang Perempuan: Kritik terhadap Tuduhan Feminisme, Jurnal Cakrawala: Jurnal Studi Islam 1, Vol. 13 (2018).
Wahid, Abdurrahman, Menakar “Harga” Perempuan: Eksplorasi Lanjut atas Hak-hak Reproduksi Perempuan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1999).