Dalam rangka memperingati Dies Natalies UIN Walisongo Semarang yang ke-51, Alif.id bekerjasama dengan kampus UIN Walisongo Semarang untuk menayangkan sejarah, warisan, dan jejak intelektual para Walisongo—sebagaimana yang kita kenal—dalam hal meneguhkan spirit moderasi beragama.
Ada 9 tulisan dari para akademisi UIN Walisongo Semarang, sebagaimana jumlah (paling masyhur) dari para Walisongo yang tersebar di tanah Jawa. Namun sebelum membaca ulasan dari para akademisi, kami akan menyuguhkan pengantar tulisan dari Prof. Dr. H. Imam Taufiq, M.Ag., Rektor UIN Walisongo Semarang, dan juga dari Dr. Timothy Winter (Abdal Hakim Murad), atas pemikirannya tentang inspirasi model dakwah Walisongo bagi muslim di Eropa. Dr. Timothy Winter adalah Direktur Kajian Teologi Wolfson College, dan juga Dekan di kampus Cambridge Muslim College.
Meneguhkan Kembali Spirit Moderasi Walisongo sebagai Upaya Pengembangan Kampus (Tulisan oleh Prof. Dr. H. Imam Taufiq, M.Ag.)
Hadirnya 9 artikel dari para akademisi UIN Walisongo Semarang, dengan tema besar “Meneguhkan Spirit Moderasi Walisongo” menandai 51 tahun perjalanan UIN Walisongo Semarang sebagai perguruan tinggi yang terus bertransformasi menuju world class university. Kata Walisongo yang tersemat dalam identitas perguruan tinggi ini, tentu tidak semata-mata diorientasikan sebagai penanda yang membedakan dengan perguruan tinggi islam lainnya. Lebih dari itu, spirit dan ajaran dari Walisongo telah menjadi ruh yang mendasari berbagai agenda pengelolaan serta pengembangan kampus dalam konteks akademik maupun non akademik. Oleh karena itu, peringatan dies natalis ke-51 UIN Walisongo Semarang menjadi momentum yang tepat untuk meneguhkan kembali spirit dan ajaran Walisongo melalui refleksi dan kontekstualisasi pada masa kini.
Salah satu spirit dan ajaran Walisongo yang patut kita teladani guna merespon dinamika perkembangan zaman adalah praktik moderat dalam beragama, mengingat moderasi beragama merupakan pengejawantahan dari komitmen kebangsaan. Merujuk pada konsep kebangsaan yang dipraktekkan oleh Nabi dalam konteks masyarakat Madinah, prinsip mendahulukan ‘hidup berdampingan’ (al-ta’ayusy al-musytarak) sebelum ‘religiusitas’ (tadayyun) menunjukkan fungsi agama dalam menjadikan umatnya sebagai umat yang maju baik secara peribadatan/ritual maupun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan/berbangsa (dalam konteks saat itu). Teladan tersebut lantas dijadikan pondasi oleh para Walisongo dalam membangun budaya dan peradaban dakwah di nusantara dengan berdasar pada prinsip moderasi yang meliputi komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Maka, sudah selayaknya kita turut mengadopsi konsep serta prinsip moderasi Walisongo tersebut sebagai pedoman kita bersama dalam menciptakan kampus untuk kemanusiaan dan peradaban.
9 tulisan dengan tema besar Meneguhkan Spirit Moderasi Walisongo ini menjadi kontribusi nyata dari seluruh sivitas akademika UIN Walisongo Semarang dalam membumikan spirit moderasi di tengah bingkai keragaman masyarakat. Semboyan Bhineka Tunggal Ika telah menuntun kita sebagai masyarakat Indonesia untuk hidup secara toleran dengan menghargai berbagai perbedaan. Heterogenitas yang terepresentasi melalui keragaman suku bangsa, bahasa, budaya serta agama menuntut kita untuk memiliki wawasan kebangsaan yang moderat. Hal tersebut yang kemudian menjadi modal dalam membentuk komitmen kebangsaan guna mewujudkan kehidupan yang aman dan damai. Oleh karena itu, berbagai ekspresi masyarakat dalam mengartikulasikan agama menjadi salah satu concern yang harus kita perhatikan bersama guna mewujudkan kehidupan yang harmonis lahir dan batin.
Kajian terkait ajaran Walisongo yang telah dipaparkan secara komprehensif oleh para penulis dalam Sajian Khusus ini, sangat layak untuk diberi apresiasi. Tidak hanya menunjukkan kapasitas keilmuan secara akademik, namun para penulis juga menunjukkan ketrampilannya dalam mengkontekstualisasikan berbagai ajaran Walisongo dengan berbagai fenomena sosial, budaya, agama, pendidikan, dan politik. Secara tidak langsung, Sajian Khusus ini telah berhasil menghadirkan kembali Walisongo pada masa kini melalui ruang-ruang dialog akademik dengan menempatkan spirit dan ajaran Walisongo sebagai framework dalam mengkaji berbagai fenomena sosial di masyarakat. Selain itu, tulisan-tulisan ini juga hadir di tengah kegelisahan para akademisi dalam mencari literasi ke-Walisongo-an, mengingat seringkali literasi Walisongo masih hadir dalam bentuk arsip dan dokumen lama (asli) sehingga tidak dapat diakses secara publik.
Dikemas secara apik dan menarik, kajian Walisongo dalam konteks kekinian dipaparkan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Sehingga, di dalam Sajian Khusus kali ini dapat menjadi alternatif bagi para akademisi dan masyarakat pada umumnya dalam mencari referensi terkait kajian Walisongo. Perkembangan zaman yang disertai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut kita untuk terus menyesuaikan diri, termasuk dalam konteks mengupdate literasi. Kumpulan 9 tulisan ini sangat tepat dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam memperkaya wawasan terkait kajian Walisongo serta berbagai kontekstualisasi pada masa kini dimana keterbaharuan menjadi urgensi dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Besar harapan Sajian Khusus ini tidak hanya menambah daftar karya ilmiah, namun juga sebagai upaya nguri-uri spirit dan ajaran Walisongo.
Inspirasi Moderasi Walisongo Bagi Dakwah Muslim Eropa (Tulisan oleh Dr. Timothy Winter/Abdal Hakim Murad).
Pada akhir musim panas 2019, sebanyak tiga puluh enam cendekiawan dan mahasiswa dari Cambridge Muslim College mengunjungi makam-makam agung di Jawa. Sebagai lembaga yang baru berdiri sepuluh tahun lalu merupakan kebijakan kami untuk melakukan perjalanan luar negeri kolektif setiap tahun. Bukan sebagai turis, tetapi sebagai peziarah intelektual dan spiritual ke pusat peradaban yang telah menjadi pusat cahaya iman selama ratusan tahun.
Kami para teolog Muslim Eropa memiliki akar yang dangkal; dalam banyak hal kami bergantung pada murid dan pewaris kebijaksanaan Islam dari Timur. Tapi dalam satu hal kami mandiri, atau hampir seperti itu. Hidup dan belajar di jantung modernitas, kami dapat menilai hal ini sebagai orang dalam dan tetangga dekat. Tidak seperti kebanyakan Muslim, kami tahu bahaya langsung yang ditimbulkan oleh modernitas sekuler. Di Universitas Cambridge sekarang ada Pusat Studi Risiko Eksistensial yang mempelajari peningkatan bahaya yang ditimbulkan oleh sains dan teknologi bagi kelangsungan hidup umat manusia. Ancaman ini termasuk perubahan iklim, rekayasa biologi, kecerdasan buatan, dan polusi hormon.
Dalam beberapa hal, beberapa ancaman lain yang terkait dengan ini adalah perang budaya yang semakin intensif saat ini di Barat, tentang gender, seksualitas, imigrasi, dan ras. Dengan tingkat kelahiran yang menurun, dan tingkat imigrasi yang meningkat, kemungkinan besar Eropa khususnya akan segera dihadapkan pada ketidakstabilan yang intens.
Tidak seperti beberapa institusi di dunia Arab, yang terpecah antara fundamentalisme yang tidak terpikirkan dan kekaguman terhadap modernitas yang ketinggalan zaman, kami para teolog Muslim Barat menemukan alternatif yang sangat hidup dalam Islam terhadap bencana yang dibawa oleh modernitas. Ini selalu menjadi dasar bagi teologi kami, sejak masa awal pemikiran Muslim Barat, dalam karya klasik tahun 1942 oleh René Guénon (Abd el-Wahid Yahya), berjudul Krisis Dunia Modern.
Dalam teks seperti ini, dan buku-buku yang lebih baru oleh Murad Hoffman, Charles Upton, Roger Garaudy, dan Ahmad Keeler, para pemikir Muslim Eropa menunjukkan bagaimana pemikiran Islam klasik menawarkan sekoci penyelamat bagi orang-orang tercerahkan yang mengakui ketidakberlanjutan materialisme-kapitalis-sekuler.
Mereka setuju bahwa alternatifnya, bagaimanapun, tidak bisa menjadi fundamentalisme Salafi, melainkan harus menggunakan sumber daya pemikiran Islam klasik yang tak tertandingi: wawasan Ash’ariyah dan Maturidiyah, keberagaman kewarasan dan kemanusiaan dari empat madzhab Sunni, serta spiritualitas tasawuf yang mendalam.
Untuk membangun komunitas mualaf kami yang berkembang pesat di Eropa, kami tidak hanya membutuhkan akses ke warisan tertulis dari peradaban kami sendiri, tetapi juga ke pancaran spiritual yang hidup yang merupakan fondasinya. Oleh karena itu, sebuah aksioma haruslah dikembangkan dari hubungan pribadi yang berbasis hati dengan kehadiran Nabi. Perayaan Maulid tumbuh dalam ukuran dan kepercayaan di seluruh dunia Barat, terhubung ke hubungan pribadi yang mendalam dengan pendiri agama, dan kesadaran akan peran kosmik yang sangat penting, seperti yang ditunjukkan dalam teks-teks utama tasawuf.
Mendekatkan diri dengan kehadiran Nabi dengan demikian sangat diperlukan bagi kami. Namun kami juga perlu membangun hubungan jantung yang sama dengan jiwa-jiwa yang berubah yang selama berabad-abad berjalan mengikuti jejaknya. Banyak buku baru-baru ini oleh cendekiawan Muslim Barat, terutama Rabia Brodbeck dan Michael Sugich, telah berusaha memperkenalkan kembali para pembaca Muslim tentang pentingnya para wali (awliya) dalam Islam: mereka yang kehidupan dan ingatannya menyebarkan ketenangan dalam jiwa, pada dasar di mana seseorang dapat menghadapi ancaman dan bencana modernitas dengan percaya diri.
Didorong oleh buku-buku semacam itu, semakin banyak Muslim yang tinggal di Barat telah mencari cara-cara di mana mereka secara pribadi dapat diubah oleh kedekatan para awliya. Namun di Eropa Barat hanya ada sedikit labirin besar, karena Islam, hingga baru-baru ini, adalah agama yang dianiaya dan dilarang. Bahkan orang-orang suci besar Muslim Spanyol, yang kuburannya dihormati begitu lama, dihancurkan dan dihapuskan oleh kebencian inkuisisi, dan sekarang tidak dapat ditemukan.
Jadi sekarang kami menemukan pemuda Muslim, baik yang mualaf atau terlahir-Muslim, membangun pola perjalanan ziarah. Banyak yang pergi ke Uzbekistan, untuk mengunjungi Khwaja Bahauddin Naqshband, Khwaja Ubaydullah Ahrar, dan wali besar dalam rantau emas lainnya. Ini karena pengaruh yang kuat dari Naqsybandis, khususnya di Inggris, Jerman dan Skandinavia. Yang lainnya pergi ke India, ke Khwaja Muinuddin Chishti dari Ajmer, atau Nizamuddin Awliya di Delhi. Ada banyak pola ziarah lain yang muncul juga. Faktanya, karena orang Barat dapat bepergian dengan bebas, semakin banyak pengunjung ke makam-makam suci semacam itu sekarang berasal dari negara-negara Barat: sebuah perkembangan baru yang luar biasa dan bersejarah.
Indonesia jauh dari kami! Tetapi setelah pandemi mereda, tampaknya semakin banyak Muslim Barat yang berpendidikan akan mengunjungi Wali Songo, dan mercusuar spiritual lainnya di Jawa, yang menjadi lebih terkenal di antara kami. Karena semakin banyak orang Barat menemukan jalan mereka untuk menyelamatkan diri ke dalam sekoci Islam, dan semakin banyak akademisi Universitas dapat menjelaskan bahwa Islam yang sebenarnya bukanlah fundamentalisme, atau agama liberalisme yang sempit dan lemah, tetapi keindahan penuh spiritual dari Islam klasik, tampaknya sangat mungkin bahwa Muslim Barat yang mendapat kehormatan untuk mengunjungi Wali Songo, akan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Penerjemah, Nur Ahmad.