“Kamu gendut, kurus, pesek, sipit, dan kudisan!” Di masa kecil, celaan fisik tersebut sering ditemukan masa bocah. Baik atau buruk tidak ada masalah. Celaan tersebut biasa dilakukan oleh teman yang lebih tua, saat bermain.
Novela berjudul “Ajari Kami Melampaui Kegilaan Kami” karya Kenzoburò Òe Penerjemah Aquarina Kharisma Sari, Circa 2019. Mengisahkan seorang tokoh yang gendut mengalami kehidupan yang tragis tidak berguna. Sering kita tahu orang gendut sering dijahili, dan mendapat perundungan body shaming. Tapi beda dengan tokoh yang gendut dalam novela, bukan terdampak body shaming yang menyakitinya, melainkan pola hidup yang menjadi aib.
Umumnya celaan fisik dikatakan body shaming. Tapi berbeda dengan Eeyore, tokoh yang dikatakan kalau orang berpostur gendut menjadi aib. Sebenarnya, bukan postur tubuhnya jadi aib, Melainkan pola hidup, serta tidak bertanggung jawab kepada anaknya dan keluarganya (hlm.23).
Perundungan celaan fisik, atau body shaming, sebenarnya selalu terjadi di lingkungan hidup kita, bahkan sangat sering terjadi—apalagi pada saat masih kecil. Jika masa kecil saling mengejek tidak masalah, tapi tidak untuk orang dewasa. Mungkin itu menjadi salah satu kehidupan yang tidak dapat dihindari di masa bocah-bocah. Karena bagian dari kelangsungan hidup: mengejek dan bercanda bagian dari permainan menyenangkan bagi anak kecil.
Lingkungan kita hari ini berbeda, apalagi ditambah dengan teknologi yang berkembang di abad XXI sangat maju. Jika di atas itu, kejadian yang biasa karena dilakukan saling kenal “tidak ada masalah mungkin hanya emosi sejenak, dan bermain lagi!” akan tetapi, berbeda dengan yang terjadi akhir-akhir ini mengenai body shaming, dilkaukan oleh tidak dikenal. Apalagi tokoh yang terkenal di sosial media seperti di youtube, instagram, twitter, dan facebook. Mereka kadang melakukan perundingan keterlaluan, padahal tidak akrab bahkan untuk kenal, tidak.
Beberapa hari lalu salah satu atlet Indonesia bernama Nurul Akmal yang baru-baru ini membuat bangga negara di bidang olahraga, tapi ternyata tidak hanya mendapat sambutan bunga saja, melainkan juga mendapat celaan fisik dengan bahasa “yang paling kurus…” Teriakan tersebut masih belum ada keterangan jelas. Namun tindakan tersebut tidak baik, walaupun si atlet telah menerima dan tidak ada masalah, disampaikan di akun twitternya. Tindakan tersebut tidak bijak.
Pada abad XXI ini, perkembangan teknologi menghadirkan pola hidup serta cara hidup tidak biasa, semua dituntut jadi masyarakat yang cermat, baik, dan bijaksana. Jika cermati dari segi cara bermain anak-anak, serta keakraban antar teman dapat dilihat dari bersosial media. Berbeda dengan pola hidup dan cara bermain secara natural di masyarakat. Sehingga dalam melakukan kesibukan kesalahan akan tetap punya nilai kebersamaan. Walaupun saling cela, emosi, akan mudah diselesaikan. Adapun, jikalau terjadi perundungan tidak fatal. Kalau dibandingkan dengan komentar-komentar di sosial media yang kurang beradap melakukan celaan fisik pada objek: seseorang yang jadi sasaran.
Memiliki postur tubuh tidak ideal sebenarnya bukan harapan setiap orang, begitupun sebaliknya. Tidak semua orang dapat menerima apa yang telah diberikan, tapi semua orang bisa berusaha sekuat mungkin untuk menjaga dan merawat bagaimana hal tersebut tetap ideal versi sendiri serta tidak menyalahkan siapa-siapa. Usaha dengan ideal versinya.
Lahir dengan body yang ideal maupun yang tidak, terima dan berusahalah hidup sehat dengan kehidupan yang tidak berlebihan. Kisah tidak baik yang dilakukan seorang tokoh, saat tidak mengontrol pola hidup konsumerisme masuk dalam tubuh berupa makanan, berdampak yang pola hidup tidak sehat, mari kita jaga pola makan.
Memang kisah hidup dalam tokoh novel yang gendut, nyaris, tragis, semasa hidupnya. Hidup yang dianggap ideal, tapi bagi dia tidak: tak sesuai tapi santai tanpa beban. Namun bukan karena dapat mental perundungan body shaming, melainkan pola hidup yang tidak berguna kepada anak, serta keluarga, yang menjadi aib hingga meninggal.
Jadi, celaan yang dijadikan narasi panjang dalam novela kecil ini, bermula karena adanya pola hidup tidak baik dan sehat. Pola hidup konsumerisme mengenai makanan seharusnya dijaga tidak sembarangan, tokoh Eeyore. Bagaimana tokoh gendut yang bermalas-malasan tidak bertanggung jawab atas keluarga yang semestinya perlu dijaga serta dirawat. Bahkan Ia malah hidup yang tidak mengontrol pola makannya kecenderungan ke rakus. Kehidupan yang dilakukan dalam keseharian dapat dikatakan tidak berguna.
Kehidupan yang komerisme tidak baik dilakukan. Apalagi tidak mengontrol saat mengkonsumsi makanan ringan dan makanan berat, semua dilahap tanpa memikirkan dampak yang terjadi. Bahkan sehat atau tidak makan saja, tanpa berpikir panjang. Itulah dilakukan oleh Eeyore tokoh dalam novela tersebut. Hal ini dibuktikan oleh tokoh Eeyore, saat menunggu makanan yang dipesan mie babi kuah, ia juga sambil meminum Pepsi-Cola, dan dengan antusias lelaki gendut itu memperhatikannya minum. Mereka memesan mangkuk penuh mie kuah bertabur jamur dan bayam dan sepotong daging babi berpulang yang digoreng dalam adonan tipis, (hal.21).
Kutipan narasi di atas memperjelas kehidupan tokoh tidak mengontrol pola makan demi kepuasan, sedangkan sudah memesan makanan, malah memesan makanan lagi, memesan makanan berat pula: mei dan mie kuah baby. Kebiasaan ini menjadikan tokoh terjadi perundungan bukan karena body shaming, tapi pola hiduplah yang menimbulkan aib dan punya postur tubuh gendut, tapi yang menjadi aib bukan karena gendut, melainkan pola hidup: menjadi aib.
Novela tersebut pada intinya ingin menampilkan kehidupan seorang yang tidak punya tanggung jawab serta rakus terhadap makanan. Tidak mengontrol pola makan, yang menjadi aib. Hidup itu memang pilihan. Tapi, sangat tidak baik untuk memilih kehidupan yang tidak sehat. Kehidupan sehat menjadi tujuan setiap orang di negara manapun, muslim maupun non-muslim, gemuk maupun kurus. Semua ingin hidup sehat. Hidup sehat akan ditentukan oleh pola konsumsi.
Novela berukuran 11x17cm, yang mungil ini menampilkan narasi tentang hidup orang gendut tidak berguna, kecuali mementingkan makan, makanan yang tidak menyehatkan. Hal ini ditampilkan dengan narasi sederhana, detail. Namun, cara berkisah sedikit mengaburkan pembaca dari segi kalimat tidak pas dalam bahasa Indonesia, saat dibaca. Akan tetapi, secara substansi isi sudah sangat bisa dipahami dan sampai kepada pembaca.