Indonesia dikenal sebagai negara yang multikultural dan multietnis. Terlebih hadirnya pluralisme, menjadikan sebuah keniscayaan tersendiri dalam memandang realitas sosial. Terlebih dalam ranah agama dan budaya yang hingga kini mengalami perkembangan. Bahkan terdapat pula di berbagai daerah terjadi pasang surut perkembangan budaya dan agama yang tidak konsisten eksistensinya.
Tentu dalam upaya menjaga kestabilan eksistensi budaya dan agama yang juga merupakan cita-cita pemerintah (Indonesia), maka juga perlu adanya civil society sebagai sosok yang berperan turut serta menjaga kesatuan dan keutuhan agama dan budaya. Civil society sendiri merupakan masyarakat yang memiliki sikap secara mandiri dan dengan sendirinya juga turut berperan dalam menjaga keutuhan, kedamaian, kestabilan, dan hal-hal lain yang menjadi kebutuhan bersama dalam lingkup negara.
Masyarakat civil sendiri juga diartikan sebagai masyarakat yang tidak tergabung dalam sistem pemerintahan, akan tetapi turut berkontribusi dalam menjaga hal-hal yang ada dalam naungan negara. Kata civil diartikan dengan peradab. Sedangkan civil society dapat didefinisikan sebagai masyarakat yang sopan, halus, beradab, serta toleran dalam berbagai sendi kehidupan. Civil juga diartikan sebagai suatu institusi atau kelompok yang bukan bagian dari state/pemerintah.
Hal ini berarti civil society merupakan masyarakat yang tidak termasuk dalam bagian pemerintahan. Definisi ini bukan juga diartikan sebagai militer. Khotimah dalam jurnal ilmiahnya dengan judul “Agama dan Civil Society”, yang dimaksud dengan masyarakat sipil artinya masyarakat yang tidak termasuk dalam militer dan tidak terpisah dari militer.
Dari beberapa definisi di atas, Mr. Risakota juga mengungkapkan bahwa civil society merupakan masyarakat yang toleran dan sopan terhadap sesamanya, yang mengatur diri sendiri melalui lembaga tanpa adanya sentuhan atau campur tangan pemerintah. Bahkan bebas dari militer, ancaman serta paksaan.
Terkhusus di Kabupaten Banyuwangi, terdapat sebuah komunitas yang menjadi wadah bagi masyarakat Osing (suku asli banyuwangi) yang dibentuk dalam upaya menjaga eksistensi adat, budaya dan agama. Wadah yang akrab disebut dengan Komunitas Suku Osing, merupakan wadah bagi masyarakat Osing dalam mengembangkan dan memelihara segala hal yang menjadi ciri khas masyarakat Banyuwangi.
Novia Luthviatin dalam karya ilmiahnya “Mantra Untuk Penyembuhan dalam Tradisi Suku Osing”, menuliskan bahwa suku Osing merupakan suku asli yang menjadi ciri khas kawasan Banyuwangi, Jawa Timur. Suku Osing berasal dari kerajaan Blambangan yang pada rangkuman sejarahnya juga masih memiliki keterkaitan dengan kerajaan Majapahit. Redaksi “Osing” sendiri artinya “tidak”.
Suku Osing pada dasarnya dulu tidak percaya pada setiap siapa saja yang masuk ke wilayahnya, dan ini hanya berlaku dahulu. Saat ini masyaakat Osing sudah mulai terbuka dengan pendatang dan kemajuan zaman. Secara kondisi geografis, suku Osing terletak di ujung Timur pulau Jawa dan mayoritas terletak di wilayah Banuwangi. Bahkan ciri khasnya yaitu memiliki beragam adat serta seni budaya yang menjadi icon mereka yang dalam kepercayaannya harus dilestarikan.
Pada mulanya, ketika masa kerajaan, agama / kepercayaan suku Osing masih didominasi oleh Hindu-Buddha karena waktu itu memang kerajaan Blambangan masih ada pengaruh Majapahit. Namun seiring berkembangnya zaman dan Islam mulai datang di tanah Jawa, kini mayoritas suku Osing telah memeluk Islam sebagai sistem kepercayaan (agama) mereka. Ciri khas yang melekat dalam diri suku Osing diantaranya adalah: a). masih mempercayai hal-hal mistis yang sudah ada sejak zaman leluhurnya, b). mulai mengalami perubahan sejak hadirnya Islam, c). beberapa tradisi-adat yang dilestarikan begitu lekat dengan hal mistis.
Beberapa adat dan tradisi bahkan kebudayaan yang masih dilestarikan oleh masyarakat Osing adalah Tari Jaran Goyang, Slametan Tumpeng Sewu, Endog-Endogan dalam rangka maulid nabi, Tarian Kebo-Keboan, Tari Gandrung, Kesenian Kuntulan, Kundaran, dan masih banyak lagi. Dalam segi bahasa, suku Osing memiliki ciri khas tersendiri dari suku Jawa. Perbedaan tersebut dalam segi pengucapan. Seperti halnya kata “siji” dalam bahasa Jawa, penekanan kata tersebut dalam bahasa Osing dibaca “Sijai”, yang artinya “satu”.
Kata “pitu” dalam bahasa Jawa, suku Osing menyebutnya “pitau” yang artinya “tujuh”. Dari penekanan kata bahasa yang berbeda, menjadikan bahasa Osing memiliki ciri khas tersendiri. Keunikan dalam segi bahasa yang digunakan, didalamnya terdapat keberagamaan kebudayaan yang saling membaur, diantaranya adanya percampuran antara bahasa budaya Madura, Jawa, dan Bali, yang menjadikan ciri khas karakter bahasa Osing.
Secara definisi, komunitas merupakan perkumpulan dari berbagai individu lebih dari dua orang yang di dalamnya memiliki satu tujuan yang sama dan saling bekerjasama dalam mencapai apa yang diharapkan. Seperti halnya komunitas adat Osing di Banyuwangi, merupakan suatu perkumpulan yang di dalamnya terdapat tujuan dan cita-cita tertentu dalam melaksanakan visi-misinya.
Salah satu peran atau kontribusi komunitas adat Osing di sini dalam upaya menjaga kesenian, budaya, tradisi, pertanian bahkan makanan tradisional. Upaya mendirikan sekolah adat ini diresmikan di Sawah Art Space Desa Olehsari, Kecamatan Glagah. Hal ini bertujuan untuk melestarikan berbagai budaya yang ada di banyuwangi.
Hal ini pula di isi dengan kegiatan yang membangun dan positif bagi generasi muda yang menjadi daya tarik tersendiri bagi peminatnya. Seperti halnya kegiatan mocoan lontar yusuf bahkan gerak dsar tari-tarian khas Banyuwangi yang menjadi icon Banyuwangi. Hal ini nantinya akan menjadikan generasi muda akan mengenal tradisi tidak hanya sekedar di ranah pementasan semata.
Oleh karenanya, menjaga kearifan lokal tradisi adat masyarakat Osing menjadi salah satu upaya membantu pemerintah kabupaten Banyuwangi sendiri dalam memakmurkan dan memberdayakan masyarakat dengan memelihara tradisi adat kesenian yang ada di Banyuwangi. Pemeliharaan tradisi seperti halnya tari kebo-keboan, tari seblang dan lainnya, menjadi media dalam mengenalkan budaya yang berkembang dengan mengaktualisasikan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam kesenian tersebut. Bahkan yang tidak kalah penting yaitu bisa memaknai tiap filosofi di dalamnya.
Ingin mengenal lebih jauh seputar suku osing? saya punya rekomendasi buku tentang Suku Osing: Perspektif Etnografi, Sosial, Hukum, dan Budaya. bisa dikunjungi di https://store.intranspublishing.com/2021/10/30/suku-osing-perspektif-etnografi-sosial-hukum-dan-budaya-taufik-firmanto-dkk/