Sedang Membaca
Meresapi Segarnya Taitung (3): Jejak Takeshi Kaneshiro di Mr. Brown Avenue
Susi Ivvaty
Penulis Kolom

Founder alif.id. Magister Kajian Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Pernah menjadi wartawan Harian Bernas dan Harian Kompas. Menyukai isu-isu mengenai tradisi, seni, gaya hidup, dan olahraga.

Meresapi Segarnya Taitung (3): Jejak Takeshi Kaneshiro di Mr. Brown Avenue

Mengapa orang-orang rela antre hanya untuk berfoto bersama sebatang pohon? Pohon yang berdiri di Mr. Brown Avenue, Kota Chishang, Distrik Taitung, Taiwan itu bahkan sudah beberapa kali ambruk diterjang badai, sehingga harus disangga bambu dan diikat tali yang ditambatkan di tanah.  Rupanya, ada jejak Takeshi Kaneshiro (45), aktor berdarah campuran Taiwan–Jepang, yang dengan sangat seksinya pernah mengayuh kereta angin lantas duduk di bawah pohon itu sambil menyesap secangkir teh.

Foto keluarga

Adegan Takeshi minum teh di bawah pohon itu adalah video  iklan satu perusahaan penerbangan di Taiwan yang dibuat pada tahun 2013 (ada di Youtube). Takeshi Kaneshiro, Pemeran He Zhiwu dalam film arahan sutradara Wong Kar-wai, Chungking Express (1994) tampak mengunjungi museum, kuil, memotret, bermain dengan rusa, naik sepeda, dan minum teh.

“Saya melihat seni, saya melihat dialog, saya melihat dedikasi, saya melihat kepercayaan, saya melihat surga…. Saya melihat dunia, saya melihat banyak orang, saya melihat kamu…,” begitu penggalan kalimat dalam iklan.

Takeshi Kaneshiro waktu muda

Video iklan seketika viral, karena banyak orang menanyakan letak persisnya jalan di antara hamparan sawah, yang ada pohon itu, yang rupanya adalah Bischofia javanica atau pohon gadog, dalam bahasa China pohon Jia Dong Shu 茄苳樹. Orang-orang kota besar yang penasaran lantas mencari pohon yang kemudian dinamai pohon Takeshi.

Berhenti, foto, jalan lagi

Pada tanggal 23 Juli  2014, Taiwan diterpa topan Matmo dan pohon Takeshi tumbang. Beruntung akar pohon tidak tercerabut habis sehingga bisa ditanam lagi dan diperbaiki oleh beberapa arborist (ahli bedah tanaman) dari Taiwan dan Jepang. Pohon pun tetap bisa berdiri gagah di lokasi yang sama, di tengah-tengah hamparan padi.

Baca juga:  Masjid yang Bukan Tempat Ibadah di Schwetzingen
Takeshi, 2017

Jalan menuju pohon Takeshi dinamai Mr Brown Avenue karena ada kafe Mr Brown Coffee di ujung jalan masuk. Mr. Brown Avenue belum ada di aplikasi  Swarm, namun bisa ditemukan melalui Google Map, yakni jalan panjang di pertigaan Chifu Road. Orang Taitung menyebut daerah persawahan itu dengan “jalan surga yang hijau” karena sejauh mata memandang akan tampak pemandangan hijau yang menyegarkan mata.

Mengayuh Becak

Pemilik persewaan becak menjelaskan rute

Kota Chishang terletak di antara Pegunungan Tengah dan Pegunungan Pesisir Taitung, dan menjadi lumbung padi di Taitung yang menhasilkan beras kualitas super. Di sini membentang dataran aluvial Xinwulu yang dibelah oleh sungai yang bersih bening.

Jalan masuk Mr Brown Avenue dari Chifu Road

Areal persawahan hijau Chishang ini seluas 8.000 hektar, merujuk pada informasi di papan peta lokasi yang dipasang di Brown Boulevard. Mustahil rasanya berjalan kaki menuju pohon Takeshi. Menyewa becak (isi maksimal empat orang) menjadi alternatif terbaik.  Kayuh…kayuh…kayuh…

Mengayuh becak di Mr. Brown Avenue

Saya naik becak bersama Nashir dari suaramuslim.net, Galih dari Jawa Pos, dan Kelly dari Biro Wisata Taiwan di Kuala Lumpur. Nashir jadi sopir yang mengendalikan laju becak. Dilatih sebentar cara mengerem oleh pemilik tempat persewaan becak, Lan Ting, langsung bisa.

Wisata naik becak yang mulanya sedikit menggelikan buat saya yang gampang skeptis ini, berubah menjadi menyenangkan.

Jalan di Mr Brown Avenue sungguh mulus, begitu pula jalan-jalan lain di seputaran areal persawahan Chishang ini. Areal ini ternyata sangat luas dan banyak persimpangan menuju titik-titik lokasi yang strategis untuk swafoto, seperti pohon Jolin Tsai, pohon yang sudah meranggas di depan tumpukan batu. Lalu kita juga bisa berhenti di kincir air Chishang yang asri, duduk di bebatuan sambil mendengarkan gemericik air.

Baca juga:  Meniti Jejak Radikalisme Berkedok Hijrah di Kalangan Remaja
Mengaso dulu

Lokasi ini selain menjadi spot wisata alam yang sejuk, juga menjadi wisata sepeda. Banyak pesepeda yang sengaja datang ke Chishang untuk berolahraga, menyusuri jalan di samping persawahan, berbelok ke kanan dan ke kiri tanpa bosan. Bagi mereka yang baru pertama kali datang, mungkin bisa bingung jika tidak membaca petunjuk arah.

Ya, seperti kami. Setelah nekat mengayuh becak agak jauh, lalu berbelok ke kanan menuju kincir air, kemudian lupa arah pulang ke Chifu Road. Sampai di sini, pohon Takeshi bisa menjadi penanda yang ampuh, karena di beberapa persimpangan dipasang penunjuk arah menuju pohon Takeshi. Kalau sudah sampai pohon Takeshi, tinggal lurus saja ke Chifu.

Kincir air

Sesampai di kincir air dan menikmati semilir angin yang menjadi obat terik matahari, kami melihat ada penjual kembang tahu. Waini. Saatnya menikmati kembang tahu rasa lokal.

Satu mangkuk kembang tahu dengan tiga pilihan isi (misal kacang hijau, agar-agar, dan kacang merah) seharga 35 NT atau 16.000 rupiah. Ditambah es batu tentu lebih segar.

Makan kembang tahu dulu

Selesai sudah wisata pohon Takeshi, yang ternyata asyik jika dilakukan berombongan bersama banyak teman. Wisata di Chishang ini, menurut informasi taiwannews.com, merupakan wisata terpopuler di Taitung, pada beberapa tahun terakhir. Jumlah wisatawan yang penasaran dengan pohon Takeshi bisa melebihi 100.000 orang rata-rata pada saat liburan tahun baru Imlek, dan pada liburan Imlek tahun 2017 mencapai 158.920 orang.

Mr Brown Coffee

Ketika lokasi ini diserbu orang-orang pada tahun 2013, para petani memprotes, karena banyak di antara mereka merusak tanaman. Para pelancong itu turun ke sawah, berfoto di antara pepadian dan tak jarang menginjak-injak lahan pertanian. Para petani juga merasa terganggu dengan kedatangan banyak orang asing yang tidak mereka kenal. Daerah yang sepi menjadi riuh.

Baca juga:  Sepekan Sambangi Setengah Taiwan

“Tapi pemerintah memberi pengertian, kepada petani dan pengunjung, agar saling menghormati. Lambat laun, para petani pun senang karena bisa mendapatkan penghasilan tambahan, seperti berjualan makanan dan minuman,” kata Avida, pemandu wisata yang disewa Biro Wisata Taiwan (TTB).

Benar saja, Lan Ting justru memilih pensiun jadi petani dan beralih menjadi pengusaha persewaan sepeda dan becak. Kini ia memiliki seratus lebih becak dan seratus lebih sepeda.

Pohon Takeshi tanpa Takeshi

Begitulah pemasaran di “era media sosial”, yang membutuhkan upaya cerdik menggelitik agar viral. Selain membutuhkan konten dan narasi, pemilik usaha juga membutuhkan figur publik sebagai influencer, yang pada zaman sekarang tidak musti artis beken dengan kemampuan mumpuni. Para selebgram atau youtuber yang tidak selalu memiliki kapasitas (bagi sebagian orang) pun bisa dibikin viral, sesuai jumlah pengikut di akun medsos mereka.

Ke kanan atau ke kiri?

Namun, Takeshi Kaneshiro memang beda. Ia bahkan tidak memiliki akun Instagram, tapi ia idola pada masanya. Di usianya yang hampir 46 tahun, Takeshi mungkin lebih disukai mamah-mamah muda paruh baya atau mereka yang berusia matang dan pecinta film-filmnya pada tahun 90-an. Wajah-wajah orang-orang yang datang menguatkan asumsi  itu.

Jadi, kalau boleh usul, Takeshi perlu juga diundang untuk “dipajang” di pohon, agar para pengunjung bisa berfoto dan minum teh bersama. Harganya pasti mahal, ya.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top