“Lestari alamku lestari desaku/ Di mana Tuhanku menitipkan aku/ Nyanyi bocah-bocah di kala purnama/ Nyanyikan pujaan untuk nusa// Damai saudaraku suburlah Bumiku/ Kuingat ibuku dongengkan cerita/ Kisah tentang jaya nusantara lama/ Tentram kartaraharja di sana//” (Gombloh, 1982).
Kita masih ingin mengingat lagu garapan Gombloh yang berjudul “Lestari Alamku” tersebut. Keberadaan lagu dalam kanvas sejarah pengikat para bocah masa lalu. Mereka menyenandungkan, meresapi, dan mengerti akan lingkungan sekitar. Berangkat ke lirik lagu, kita dibuat menghadapi situasi nostalgia. Mengingat masa lalu akan bagaimana alam adalah keindahan, kelestarian, dan ketenteraman.
Hari demi hari, kita mengerti alam menghadapi segenap masalah. Krisis iklim adalah masalah nyata yang terus menggejala dalam perjalanan kehidupan sampai saat ini. Betapapun kita tahu, dalam perkembangan diskursus yang mengemuka, masih banyak pihak yang merasa krisis iklim bukanlah sebagai sebuah masalah. Bahkan, kecenderungan yang muncul adalah beberapa pihak tidak mempercayai keberadaan krisis iklim.
Berangkat dari sana, nampaknya perlu menguraikan bersama bahwa yang menghadapi masalah itu adalah semua kalangan tanpa terkecuali. Baik orang dewasa maupun anak-anak. Kendati demikian, pada beberapa aspek tinjauan, banyak kalangan dewasa yang justru tidak begitu memberi perhatian secara lebih untuk kemudian diikuti sebuah aksi maupun tindakan.
Hal tersebut mengingatkan wawancara bersama Emil Salim, Menteri yang paling lama mengurusi lingkungan (1978 – 1993) di Majalah Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010. Dalam wawancara berjudul “Hadapi Perubahan Iklim seperti Berperang” tersebut, Emil banyak mengetengahkan mengenai cara pandang yang terjadi di kalangan publik terhadap keberadaan krisis iklim. Ia justru menaruh perhatian pada nasib anak muda ke depannya. Terdapat keterangan penting:
“Jadi, yang harus sensitif terhadap perubahan itu kaum muda. Mereka yang memasuki usia senja tentu tidak akan menyaksikan tenggelamnya 2.000 pulau Indonesia pada 20230 nanti. Mereka tidak akan melihat naiknya permukaan laut di pantai utara Jawa. Generasi muda yang akan mengalaminya. Status quo oriented adalah jawaban mengapa “generasi tua” tidak terlalu peduli. Sebagian besar orang yang tidak peduli adalah, pertama, karena tidak berpengetahuan, tetapi menghendaki kenyamanan, dan, kedua, generasi yang hidup dalam kekinian dengan jangkauan pemikiran ke depan sangat terbatas. Sebagian besar intelektual juga tidak bisa menerangkan secara sistematis kepada generasi muda.”
Pernyataan tersebut menarik untuk ditelaah lebih lanjut dalam konteks atas perubahan-perubahan yang muncul sebagai efek dari krisis iklim. Saat kota-kota besar menghadapi masalah mengenai polusi udara, permasalahan sampah, pencemaran lingkungan, hingga keadaan cuaca yang tidak makin menentu adalah pemandangan yang makin lazim kita lihat.
Bagaimana posisi kaum muda? Kaum muda, khususnya anak-anak memang menjadi kelompok paling resisten akan keberadaan krisis iklim. Hal tersebut ditegaskan oleh UNICEF dalam naskah berjudul Krisis Iklim adalah Krisis Hak-Hak Anak (2021). Di buku terdapat perspektif kalangan anak muda dari berbagai negara mengenai krisis iklim. Dengan mendasarkan pada risiko terbesar, anak muda perlu dijadikan subjek penting di dalam membaca krisis iklim.
Bagaimanapun, secara mendasar ada dua hal yang perlu dilakukan bersama dalam menghadapi krisis iklim. Kedua hal tersebut berupa mitigasi dan adaptasi. Di buku, kita mendapatkan keterangan tentang pelibatan kalangan anak, yakni: (1) Membekali anak-anak dengan pendidikan terkait iklim dan keterampilan peduli lingkungan (green skills) yang mereka perlukan agar dapat beradaptasi dan mempersiapkan diri menghadapi dampak perubahan iklim dan (2) Melibatkan anak muda dalam negosiasi dan pengambilan keputusan terkait perubahan iklim, di tingkat nasional, regional, dan internasional, termasuk di Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP).
Penjelasan itu menarik untuk ditelaah dalam konstelasi kebijakan di Indonesia. Harus diakuai, acapkali kebijakan yang terjadi di negara masih mengesampingkan kalangan anak muda. Kebijakan yang ada dipukul rata, seakan kalangan mudah telah diwakili oleh kalangan tua. Aakan tetapi, yang kita lihat adalah kebijakan tersebut secara gradual hanya bersifat formal, tanpa kerangka jelas bagaimana mendudukkan krisis iklim. Itu juga menyangkut suara-suara yang jarang didengar dari kalangan muda.
Dalam aspek ini, kita perlu mendudukkan bahwa dalam membangun kesadaran bersama, segenap pemangku kebijakan dan lembaga yang berpengaruh perlu menjadikan kaum muda sebagai arus utama dalam menentukan kebijakan. Dengan kata lain, suara-suara anak muda mengenai pembacaannya terhadap lingkungan sekitar didengarkan. Mereka berhak didengarkan dan pandangan mereka sahih dijadikan sumber dalam penentuan kebijakan. Jalan itu berupa integrasi antara pendidikan dan kebudayaan.
Apa maksudnya? Pendidikan yang mengedepankan kebudayaan sebagai basis kesadaran. Di sana juga mencakup tanggung jawab akan kemauan untuk merawat lingkungan hidup. Hal tersebut senda dengan penjelasan Filsuf Perempuan, Saras Dewi (2018): “Menyelami alam mendorong kita untuk membentuk pengetahuan yang mengarah pada keselarasan. Kita juga dapat memahami etika secara lebih luas, tidak saja empunya manusia, tetapi juga seluruh makhluk yang berada di bumi.”
Hal itu menyandarkan bahwa pendidikan sebagai hak pada kaum muda untuk dipenuhi oleh negara dengan kebijakannya. Dengan mengacu pada perkembangan kebijakan, kurikulum kita tentu menyediakan instrumen tersebut. Yang perlu ditekankan adalah bagaimana praktik atas kebijakan tersebut. Pendidikan tidak boleh hanya sebatas teori dan mengedepankan persaingan. Dalam konteks keberadaan krisis iklim, manifestasi pendidikan tentu saja adalah melatih individu untuk sadar, berani mengambil risiko, dan kreatif dalam menghadapinya.
Jika pendidikan diajarkan sebatas hafalan dan menyebutkan ratusan contoh, hanya akan sia-sia. Pendidikan menyaratkan untuk melatih diri dan membiasakannya, bahwa dengan pembacaan terhadap masalah lingkungan hidup, di sana membutuhkan tindakan dan aksis yang didasari oleh kolaborasi. Etika kepedulian terhadap lingkungan sekitar itulah yang menjadi upaya menjalin keselarasan terhadap alam dan seisinya.
Kita tidak bisa menjadikan keberadaan krisis iklim maupun masalah ekologi sebagai perdebatan tak bertuan yang hanya berakhir tidak melakukan apa-apa. Kita butuh dialog yang melibatkan semua kalangan untuk memikirkan nasib Bumi tempat kita berpijak. Kita teringat dengan sebuah lagu berjudul “Rumah” (2022) garapan Dere. Beberapa lirik terbaca: Duh mana yang lebih panjang/ Umurku atau umur bumiku bernaung/ Duh mana yang lebih besar/ Egoku atau ketidaktahuan yang terpasung//. Lirik menjadikan kita semua untuk terus melakukan refleksi.[]