Jakarta, Pengguna interet di Indonesia yang sudah mencapai 145 juta pengguna dan menduduki peringkat enam terbesar di dunia. Tingginya aktifitas dunia maya ini ternyata menimbulkan ekses negatif dalam kehidupan beragama di Indonesia.
Hal ini diungkap oleh Hafiz Al Asad, master international affair dari Boston University Amerika Serikat, pada Panel Session konferensi sarjana Islam tahunan Annual International Conference On Islamic Studies (AICIS) di Hotel Mercure Batavia, Jakarta, Kamis (3/10).
Hafiz telah melakukan riset tentang Siber Sektarian, yang mengambil sampel pada kurun waktu tertentu pada pemilihan umum di Indonesia tahun 2015 lalu. Hasilnya, aktifitas siber di kalangan muslim di Indonesia telah meningkatkan volume sektarianitas dengan cukup mengkhawatirkan.
“Penggunaan internet di kalangan masyarakat luar sangat masif, tetapi belum disertai dengan perilaku yang ideal sesuai etika dunia maya,” katanya saat berbicara sebagai panelis utama AICIS.
Konferensi tahunan AICIS saat ini mengambil tema “Digital Islam, Education and Youth: Changing Landscape of Indonesian Islam”.
Mudahnya arus informasi melalui dunia maya telah menyediakan jalan tol bagi kebohongan dan provokasi berbasis agama. Hal itu menimbulkan keributan di kalangan masyarakat, dan sebagian aktifitas siber tersebut telah berujung pada tindakan kriminal.
Setiap tahun Kementerian Komunikasi dan Informatika telah banyak menutup situs-situs yang meningkatkan sentimen SARA. Namun situs-situs itu selalu bermunculan kembali.
Hal ini memicu sektarianisme di masyarakat, melebihi sebelum datangnya era siber. Pada tahun lalu polisi telah mengungkap 2600 kasus cybercrime.
Yang paling besar adalah pengungkapan sindikan Saracen, yang secara terorganisir dan rapi menggunakan sentimen agama, suku, dan ras sebagai alat propaganda demi kepentingan pragmatis.
“Inilah bentuk baru jahiliyah di dunia maya yang sangat mengkhawatirkan,” tambahnya. Hal ini, kata Hafiz, memerlukan peran aktif organisasi masyakarat, karena merekalah yang memiliki jaringan langsung kepada publik dan memiliki tingkap kepercayaan yang tinggi di mata para anggotanya.
Dalam struktur sosial masyarakat Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh tokoh agama, tokoh adat, dan ulama, maka organisasi seperti itu penting turun tangan untuk emangkan berbagai bentuk hoaks dan desepsi informasi yang berkembang melalui platform digital.