Menyandang nama besar Walisongo untuk nama sebuah kampus adalah mempunyai konsekuensi yang besar. Pertama dari segi pemikiran dan nilai-nilai yang dibawa. Yang kedua ihwal keteladanan dan etika. Kita mengenal bagaimana cara para sunan dalam menebar benih gagasan Islam moderat di tengah kalangan yang notabene tidak mengenal ajaran Islam sama sekali. Dengan cara yang soft, yang kemudian bisa diterima oleh pelbagai kalangan.
Pendekatan kebudayaan yang nir kekerasan serta mengakomodasi tradisi-tradisi atau kebudayaan setempat yang masih dipakai masyarakat lokal pada waktu itu adalah langkah yang tepat. Strategi kebudayaan dijadikan sebagai alat atau washilah untuk mencapai kemaslahatan: rahmat untuk semua. Wajar jika sampai sekarang nilai dan ajaran-ajarannya dicopy-paste oleh para pemangku kebijakan kampus untuk mengenalkan ajaran Islam yang santun dan damai kepada para mahasiswanya.
Secara garis besar, Islam Indonesia yang kita kenal saat ini mengajarkan prinsip-prinsip perdamaian dan toleransi sebagaimana yang didakwahkan oleh para Walisongo. Apalagi jika semangat itu ditangkap oleh pemerintah saat ini melalui Perpres 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 dan PMA 18 tahun 2020 tentang Renstra Kementerian Agama 2020-2024, yang kemudian melatarbelakangi lahirnya Rumah Moderasi Beragama di beberapa kampus perguruan tinggi Islam (UIN/IAIN).
RMB UIN Walisongo sendiri diresmikan oleh Menteri Agama saat itu, Fachrul Razi, pada 19 Desember 2020. Bahkan RMB UIN Walisongo termasuk paling awal diresmikan oleh Kemenag setelah RMB UIN Bandung, ujar Luthfi Rahman, Sekretaris RMB UIN Walisongo.
Pada tahun 2021, RMB UIN Walisongo langsung tancap gas melakukan program-program diseminasi gagasan tentang moderasi. Dalam catatan yang penulis himpun, ada belasan kegiatan yang berupa seminar, workshop, dan pelatihan tentang moderasi beragama. Bahkan ada satu kegiatan yang dilakukan oleh RMB UIN Walisongo bekerjasama dengan LP2M yang menyabet rekor MURI. Di mana ada 5.712 video bertema Moderasi Beragama yang diunggah oleh civitas akademika UIN Walisongo secara serentak.
Menyuarakan moderasi beragama di ruang-ruang digital pada era saat ini adalah langkah yang tepat. Mengajak mahasiswa untuk terlibat langsung. Ikut serta mengampanyekan perdamaian dan moderasi.
Selain mengunggah video, RMB UIN Walisongo juga menerjunkan para mahasiswa yang sedang KKN dengan mengusung tema moderasi. Imam Yahya, Ketua Rumah Moderasi UIN Walisongo, mengapresiasi capaian ini, ia menyatakan bahwa ajaran Islam yang shalihun likulli zamanin wamakanin, abadi sepanjang waktu dan tempat, sebagaimana yang diajarkan oleh Walisongo tentang bagaimana hidup dalam kemajemukan harus dilanggengkan.
Dalam bukunya yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia, ada 9 nilai yang memuat moderasi beragama, di antaranya adalah bersikap tengah-tengah (tawasuth), tegak lurus (i’tidal), toleransi (tasamuh), musyawarah (syuro), reformasi (ishlah), kepeloporan (qudwah), cinta tanah air (muwathanah), anti kekerasan (la ‘unf), dan ramah budaya (i’tibar al-‘urf).
Hemat penulis, sembilan nilai di atas menjadi pegangan mahasiswa atau pendidik di lingkungan UIN Walisongo dalam berkegiatan maupun bersosialisasi, bermasyarakat. Di antara kegiatan-kegiatan yang pernah dilakukan oleh RMB Walisongo di antaranya; halaqah ulama, yang melibatkan pesantren-pesantren di Jawa Tengah, kemah damai moderasi, halaqah ulama perempuan. Tidak hanya itu, ujar Luthfi Rahman, RMB Walisongo juga membuat rumusan mata kuliah “Islam dan Moderasi Beragama” sejak tahun 2020, dan menerapkan tema moderasi bagi mahasiswa KKN, serta penguatan Pendidikan Karakter Kemah Rohis III Virtual SMA dan SMK Tingkat Provinsi Jawa Tengah.
Moderasi milik semua kalangan
Selain kegiatan-kegiatan yang bersifat internal, yakni seperti penguatan moderasi kepada mahasiswa dan tenaga pendidik, RMB UIN Walisongo juga melakukan agenda-agenda eksternal, di luar kampus. Yang menarik dalam catatan penulis adalah RMB UIN Walisongo bersama eks napi teroris melakukan deklarasi damai sekaligus pelatihan moderasi berbasis teknologi informasi.
Hal itu patut mendapatkan apresiasi. Mengingat para eks napi teroris itu bisa jadi terpapar kebencian atau ajakan untuk melakukan tindak kekerasan karena tidak menyadari apa yang dilakukannya itu salah. Sebab itu, RMB UIN Walisongo perlu masuk ke ruang-ruang yang jarang dijamah, yakni dengan memberikan pemahaman yang moderat ihwal persoalan beragama.
Dugaan saya, para eks napi teroris itu dulunya masih sempit dalam memandang agama. Masih hitam putih, benar salah. Kalau pemahamannya tidak sesuai dengan apa yang ia yakini, semuanya dianggap sesat, bahkan sampai dalam kategori pengafiran. Jika sudah dianggap kafir, maka halal segalanya: harta dan nyawanya sekalipun. Itulah pemahaman yang sangat mengerikan. Mengapa itulah pentingnya RMB UIN Walisongo masuk ke ruang-ruang atau lingkungan yang dianggap tabu.
Sebagai intermezzo, bahwa alumni atau lulusan kampus PTAIN, yang notabene di bawah Kemenag, selalu dipandang ‘lebih’ oleh masyarakat dalam hal ihwal agama. Dianggap yang paling mumpuni atau ahli agama. Baik dari sisi pemikiran, cara pandang, maupun tingkah laku di masyarakat. Seperti yang dialami penulis sendiri, lulusan S1 dan S2 di kampus PTAIN. Apalagi jurusannya adalah Tafsir Hadis. Pasti masyarakat akan memandang ahli dalam persoalan agama, dianggap mampu menyelesaikan persoalan di tengah masyarakat. Bahkan sampai ada celetukan gelar SAG yang disandang oleh sarjana PTAIN bukanlah Sarjana Agama, tetapi Sarjana Alam Ghaib. Alam astral yang tak kasat mata, yang biasa masyarakat kita menjamahnya dengan ritus-ritus dan doa-doa. Wajar jika lulusan PTAIN ketika ada acara formal diminta untuk dongani (memimpin doa).
Kurikulum Moderasi Beragama
Dalam kurikulum yang telah dijalankan di kampus UIN Walisongo, setidaknya memuat tiga hal penting. Pertama, penguatan cara pandang, sikap, dan praktik beragama jalan tengah (tawasuth atau moderat). Hal ini mengingatkan kita kepada sosok KH. Abdurrahman Wahid yang menyatakan bahwa agama adalah sumber inspirasi, bukan aspirasi. Maksudnya adalah tidak menjadikan agama sebagai alat politik, kepentingan sesaat untuk mendulang suara. Apalagi sampai menjadikannya alat untuk memecah belah.
Dari gagasan ini, maka sebagai anak bangsa yang plural, harus bisa menciptakan persaudaraan antar sesama, atau yang biasa kita kenal dengan istilah triple ukhwah: ukhuwwah islamiyah, ukhuwwah wathaniyyah, dan ukhuwwah basyariyah.
Yang kedua, penguatan harmonisasi dan kerukukan umat beragama. Di tahun 2021, RMB UIN Walisongo pernah melaksanakan program dialog multikulturalisme dari lintas agama. Tujuannya tak lain adalah membuka ruang kepada setiap pemeluk agama lain untuk ngobrol-ngobrol terkait persoalan umat, serta membangun komitmen bersama dalam menjaga kerukunan umat lintas iman. Pendekatan seperti ini menarik karena mahasiswa dihadapkan langsung dengan pemeluk agama lain. Ihwal apa yang menjadi pertanyaan selama ini bisa langsung ditanyakan.
Yang ketiga, penyelarasan relasi agama dan budaya. Di antaranya yakni pengapresiasian terhadap ekspresi budaya berbasis nilai agama. Wujudnya adalah pengembangan literasi bertema kebudayaan, memberikan pemahaman tentang ekspresi seni, situs-situs, serta perayaan keagamaan.
Seperti kesenian teater dan musikalisasi puisi. Di kampus UIN Walisongo banyak UKM-UKM mahasiswa yang mendukung program pelestarian keseniaan dan kebudayaan. Di antaranya Komunitas Seni Kampus Wadas yang punya karawitan Panembromo yang biasa dimainkan di acara-acara penting kampus seperti event wisuda.
Ketiga hal itu adalah capaian yang nantinya dijadikan sebagai alat ukur oleh RMB UIN Walisongo dalam hal mendiseminasikan gagasan moderasi beragama. Kalau mahasiswa paham dan mempraktikkan ketiganya, dan kurikulum moderasi beragama berjalan dengan baik, maka kampus UIN Walisongo bukan sekadar membawa nama besar Walisongo, tapi juga sebagai kampus yang meneruskan gagasan moderatisme beragama ala Walisongo. Santun, santuy, dan salam; membawa kedamaian.