Hidup di lingkup keluarga yang mewajibkan edukasi Barat tidak lantas menjadikan Sjafruddin Perwiranegara lalai akan ajaran agamanya. Seorang tokoh nasionalis, politikus, sekaligus ekonom yang cerdas, begitu Ia dikenal oleh khalayak. Sjafruddin Perwiranegara dilahirkan di Banten pada tanggal 28 Februari 1911, Ia adalah Putra dari Raden Arsjad Prawiraatmadja dan Noer’aini. Raden Arsjad Prawiraatmadja menghendaki pendidikan barat bagi anak-anaknya, sehingga semasa kecil Sjafruddin Perwiranegara mengemban pendidikan dasar di ELS, dilanjutkan pendidikan menengah di MULO dan AMS, selain itu Sjarifuddin Perwiranegara aktif di salah satu organisasi mahasiswa yang tendensius di ranah pendidikan tanpa mengintervensi politik negara.
Ayah Sjafruddin, Raden Arsjad Prawiraatmadja mengikuti cara berpakaian orang Eropa yang rapi namun tetap aktif dalam kegiatan masjid dan kerohanian. Ayahnya juga mewajibkan anak-anaknya untuk tetap berpegang teguh pada Al-qur’an dan ajaran islam. Sehingga, Sjafruddin kecil hingga dewasa menjadikan ayahnya sebagai acuan dalam hal kepribadian dan pemikiran. Hal ini yang menjadikan Sjafruddin diterima baik oleh semua kalangan gayanya yang rapi dan sopan, serta jiwa spiritualitasnya yang tinggi menjadikannya dikenal baik oleh kalangan santri, modernis, maupun bangsawan sekuler Eropa.
Sjafruddin tumbuh menjadi anak yang cerdas dan religius, Ia mengintegrasikan antara nilai sakralisasi dan profansiasi menjadi satu kesatuan yang utuh dan tak dapat dipisahkan. Ia menaruh atensi terhadap nasionalisasi, hal ini ditunjukannya melalui tulisan di majalah, surat kabar, dan buku-buku. Setelah memasuki bangku perkuliahan Ia banyak mempelajari tentang kemasyarakatan dan pergerakan nasional.
Sjafruddin mementingkan gerakan kooperatif untuk mencapai kemerdekaan bangsa melalui kerjasama dengan Belanda. Namun Sjafruddin disadarkan dengan sikap Belanda pada masa akhir pemerintahan yang tidak mau kompromi dengan rakyat Indonesia dan membiarkan pribumi sengsara dibelenggu oleh Jepang. Sjafruddin bersama para tokoh bergabung dalam kelompok Paguyuban Pasundan yakni Oto Iskandar Dinata, Ir. Oekar Bratakoesoemah, Arudji Kartawinata, dan Muhammad Natsir mendiskusikan langkah yang harus dilakukan untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia.
Sjafruddin menyatakan revolusi Indonesia patut dilakukan untuk menghapuskan kolonialisme dan kapitalisme Belanda, serta merealisasikan keadilan sosial dan kedaulatan rakyat. Sjafruddin memiliki pedoman revolusi nasional yakni dengan pendekatan sosialis religius. Terminologi sosialisme yang dimaksudkan Sjafruddin adalah kewajiban manusia untuk bersandar kepada Tuhannya. Selain itu Sjafruddin meluruskan bahwasannya bagi sosialis religius, sosialisasi dan nasionalisasi bukan merupakan tujuan akhir dari suatu keputusan melainkan alat yang digunakan untuk mencapai kemaslahatan rakyat. Dalam pandangannya, korelasi sosialisasi dengan situasi dan kondisi merupakan keniscayaan yang harus diperhatikan agar tidak menyimpang dari tujuan awal.
Peranan penting seorang Pria cerdas ini ditunjukkan ketika Ia menjabat sebagai Kepala Kantor Pajak di Kediri tahun 1942, kemudian Ia menjabat sebagai Menteri Keuangan pada kabinet Sutan Sjahrir yang ke-2 dan melalui pemikiran solutifnya ia mewujudkan Oeang Republik Indonesia (ORI). Gagasan realistis yakni sosialis religius membawa pengaruh besar terhadap pembentukan haluan pemikiran, ideologi, dan kebijakan Partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Kecerdasan, ketanggapan logika, serta keimanan yang kuat mempermudah Sjafruddin dalam merespon tantangan Orde Lama dan Orde Baru.
Pada Orde Lama, partai yang diduduki oleh Sjafruddin yakni Partai Masyumi mendukung upaya-upaya dan gerakan yang dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno. Namun, ketika Soekarno mengambil tindakan menyatukan kelompok dengan mencetuskan ide Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) membuat Partai Mayumi menjadi penentang garis keras. Sjafruddin dan M. Natsir merupakan tokoh yang aktif menyuarakan penolakan terhadap ide Nasakom tersebut. Sehingga tejadi pertentangan keras antara Masyumi yang menganggap ide Nasakom tidak relevan dengan Soekarno yang nasionalis-sekuler pada masa itu. Pertikaian antara kedua belah pihak berakhir dengan bubarnya partai Masyumi dan memenjarakan Natsir dan Sjafruddin.
Karya yang merepresentasikan pemikirannya ditulisnya di beberapa buku yakni Islam Sebagai Pedoman Hidup, Ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah Insaniyah, serta Agama dan Bangsa: Pembangunan dan Masalah-masalahnya. Sjafruddin wafat pada tanggal 15 Februari 1989 meninggalkan jejak dan sumbangsih pada islam dan Idonesia.