Korupsi merupakan “extra ordinary crime”. Kalau diletakkan sebagai kejahatan luar biasa, penangannya juga harus luar biasa. Di Indonesia ada tiga kejahatan berkategori berat, yaitu narkoba, terorisme, dan korupsi. Korupsi termasuk kejahatan luar biasa dalam kategori berat.
Kasus penanganan korupsi mesti diupayakan dari tingkatan terbawah, yaitu masyarakat. Dai sebagai pemuka agama memberi edukasi bahwa korupsi itu merupakan pekerjaan yang dalam Islam dilaknat oleh Allah Swt. Lalu, bagaimana para dai mengupayakan strategi pemberantasan korupsi?
Pembahasan mengenai strategi dai pemberantasan korupsi itu mengemuka dalam diskusi yang diselenggarakan oleh divisi kaderisasi Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LD-PBNU), Minggu (20/06/2021).
Kegiatan tersebut menghadirkan Ketua Divisi Kaderisasi LD PBNU Dr. KH Masrukhin Abdul Madjid; Ketua LD-PBNU KH Agus Salim; pakar hukum pidana Islam KH Muhammad Nurul Irfan; dan Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM (Lakpesdam) NU Dr. KH Rumadi Ahmad.
Pada sambutannya KH Masrukhin menyampaikan jika diskusi ini penting dilakukan sebagai upaya dalam membantu kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi. Sementara itu, KH Agus Salim menerangkan bahwa korupsi itu perbuatan keji, sangat berdampak terutama bagi bangsa dan negara.
“Karena korupsi itu, di samping mengambil hak orang lain juga merugikan banyak pihak. Oleh karena itu peran dari para dai sangat diperlukan,” terang Agus Salim.
Dalam fikih, korupsi harus dibedakan dengan mencuri atau merampok. Korupsi masuk pada ranah jarimah takzir, yang mesti dihukum berat. Takzir jenis jarimah yang posisi berbeda dengan qishas dan hudud. Jarimah Takzir ini secara jenis dan jumlah sangat banyak, beragam, dan tidak terbatas.
Di antara beberapa jarimah yang termasuk kategori takzir yaitu, tindak pidana korupsi, tindak pidana illegal loging, tindak pidana human traficking, dan tindak pidana dunia maya/cyber crime. Pada dasarnya adalah, tindak pidana korupsi bukan pencurian dan bukan perampokan, karena berbeda unsur pokoknya.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai pembela bangsa juga penegak agama wajib hukumnya dalam memerangi korupsi. Sehingga gerakan memberantas korupsi yang dilakukan oleh NU ini nantinya berguna untuk mendukung gerakan dari KPK.
Terbukti, sejauh ini beberapa upaya dari kelembagaan NU pernah terlaksana. Misalnya, Lakpesdam NU Pernah menulis buku berjudul Jihad NU melawan korupsi. Selanjutnya pada ranah dai pada saat menjadi khotib jumat tidak perlu malu dan tabu khutbah terkait korupsi dalam hukum Islam.
“Gunakan Mimbar sebagai sarana berkontribusi sekecil apapun hasil dan resikonya. Qulil haqqa walau kana murran. Ulama dan kyai serta santri harus paham korupsi secara fikih dan perundang undangan di Indonesia,” terang Nurul Irfan.
Sejauh ini, peran dai adalah untuk memberikan pencerahan pada masyarakat, terutama generasi penerus. Hal terpenting adalah bagaimana dai dapat memberikan pemahaman pada generasi penerus terkait bahaya korupsi.
Kasus Korupsi Zaman Nabi
Pada zaman nabi ada beberapa kisah yang secara motif serupa dengan korupsi.
Pertama, penggelapan harta rampasan perang, kasus korupsi sahabat Nabi bernama Mid’am, Karkarah atau Kirkirah yang menggelapkan syamlah (mantel).
Kedua, kasus korupsi seorang tentara terhadap dua utas atau seutas tali sepatu, Syirakun atau Syirakain.
Kasus ketiga yaitu kasus seseorang yang menggelapkan kharaz, atau manik manik seharga kurang dari 2 dirham.
Kasus empat yaitu pada saat pemanggilan kembali utusan Nabi ke Yaman, Mu’adz bin Jabal, setelah yang bersangkutan berangkat menuju tempat tugas, agar jangan sampai berbuat korup dengan menerima hadiah, sogok atau gratifikasi dalam bertugas.
Dr. KH Rumadi Ahmad sebagai pembicara kedua menerangkan, koruptor adalah pengkhianat prinsip dasar keislaman kita (mabadi’ khairo ummah). Harus ada keberanian dari berbagai pihak untuk melawannya, karena dia mengkhianati prinsip beragama. Koruptor melakukan pengkhianatan atau penistaan terhadap agama dan keyakinan kita.
“Kita mesti bersama sama memompa untuk memerangi korupsi yang nyata nyata bergentayangan. Korupsi berdampak sangat buruk bagi kehidupan bangsa dan negara. Sekaya apapun sebuah bangsa, berapapun APBN yang dimiliki tapi tidak terkelola secara baik, maka menimbulkan persoalan dan tidak akan pernah cukup,” terang Rumadi.
Dalam Centre For Strategic And International Studies yang dilakukan USAID, dijelaskan beberapa alasan orang melakukan korupsi yaitu: Minimnya servis, gaji kecil, kultur materialistis dan prestisius, serta sistem rekrutmen PNS dan politisasi PNS.
Alasan lain yaitu adanya peluang dan kesempatan, mentalitas, moral lemah (hedonis: kebutuhan vs keinginan), lemahnya pemahaman tentang ajaran agama, dan bagian dari kebiasaan. Masih ada sebab lain yaitu tekanan pimpinan, penegakan hukum lemah, birokrasi dan pelayanan publik yang berbelit-belit, serta makin rumitnya pelayanan birokrasi.
Kultur yang permisif (pemberian atau permintaan sesuatu dari aparat pemerintah) dan pengetahuan masyarakat yang rendah, jika masyarakat tidak memberikan hukuman serius pada koruptor maka tetap saja. Ada tindakan yang tidak korupsi, tapi koruptif. Koruptif belum tentu melanggar hukum, tapi itu persoalan etika.
Peran NU
Menurut Rumadi, integritas antikorupsi harus dimulai dari warga Nahdlatul Ulama. Respon NU terhadap korupsi telah muncul sebelum UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi diundangkan.
‘Yaitu melalui forum resmi pembahasan hukum keagamaan (Munas Alim Ulama dan Muktamar NU),” lanjut Rumadi.
Pada tahun 1999, dalam Muktamar NU ke-30 di Pondok Pesantren Lirboyo, Jawa Timur, NU membahas isu status uang negara. Acuan moral untuk menegakkan keadilan dan mencegah penyalahgunaan wewenang (KKN).
Pada saat itu, disepakati bahwa uang negara pada hakikatnya adalah uang Allah yang diamanatkan kepada pemerintah atau negara, bukan untuk penguasa, melainkan untuk ditasharrufkan bagi sebesar-besarnya kemaslahatan seluruh rakyat, tanpa diskriminasi apapun.
“Setiap rupiah dari uang pajak (juga setiap titik kekuasaan yang dibiayai dengan uang pajak) harus dipertanggungjawabkan kepada Allah (di akhirat) dan dipertanggungjawabkan kepada rakyat (di dunia),” imbuh Rumadi.
Lalu pada tahun 2002 Munas Alim Ulama NU di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta. Hutang Negara, hukuman bagi koruptor, dan money politics dan hibah kepada pejabat. Hutang Negara yang dikorup oleh para pejabat dan kroninya, Negara harus membayarnya dengan dana yang ditarik kembali dari koruptor.
Jika koruptor dari pejabat negara meninggal dunia, maka para ulama sebagai pewaris Nabi hendaknya meneladani Rasulullah untuk tidak menyolati mayyit koruptor tersebut.
Money politics dihukumi suap (risywah) yang dilaknat oleh Allah Swt, baik yang memberi (rasyl) ataupun yang menerima (murtasyi), maupun yang menjadi perantara (raisy).
Hibah yang diterima pejabat dapat mengandung makna suap (risywah), bisa juga bermakna korupsi (ghulul). Status uang atau benda hibah atau hadiah yang diterima pejabat harus diambil alih oleh negara untuk kemaslahatan rakyat.
“Tahun 2004 Muktamar ke-31 NU di Asrama Haji Donohudan, Solo, Jawa Tengah membahas tentang Penyuapan dalam penerimaan PNS. Menghasilkan keputusan yaitu Pemberian sesuatu untuk menjadi PNS dan semacamnya adalah suap (risywah), hukumnya haram. Gaji PNS yang penerimaannya melalui suap hukumnya haram.”
Munas Alim Ulama NU di Asrama Haji Sukolilo tahun 2006 di Surabaya, Jawa Timur terkait asas pembuktian terbalik, menghasilkan keputusan hukum Islam dapat menerima asas pembuktian terbalik dalam kedudukan sebagai qarinah (indikasi).
Tahun 2010, Muktamar NU ke-32 di Asrama Haji Sudiang Makassar membahas tentang hukum sadap telepon. Disepakati bahwa sadap telpon itu wajib (jika tidak ada cara lain), untuk kepentingan pelaksanaan amar ma’ruf nahy munkar dan ada ghalabah azh-zhann (dugaan kuat) atas terjadinya kemaksiatan.
“2012 pada saat Munas Alim Ulama NU di Ponpes Kempek Cirebon, Jawa Barat. NU membahas Hukuman mati bagi koruptor, pengembalian harta hasil korupsi, pemeriksaan kekayaan koruptor yang meninggal dunia, larangan pencalonan jabatan publik bagi koruptor, risywah politik, pajak yang dikorupsi.”
Pada Munas tersebut, dihasilkan beberapa keputusan. Apabila koruptor tidak jera dengan berbagai hukuman, maka boleh diterapkan hukuman mati. Seluruh harta hasil korupsi wajib dikembalikan ke negara, meskipun pelaku telah menjalani hukuman.
Memeriksa kekayaan yang diduga hasil korupsi, hukumnya wajib, meskipun tersangka pelaku telah meninggal dunia. Apabila terbukti hasil korupsi, harta wajib dikembalikan kepada Negara dan tidak boleh diwariskan.
Selanjutnya, orang yang terbukti atau diduga kuat pernah melakukan korupsi tidak boleh mencalonkan diri, dicalonkan, dan dipilih untuk menduduki jabatan publik (urusan rakyat).
Pemberian zakat atau shadaqah yang dimaksudkan semata-mata agar penerima memilih calon tertentu, maka zakat dan shadaqah tidak sah dan termasuk risywah.
Pemberian kepada calon pemilih atas nama transport, ongkos kerja, kompensasi meninggalkan pekerjaan agar penerima memilih calon tertentu, tidak sah, batal, dan termasuk suap.
Pemberian yang dimaksudkan untuk suap oleh pemberi, tetapi tidak dinyatakan secara lisan agar penerima memilih calon tertentu, hukumnya haram.
Hasil diskusi panel menyatakan bahwa NU merupakan bagian penting dari negara ini. NU sebagai garda terdepan dalam mempraktikkan perilaku anti korupsi. Jangan sampai hukum dan jaksa justru melemahkan semangat pemberantasan korupsi.
Kader muda NU, terutama pesantren sudah dibekali wawasan antikorupsi. Agama menyelamatkan seseorang dari perilaku korupsi. NU menjaga umat dari korupsi sementara pesantren sebagai lembaga dengan wawasan anti korupsi.