Walau hanya 40 harian saya mondok posoan (jelang Ramadan hingga tanggal 20 Ramadan) di tempat Mbah Yai Maemoen Zubair Sarang-Rembang waktu ngaji kitab as-Syifa, hati ini tidak akan pernah mampu memungkiri bahwa Beliau Alim, Allamah, Mutabahhir: Ilmunya nyegoro.
Mbah Moen memaknai dengan lugas kitab as-Syifa karya Syekh Qadlil Iyadh yang full hadis dan Alquran dengan bahasa yang langka-langka. Bahkan saya yang berjuang habis-habisan agar setiap ngaji bisa dekat dengan beliau dua meter tiga meter, belum pernah melihat beliau buka kamus untuk mencari lafaz yang sulit diterjemah.
Kitab yang ada di hadapan beliau itu kosongan: tidak ada makna dan terjemahan. Dan padahal lagi, selain kitab ditinggal di majlis, setelah pulang ngaji dari luar/masyarakat, acapkali Beliau langsung menuju majlis tempat kami ngaji, entah kapan beliau muthalaah.
Tapi yang jelas ketika menerangkan, hmmm.. Siapa pun akan yang mendengarnya, akan berdecak kagum. Uraiannya mengalir dan bergerak tiada habis, bagai samudra: Alquran, hadis, nahwu, sharaf, manthiq, balaghah,, Ma’ani, bayan, tajwid, dan tentu saja tarikh. Ilmu-ilmun itu mengiringi dengan sistematis menjadi penjabar ngaji as-Syifa. Seakan bagi Beliau, semua itu mudah sekali, padahal, bagi para santri kebanyakan, tahu sendirilah bagaimana sulitnya.
Apalagi kalau sedang menjelaskan sejarah dan daerah yang telah tersebut dalam Alquran, seperti tanah kaum ‘Ad, Tsamud, dan lainnya. Dengan jelas Beliau tuturkan, sebab pernah mengunjungi secara langsung. Kata kawan santri mukim sana, “Setiap akhir tahun, Beliau sering sekali keluar negeri untuk mengunjungi tempat aneh-aneh.”
Belum lagi keistimewaan yang sering Beliau tampilkan. Tidak satu dua kali Mbah MoenM bisa membaca pikiran tamu dan para santri. Selain wajah yang teduh dan senang ketika hamba memandangnya. Bibirnya senantiasa basah dan berair, padahal terik panas di Pantura, di bulan Ramadan. Bisa dibayangkan sendiri hawa di sana.
“Orang yang akan merindui kekasihnya, tak akan sabar untuk menemuinya,” itu inti dawuh beliau tahun 2004 lalu. Dan yang mendengarkan menahan tangis, sebab seakan merupakan kata perpisahan dari beliau untuk kami. Tapi Beliau ucapkan dengan tenang dan mata berbinar penuh kerinduan.
Begitu pula waktu akhir Ramadan. Seperti kebiasaan tahun-tahun sebelumnya. Setelah khataman ngaji kitab. Beliau mengajak para santri untuk bersama-sama berziarah ke makam dekat pondok.
Setelah usai tahlilan –yang berdoa bukan beliau– ketika yang mendoakan, dengan khusyuk dan suara serak menahan tangis, “Yaa Allah … panjangkan umur beliau agar selalu menuntun kami (doa dengan bahasa Arab) …”
Kami yang duduk di belakang atau melingkarinnya, juga mengamini dengan mengharu-biru. Namun, ketika sekejap kulirik Mbah Moen, beliau yang didoakan hanya senyam-senyum tanpa beban, tanda kerinduan kapan akan dijemput sang kekasih.
Sering ketika di rumah, baik waktu ngaji bersama kawan-kawan ataupun ketika berbincang dengan orang yang membuatku nyaman, saya rekomendasikan:
“Sowanlah, Mbah Moen … mumpung Beliau masih hidup. Minta berkah doanya. Beliau Alim, Allamah, Mutabahhir … jarang sekali orang alim seperti beliau.”
Mungkin, hanya yang pernah mengikuti ngaji dan bersama beliau, yang bisa merasakan, bahwa beliau bukan seperti orang kebanyakan.
Semoga panjang umur dan berkah Mbah Yai. Semoga Panjenengan menerima saya menjadi santri Panjenengan walau cuma ngaji posoan, ngaji 40 hari. Lahul-Faatihah … (Penulis: KH. Hizbullah Haq)