Perempuan pertama ini bernama Aisyah bintu Abdurrahman atau lebih dikenal dengan nama Bintu Syathi’, putri pantai. Lahir pada 6 November 1913 di Kota Damietta atau yang lebih dikenal dengan Dimyath, berjarak 191 Km dari Kairo.
Kota Dimyath cukup banyak melahirkan tokoh-tokoh hebat. Mulai dari Ibnu Nuhas, ulama mazhab Syafi’i; Abdurrahman Badawiy, profesor filsafat; Ad-damiri, seorang ahli yurisprudensi Islam, hingga Bintu Syathi’.
Aisyah bintu Abdurrahman, Putri dari seorang alim lulusan Al-Azhar seorang tasawuf dan konservatif, sangat tidak menyukai sekolah dasar yang tidak berbasis agama. Di umur lima tahun ia sudah berhasil menghatamkan hafalan Alqurannya. Aisyah berkeinginan untuk melanjutkan ke sekolah, tidak hanya mencukupkan pendidikan di keluarganya.
Awalnya ayahnya tidak setuju, namun melihat keinginan Aisyah yang begitu kuat dan didukung oleh bujukan kakeknya akhirnya Aisyah mendapat restu dari ayahnya walaupun berat hati. Aisyah berhasil masuk sekolah dengan syarat ia harus ikut pendidikan agama di rumah setelah pulang dari sekolah.
Lulus dengan hasil yang sangat memuaskan. Ia melanjutkan ke sekolah Almu’allimat di Kota Tanta dan berhasil lulus pada 1929. Tak lama ia pindah ke Kairo dan masuk di Kulliyat Elbanat.
Di sana ia mulai menulis, aktif mengirimkan buah fikirannya ke majalah El-nahdhah El-nisa’iyah (kebangkitan perempuan) yang dipimpin oleh Labibah Ahmad dan juga majalah El-ahram dengan nama pena “Bintu syati’.
Nama itu dipilihnya karena ia tidak bisa lepas dari awal kehidupannya, yakni di pantai kota damietta. Ia juga khawatir atas reaksi ayahnya yang konservatif terhadap pandangan dan gagasannya jika menggunakan nama asli, jadilah ia lebih dikenal dengan nama bintu syathi’.
Selanjutnya, ia mendapatkan beasiswa untuk masuk Egypt University, fakultas sastra, jurusan bahasa arab dan lulus pada 1939. Di tengah belajarnya, ia menikah dengan Amien al-Khulliy, penulis “Metodologi Sastra Arab dalam Tafsir Alqur’an, manhaj albayaniy fiy tafsir alqur’an karim” yang tak lain adalah dosennya sendiri.
Pada 1941, Aisyah berhasil mendapatkan gelar magister dengan tesis berjudul “Hayat el-Insaniyah inda Abu al-Ala’ al-Ma’arriy”. Pada 1950, Aisyah menyelesaikan doktoral dengan desertasi tahqiq “Risalat Alghufran” karya Abu al-‘Ala’.
Berhasil menjadi dosen tafsir dan guru besar di Universitas Qorowiyyin, Maroko, Aisyah mengabdikan dirinya untuk ilmu dan kajian keislaman hingga banyak mengisi universitas-universitas Arab.
Karyanya mencapai empat puluh kitab, di antaranya at-Tafsir al-Bayan lil Qur’anil Karim Volume 1 (1962) Volume 2 (1969), Kitabuna al-akbar (1967), al-qur’an wa al-tafsir Al-asyri (1971) hayatul insaniyah inda abil a’la (1944). Dan masih banyak yang lain.
Mendapat penghargaan banyak penghargaan, di antaranya, penghargaan negara mesir pada 1978. Penghargaan sastra dari negara kuwait pada 1988, dan penghargaan dari raja faisal pada 1994.
Pada 1 Desember 1998 Bintu Syathi’ meninggal dunia dengan meninggalkan nama “perempuan pakar tafsir”. Ulama dari penjuru dunia melayatnya, termasuk Grand Syekh Al-Azhar pada saat itu turut mengimami salat jenazahnya.
***
Lain dengan Bintu Syathi’, Nailah Shabriy, perempuan yang lahir di Kota Qalqiliya, kota tepi barat Palestina. Ia merupakan penulis kitab tafsir “Almubsir li Nur al qur’an al-Karim” 11 jilid.
Nailah adalah istri dari khatib masjid Al-Aqsa dan mufti Palestina, Ikrimah Sa’id Abdullah Shabriy. Biografi dan profil suami istri yang sama-sama hebat dalam keilmuan ini tidak terlalu detail serta sangat sulit dijumpai. Hanya beberapa keterangan tentang awal mula karyanya yang sangat menarik.
Sebelum menulis tafsir itu Nailah shabri selama dua puluh tahun mempelajari Alquran dan telah membaca lebih seratus lima puluh kitab tafsir. Pertama yang membuat ia mengawali menulis tafsir ia menemukan kitab tafsir kontemporer, sedangkan kitab-kitab tafsir yang ada itu ditulis dengan gaya lama.
Sulit bagi pembacanya, lebih-lebih anak muda untuk memahaminya, hingga terbit untuk pertama kalinya kitab tafsir Almubshir pada 1997 di Uni Emirat Arab, dan pada 2003 kembali terbit di Bahrain.
Penulisan itu adalah rihlah bersama kitab Allah sejak kecil. Ayah Nailah sendiri seorang mufti di Kota Qalqiliya, dan ia adalah seorang pengajar agama di sekolah. Kesibukannya ia mengisi acara keagamaan di Masjid Al-Aqsa setiap minggu yang dihadiri oleh perempuan dari berbagai daerah.
Ada kisah menarik tentang penulisan kitab tafsirnya. Nailah menceritakan: “Rasulullah tidak hanya satu kali memotivasi diriku untuk menulis kitab tafsir Alquran, ia hadir dalam mimpiku.”
Pertama-tama setelah Salat Istikharah di malam Lailatulqadar, saat baru memulai menulis Almubshir. Nailah bermimpi bertemu dengan rasulullah dengan keadaan memeluk kitab Almubshir.
“Beliau memandangku dengan pandangaan penuh kebahagiaan dan kerelaan.”
Mimpi kedua, saat ia berada di Madinah, tepatnya di Masjid Nabawi, beberapa langkah dari Raudhah, usai Salat Tahajud ia kembali berjumpa Rasulullah, sama di mimpi pertama.
Ia meyakini itu adalah Rasulullah dengan landasan hadis; “Barang siapa yang melihatku dalam mimpi, ia benar-benar melihatku. Karena setan tidak bisa menyerupai diriku”.
Atas mimpi itu, Nailah bersemangat untuk melanjutkan menulis tafsir Almubshir. “Aku lanjutkan menulis tafsir. Bahkan aku berusaha bentuk cetakan dan warnanya sama dengan kitab yang di pegang rasulullah dalam mimpi itu.”
Walaupun sibuk dengan mengajar dan menulis, sebagai istri dan ibu dari kelima putranya tidak melalaikan tanggung jawab. Dalam setiap harinya ia menghabiskan tujuh jam untuk membaca dan menulis.
“Justru sebaliknya, karena kegemaranku membaca dan menulis aku telah menanam di hati anak-anakku untuk gemar belajar sejak dini. Hingga sering kali aku mengajak dan menemani mereka ke toko buku, memilihkannya untuk mereka. dan alhamdulillah, mereka semua sukses. Ada yang yang masih menyempurnakan belajarnya di kampus. dan ada yang sedang menyiapkan desirtasi doktoralnya sekarang,” ungkap Nailah.
Terakhir, Nailah Shabriy memberi pesan kepada perempuan-perempuan muslim untuk sama-sama menjaga putra putri mereka. Karena mereka sangat berperan membangun peradaban Islam selanjutnya.
Pintar-pintar menyiasati waktu, karena banyak waktu luang yang terbuang sia-sia tanpa faedah. Kehendak dan cita-cita mulia mampu membuat peremuan menciptakan mukjizat yang akan menolong keluarga dan lingkungan sosialnya.
“Perempuan harus kembali berperan. Perempuan ke depan harus menjadi mufti yang mampu menjawab tantangan zamannya. Sering kali suamiku, Syech Ikrimah Shabriy menyerahkan masalah ihwal perempuan kepadaku. Kita lihat Sayyidah Aisyah, istri Rasulullah. Beliau perempuan yang cerdas,” pungkas Nailah dalam wawancara yang dilansir oleh Ahmad Fauzi di majalah al-Jaridah al-Kuwaitiyah, 5 Juni 2018. (atk)
Bagaimana dengan kabar pembakaran karya Bintu Syathi’? Benarkah? Saya pernah mempelajari Al I’jaz al Bayani lil Quran dan sekilas saja membaca At Tafsir al Bayani lil Quran al Karim