Kalau kita mendengar kata “Jawa”, seakan akan muncul dibenak kita tentang kemistisan, keunikan, dan tradisi yang sangat kuat dalam berbudaya maupun warisan para leluhur Jawa. Termasuk juga weton. bagi masyarakat Jawa weton tentu sangatlah penting, terutama ketika saat akan menempuh hubungan pernikahan.
Pernikahan adalah bukti keseriusan cinta seseorang. Dalam pernikahan kedua suami istri dituntut untuk berjanji akan selalu hidup bersama selamanya, oleh karena itu hal ini bukanlah permainan semata yang bebas untuk keluar masuk selayaknya bermain di time zone. Masyarakat Jawa khusunya bagian timur yang masih kental akan tradisi Jawanya masih menyakini bahwa menghitung weton dalam perjodohan akan membawa pengaruh besar bagi kehidupan kedua mempelai bahkan keluarga, dan apabila melanggar hitungan weton tersebut, bisa menjadi sebab datangnya sebuah musibah sampai pada kematian.
Sebenarnya Apa Sih Weton Itu ?
Dalam kalender Islam, ada tujuh nama hari dan lima pasaran yang dimulai dari Pahing, Pon, Wage, Kliwon dan Legi atau bisa disebut juga dengan Pancawarna dan masing-masing nama dari hari dan pasar mempunyai angka sakral atau disebut juga dengan Neptu yang digunakan untuk menghitung. Berikut dibawah ini.
HARI | NEPTU | PASARAN | NEPTU |
Minggu/Ahad | 5 | Pahing | 9 |
Senin | 4 | Pon | 7 |
Selasa | 3 | Wage | 4 |
Rabu | 7 | Kliwon | 8 |
Kamis | 8 | Legi | 5 |
Jum’at | 6 | – | – |
Sabtu | 9 | – | – |
Cara menghitungnya adalah berdasarkan hari lahir kedua mempelai, jika calon suami lahir pada hari Senin Pahing berarti, ( 4 + 9 = 13 ). Kemudian calon istri lahir pada hari Selasa Legi berarti, ( 3 + 5 = 8 ). Nah, dari jumlah kedua calon mempelai tersebut total menjadi ( 13 + 8 = 21 ). Dari jumlah akhir yaitu 21,maka pasangan ini dinamakan pasangan tirani yang diyakini akan menjadi keluarga yang makmur dalam persoalan materi. Lihat rumus dibawah ini.
Pegat | 1, 9, 17, 25, 33 |
Ratu | 2, 10, 18, 26, 34 |
Jodoh | 3, 11, 19, 27, 35 |
Topo | 4, 12, 20, 28, 36 |
Tirani | 5, 13, 21, 29 |
Padu | 6, 14, 22, 30 |
Sujanan | 7, 15, 23, 31 |
Pesthi | 8, 16, 24, 32 |
Dengan penjelasan, Pertama : Pegat dalam bahasa Indonesia “cerai”. Pasangan ini sering mendapatkan berbagai masalah-masalah rumah tangga seperti halnya ekonomi, perselingkuhan dan sebagainya hingga menyebabkan perceraian. Kedua : Ratu “raja”. Pasangan ini akan mendapatkan kemuliaan, disegani masyarakat. Ketiga : Jodoh, pasangan ini berjodoh. Keempat :Topo yang berarti “tapa”. Pasangan akan menemukan kesusahan di awal, tapi dengan usaha yang mereka lakukan akan mendapatkan kebahagiaan seiring waktu berjalan. Kelima : Tinari biasanya pasangan ini akan mendapatkan kebahagiaan dalam berumah tangga terutama dalam masalah keuangan. Keenam : Padu atau sering kita kenal dengan cekcok, pasangan ini sering mengalami kecekcokan terutama dalam masalah sepele, tapi tidak sampai menjadi sebab perceraian. Ketujuh : Sujanan sering mengalami pertengkaran disebabkan masalah perselingkuhan, entah dari pihak laki-laki ataupun perempuan. Delapan : pasangan pesthi adalah pasangan yang selalu hidup dalam keharmonisan ,walaupun terkadang terjadi masalah tapi mudah untuk dilewati.
Bagaimana Kita Menyikapi Tradisi Tersebut ?
Dalam kajian hukum Islam, permasalahan adat sebagaimana yang terjadi dalam tradisi penghitungan weton dino dan pasaran sebagai pedoman pernikahan adalah menggunakan kaidah ushul fikih “al adatul muhakkamah” yang berarti adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum. Dalam kaidah tersebut adat dapat menjadi hukum yang dapat dijalankan dengan beberapa syarat atau kriteria yang harus dipenuhi sebagai berikut : Pertama : perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat. Syarat ini menunjukkan bahwa adat tidak mungkin berkenaan dengan perbuatan maksiyat. Kedua : tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah. Ketiga : tidak mendatangkan kemudlorotan serta sejalan dengan jiwa dan dan akal yang sejahtera.
Dikutip dalam sebuah buku ringkasan hadis shohih muslim oleh Imam Al-Mundziri, sebuah hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
“Barang siapa mendatangi juru ramal, kemudian bertanya tentang sesuatu (yang akan terjadi), maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam (40 hari)”. (HR. Muslim)
Sebagaimana pula firman Allah SWT dalam Q.S. An Naml: 65 yang menjelaskan tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah. Dari sini kita dapat menyimpulkan segala sesuatu pada hakikatnya hanyalah Allah yang tau.
Menurut Muhammad Farid Nabil seorang alumnus magister konsentrasi hukum keluarga Islam UIN Sunan Kalijaga yang juga mengajar di salah satu universitas terbuka “bahwa persoalan weton merupakan tradisi turun temurun dari nenek moyang khususnya masyarakat Jawa. Sebuah tradisi perlu kita hormati atau kita pegang selama tradisi tersebut baik, apalagi tradisi weton terkadang ada benarnya dan terkadang tidak, dan sifatnya hanya sebatas anjuran bukan keharusan bagi setiap orang Jawa ketika akan melakukan pernikahan. Adapun jika ternyata pernikahan kita terhalang weton, kita bisa melanjutkan pernikahan tersebut dengan menggunakan sudut pandang Islam”.
Tambahnya, “dalam Islam tidak ada syarat dalam pernikahan dalam menggunakan weton, Nabi menasehati kita sebagai seorang muslim agar mencari pasangan dengan empat kriteria, rupanya (kecantikan), nasabnya, hartanya dan agamanya. Nabi tidak menasihati seorang muslim ketika akan melaksanakan pernikahan untuk mencocokkan weton, sehingga menjadi jelas ketika pernikahan terhalang oleh weton, kita bisa melanjutkan pernikahan dengan mempertimbangkan hadist yang telah dituturkan Nabi. Ini semua menjadi pesan dan nasihat bagi kita semua yang bakal menjadi seorang suami ataupun seorang istri”, tutur Nabil yang juga seorang pengajar di sebuah pesantren Darus Sa’adah di kota Semarang.
Pada akhirnya semua itu hanya terpaut dengan takdir belaka, artikel ini hanyalah penggambaran, bukan untuk bahan dasar atas tradisi di atas. Kita sebagai manusia hanya mampu menjalani apa yang sudah ditetapkan Tuhan kepada kita, jangan sampai kita menjadi orang yang dianggap menolak bahkan tidak menerima dengan keberadaan takdir. Wallahu a’lam.