Menjelang satu abad, Nahdlatul Ulama menjadi penanda penting betapa organisasi yang didirikan para kiai ini telah melalui proses panjang sejarah. Sejak didirikan oleh para kiai melalui sebuah pertemuan di Kertopaten Surabaya pada 16 Rajab 1344 H, Nahdlatul Ulama ikut bergerak dalam perjuangan kemerdekaan, mengawal Indonesia hingga kini.
Beragam lika-liku sejarah mewarnai perjalanan panjang Nahdlatul Ulama, yang lima tahun lagi akan mencapai seratus tahun. Bahkan, pengurus Nahdlatul Ulama dari pusat hingga daerah bersiap melakukan transformasi strategis, untuk menyambut pasca satu abad. Artinya, ada kesadaran yang besar untuk mempersiapkan langkah di abad kedua pengabdian Nahdlatul Ulama, baik di level nasional maupun global. Kiprah Nahdlatul Ulama tidak hanya terbatas di dalam negeri semata, namun juga berusaha terus menerus memberi dampak di ranah internasional.
Nahdlatul Ulama memang didirikan dalam lanskap global. Para kiai pada saat mendirikan organisasi NU, sangat sadar bahwa ada tantangan di level internasional yang perlu dicarikan solusinya secara bersama-sama. KH. Ridwan Abdullah mencipta lambang Nahdlatul Ulama menjelang Muktamar ke-2 NU pada Oktober 1927 (Rabiul Awwal 1346 H). Sebelumnya, Kiai Ridlwan berdiskusi dengan Kiai Wahab Chasbullah, yang saat itu menjadi ketua panitia muktamar. Dalam lambang NU, simbol jagad yang terikat tali kendor penuh dengan makna: jaringan pengetahuan serta pengabdian di level global.
Sebelum Nahdlatul Ulama resmi terbentuk, embrio perjuangan terakumulasi dalam wadah Tashwirul Afkar, Nahdlatut Tujjar dan Nahdlatul Wathan. Tashwirul Afkar sebagai ruang untuk mengkristalisasi gagasan para santri. Sedangkan, Nahdlatut Tujjar untuk membangun fondasi ekonomi sekaligus mengembangkan kemandirian. Sementara, Nahdlatul Wathan merupakan perwujudan keberpihakan para kiai untuk perjuangan kemerdekaan, mengimpikan terbentuknya negara yang merdeka, berdaulat, serta menjamin kesejahteraan publik.
Selain itu, para kiai pesantren juga aware dengan pergolakan di Timur Tengah, khususnya dinamika di Arab Saudi. Ketika muncul tantangan bahwa rezim yang berkuasa di Saudi pada paruh pertama abad XX berusaha meratakan makam Nabi, maka para kiai ingin menyampaikan pandangannya, berniat beraudiensi dengan Raja Ibn Saud. Sejak tanah Hijaz dikuasai oleh Raja Najd, Ibn Saud, kelompok Wahabi menyebarkan dominasi di kawasan Arab.
Para kiai sepakat mengirim delegasi untuk datang langsung ke tanah Arab. Utusan itu, dinamakan Komite Hijaz, yang di antaranya termasuk Syaikh Ghanaim al-Mishri serta dipimpin oleh Kiai Wahab Chasbullah. Dari kisah Komite Hijaz, jelas tergambar bahwa sejak awal para kiai berwawasan global sekaligus bergerak di level internasional. Komite Hijaz juga bertugas untuk menegosiasikan agar diberlakukan kemerdekaan bermadzhab, serta tidak ada larangan dalam penyebaran kitab-kitab ulama empat madzhab dalam bidang fikih, akidah dan tasawuf.
Para kiai berusaha menyampaikan gagasan, mengupayakan solusi, sekaligus menjadi aktor di tengah pergulatan global. Diplomasi para kiai itu menjadi cermin bahwa pesantren dan NU memiliki akar panjang dalam dinamika global. Perspektif inilah yang perlu dimunculkan, bahwa fondasi gagasan dan aksi Nahdlatul Ulama, beresonansi di level internasional.
Kita melihat, dalam historiografi Islam Indonesia, peran untuk menjadikan NU berdampak di level global diteruskan oleh Kiai Wahid Hasyim, Kiai Abdurrahman Wahid, Kiai Hasyim Muzadi dan kini Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj dan KH. Yahya C Staquf. Belakangan, Kiai Said terlibat secara intensif dalam dialog dengan para imam dan syaikh lintas negara, khususnya membangun perdamaian di Timur Tengah. Gus Yahya C Staquf juga pernah memberi ceramah di Jerusalem pada Juni 2018 lalu, atas undangan American Jewish Committee (AJC). Gus Yahya juga melakukan Vatikan dan Roma, dan beberapa kota di Eropa dan Amerika untuk mengkampanyekan Islam yang ramah, Islam yang humanis.
Islam Indonesia dan Soft Power
Kontestasi global saat ini membuka ruang bahwa agama menjadi ‘soft power’. Politik luar negeri Amerika Serikat dengan jelas menjadikan agama sebagai isu penting dalam relasi internasional, sekaligus berpengaruh dalam strategi mendekati negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Turkey. Peter Mandaville & Shadi Hamid (2018) menyebut Islam as statecraft, dalam konteks bagaimana negara menggunakan kekuatan dari simbol dan otoritas agama dalam diplomasi global.
Kepentingan besar Amerika Serikat khususnya di Israel dan kawasan Timur Tengah, menjadi landasan utama betapa politik luar negeri tidak hanya dalam pendekatan militer dan ekonomi semata, tapi juga menggunakan agama sebagai kekuatan sekaligus komoditas. Negara-negara semacam Iran, Turkey, Arab Saudi dan negara-negara lain di Timur Tengah juga menjadikan isu agama menjadi hal penting dalam politik luar negeri mereka.
Ketika wajah Islam secara global cenderung penuh dengan gambaran kekerasan dan teror, maka perlu ada alternatif untuk menyegarkan. Harus ada strategi untuk mengkampanyekan nilai-nilai Islam yang ramah dan penuh cinta kasih di level global. Pengalaman Islam Indonesia dalam mendamaikan nilai agama dan demokrasi menjadi catatan penting, yang bisa ditransformasikan di ranah internasional.
Maka, menjadikan Islam Indonesia sebagai soft power yang menguatkan diplomasi global dari pemerintah Indonesia merupakan strategi penting. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama telah berkiprah dalam pelbagai inisiasi perdamaian di level internasional, yang juga berkolaborasi dengan kekuatan pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri. NU berkiprah dalam mediasi perdamaian di Afghanistan, serta memiliki konsern besar dalam perdamaian Israel-Palestina dan Uighur di Xinjiang, China. Muhammadiyah terlibat dalam upaya perdamaian di Moro, Filiphina, juga beberapa inisiasi lain yang skalanya lintas negara.
Science Diplomacy
Peran besar dari ormas-ormas Islam Indonesia dalam upaya perdamaian di level internasional, ini menguatkan strategi second track diplomacy (jalur kedua diplomasi). Pola kolaborasi antar pemerintah dan ormas dalam inisiasi perdamaian internasional, akan menguatkan posisi Indonesia di level global. Kita tidak hanya sebagai penonton, tapi juga menjadi aktor dalam upaya-upaya perdamaian yang memang tidak mudah, penuh kelok, hingga membutuhkan waktu tidak sebentar.
Selain diplomasi perdamaian, ada trek lain yang penting dikolaborasikan bersama, yakni dalam penguatan diplomasi sains (science diplomacy). Apalagi di tengah pandemi, setiap negara membutuhkan strategi jitu dalam pengelolaan kebencanaan, dengan dukungan saintis serta para ahli di pelbagai bidang.
Dalam konteks ini, Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama United Kingdom telah membangun kerjasama dengan KBRI London, UKICIS (United Kingdom-Indonesia Consortium for Interdiciplinary Sciences) dan PPI UK untuk penguatan program diplomasi sains. UKICIS juga telah membangun kerjasama antar kampus di Indonesia dan UK, dalam konteks menjembatani kolaborasi antar peneliti sekaligus juga menyiapkan kerjasama riset untuk waktu mendatang.
Nahdlatul Ulama dan juga Muhammadiyah punya ribuan kader yang saat ini sedang berproses di pelbagai negara. Sebagian dari mereka menjadi professor, peneliti, konsultan perusahaan internasional, sekaligus juga menempuh pendidikan tinggi di kampus-kampus internasional. Mereka punya kepedulian besar untuk membantu Indonesia dengan keahlian masing-masing. Para diaspora santri itu tidak hanya menguasai kajian agama, namun juga menjadi ahli di beberapa bidang spesifik semisal Artificial Intelligence, data science, supply chain, robotika, fintech, hingga energi terbarukan. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah bisa mendorong kader-kadernya untuk menguatkan program diplomasi sains, yang pada muaranya untuk kemaslahatan publik (maslahah ‘ammah).
Maka, perlu memanggil para diaspora santri itu, membuka ruang dan mengawal mereka agar ikut serta membentuk wajah Indonesia masa depan. Apalagi, prioritas riset nasional telah digariskan pemerintah untuk berbenah menuju Indonesia 2045.[]