“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu secara tiba-tiba begitu saja, tetapi Allah mencabut ilmu melalui diwafatkannya para ulama,” itulah bunyi hadis yang pernah saya hafal Ketika sedang nyantri dahulu. Tanda dicabutnya ilmu pengetahuan itu kini semakin membuat hati kita sedih dan menangis.
Dalam waktu yang relatif tidak lama, banyak ulama-ulama kita dipanggil mengahadap keharibaan Allah Swt. Ratusan ulama yang mengabdikan ilmunya di pesantren-pesantren kini telah meninggal kita semua. Yang masih segar dalam ingatan kita adalah bahwa KH. Atabik Ali Maksum, baru saja meninggalkan kita semua, menyusul ulama-ulama lainnya.
Kepergian KH. Atabik Ali Maksum, menurut saya, telah meninggalkan “duka” dalam kancah dunia perkamusan (leksikografi), khususnya di Indonesia dan dunia Islam. Seperti yang kita ketahui, KH. Atabik Ali Maksum salah satu sosok alim dari pesantren yang mendedikasikan dirinya untuk dunia perkamusan, setelah Kiai Warson. Kamus Al-Ashri adalah bukti nyata beliau atas dedikasinya itu. Kamus Al-Ashri bisa dibilang merupakan cermin keluasan dan kealiman intelektualitas KH. Atabik Ali Maksum. Kamus itu juga menjadi kontribusi yang paling nyata dari beliau dalam kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan keislaman.
***
Dalam sejarah ilmu pengetahuan Islam, pengetahuan tentang kamus bisa dibilang menjadi pintu awal yang membuka lahirnya ilmu pengetahuan keislaman yang lain. Hal itu karena, karena kamus merupakan kumpulan kosakata yang di dalamnya mengandung berbagai makna. Melalui makna satu kosakata yang ditunjukkan dalam suatu kamus, seseorang dapat memahami bahasa.
Bahasa adalah kunci segala-segalanya bagi kehidupan manusia. Melalui bahasa manusia mengungkapkan pikiran, gagasan, perasaan, dan emosinya kepada orang lain. Tanpa Bahasa mungkin dunia ini tidak ada artinya apa-apa. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Martin Heiddeger, language is house of being. Dengan bahasa manusia menjadi ada. Atau mungkin seperti yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an, bahwa ketika Allah menurunkan Adam ke muka bumi, Allah mengajarinya dengan nama-nama (baca: Bahasa). Begitulah, bahasa menjadi eksistensi keberadaan manusia, dan dari situ kemudian menjadi pintu bagi lahirnya ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, dalam dunia perkembangan intelektual Islam awal lahirnya kamus menjadi tanda bangkitnya keilmuan. Coba saja kita lihat Kitab al-Ayn yang ditulis oleh Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi. Sebuah kamus pertama yang didalamnya kosakata ditulusi berdasarkan urutan makhraj huruf. Dalam kamus ini, makna kosakkata ditopang dengan penjelasan ayat Al-Qur’an, hadis nabi, puisi, dan kalam fasih Arab.
Atau dalam generasi setelah Kitab al-Ayn dapat disebutkan di sini, kamus Lisanul Arab yang ditulis oleh Ibni Mandzur yang ditulis tahun 690 H. Jumlah kosakata dalam kamus ini bahkan jauh lebih banyak dan kaya jika dibandingkan dengan kamus-kamus Arab yang ditulis sebelumnya. Dalam kamus ini, makna kosakata dijelaskan melalui berbagai syawahid yang tidak saja diambil dari Al-Qur’an, hadis, puisi, dan kalam fasih Arab, tetapi juga pandangan ahli kebahasaan Arab.
Kitab al-Ayn dan Lisan al-Arab adalah sekedar contoh dari perkembangan ilmu perkamusan dalam dunia Islam. Perkembangan kamus ini mencerminkan bahwa makna suatu kosakata selalu mengalami perkembangan. Maka, untuk mendapatkan makna yang benar tentang satu kata, dibutuhkan informasi tentang makna dan perkembangannya. Dan untuk mendapatkan informasi makna sari satu kosakata, maka kamus adalah tempat rujukannya.
Kamus menyuguhkan pengertian tentang suatu kosakata dalam waktu tertentu dan sekaligus sejarah tentang perkembangan makna (dalalah) dari satu waktu ke waktu. Dalam dunia Islam, keberadaan kamus menjadi sangat penting dalam konteks mengkaji dan menggali pemahaman keislaman yang bersumber pada Al-Qur’an, hadis nabi, atsar, dan karya-karya ulama terdahulu.
***
Kamus Al-Ashri yang ditulis oleh KH. Atabik Ali Maksum (Allahu yarham) telah menjadi babak baru dalam perkembangan ilmu perkamusan modern di Indonesia khususnya, dan dunia Islam pada umumnya. Kamus ini memuat ribuan kosakata. Tidak saja memuat makna klasik dari suatu kosakata, tetapi juga makna modern dari kosakata yang sekarang ini sedang berkembang dalam praktik berbahasa Arab modern. Nama Al-Ashri yang artinya kontemporer, mencerminkan kekhasan dari kamus yang ditulis oleh KH. Atabik Ali Maksum.
Kekayaan kosakata yang ditulis dalam kamus Al-Ashri sulit ditemukan dalam kamus-kamus yang ditulis sezaman dengannya. Kekayaan kosakata ini dapat memberikan petunjuk bagi para pengkaji kitab-kitab keagamaan Islam berbahasa Arab modern atau kitab-kitab turats keagamaan Islam yang berbahan kertas putih. Apalagi kamus ini sudah ditulis dalam tiga Bahasa, Arab, Indonesia dan Inggris.
Dari segi metode penyajian kosakata, kamus Al-Ashri lebih bersifat praktis. Kosakata tidak disajikan berdasarkan kata dasar (fi’il), tetapi berdasarkan urutan huruf tanpa mempertimbangkan bentuk (shighat) kosakatanya. Sehingga pengguna lebih mudah melacak makna kosakata tanpa mencari terlebih dahulu akar kata dasarnya. Metode penyajian kosakata seperti inilah yang membedakan antara kamus Al-Ahsri dengan kamus Al-Munawwir yang di tulis oleh KH. Ahmad Warson Munawwir.
Kini, KH. Atabik Ali Maksum, telah meninggalkan kita selama-lamanya. Kamus Al-Ashri yang telah ditinggalkan kepada kita menjadi cermin dari kemajuan literasi dalam dunia pesantren di era modern. Seperti namanya Al-Ashri (Modern), kamus itu seolah meninggalkan pesan kepada kita bahwa pesantren dan santri tidak akan pernah dapat dipisahkan dari dunia literasi tulis-menulis karena literasi merupakan salah satu strategi untuk memelihara dan mengembangkan khazanah keilmuan Islam dalam menjawab tantangan zaman. Sugeng tindak KH. Atabik Ali Maksum, sang Bapak Kamus Arab Modern dari Indonesia.