Istilah Islam Nusantara beberapa waktu ini sempat menimbulkan kehebohan di tengah masyarakat Indonesia. Beberapa kalangan masyarakat banyak yang mengemukakan pendapatnya tentang Islam Nusantara. Ada yang berpendapat bahwa Islam Nusantara adalah agama yang berkembang di Indonesia dalam kultur budaya dan itu hal yang wajar. Ada pula yang berpendapat bahwa islam hanyalah satu dan tidak ada istilah Islam Nusantara.
Jadi, apakah yang dimaksud Islam Nusantara? Pertanyaan ini mengawali diskusi webinar bertajuk Islam Nusantara: Perspektif-Filosofis-Historis Kritis yang diselenggarakan oleh Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia bekerja sama dengan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, Minggu (20/6/2021) sore. Para peserta diskusi yang hadir sekitar 236 peserta.
Pada diskusi bertajuk Islam Nusantara: Perspektif-Filosofis-Historis Kritis pantia menghadirkan sejumlah narasumber, antara lain Direktur Program Studi Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Dr. St. Sunardi, Dosen Senior FIN UNUSIA, ahli Tasawuf dan Filsafat Islam KH. Ulil Abshar-Abdalla, MA, dan Dekan Fakultas Islam Nusantara UNUSIA Dr. Ahmad Suaedy, MA.Hum.
Diskusi webinar bertajuk Islam Nusantara: Perspektif-Filosofis-Historis Kritis diawali dengan sambutan Dekan Fakultas Islam Nusantara UNUSIA Dr. Ahmad Suaedy, MA.Hum dan Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI Prof. Dr. Suyitno, M. Ag.
Prof Suyitno mengatakan bahwa perguruan tinggi menjadi tempat yang strategis untuk mengangkat isu-isu kekinian, persoalan-persoalan di luar sana yang bersifat akademis, salah satunya isu mengenai Islam Nusantara. Isu Islam Nusantara bukanlah isu yang baru, isu tersebut sudah lama berkembang bahkan sejak Islam dibawa oleh para wali terdahulu. Isu Islam Nusantara kini kembali berkembang karena kini zamannya era reformasi. Era di mana semua masyarakat bebas mengemukakan pendapatnya dengan berbagai pengetahuan yang dimilikinya. Terkadang beberapa kalangan ada yang berpendapat mengenai isu ini dengan pengetahuan yang luas dan baik, adapun yang berpendapat hanya sekadar berbicara yang ranahnya bukanlah pembicaraan akademis/keilmuan melainkan politik. Oleh karena itu, diskusi ini mengajak masyarakat berpikir bahwa isu Islam Nusantara ini tidaklah dilihat dari sudut pandang politik, melainkan keilmuan karena ketika berbicara mengenai Islam Nusantara, perlu melihat dari sejarah munculnya islam di Indonesia dan islam dalam bingkai kearifan lokal yang ada di Indonesia.
Menurut Dr. Suaedy, sejarah bahwa Islam Nusantara selama ini hanyalah dibahas dari sudut pandang politik dan artifisial saja. Isu Nusantara harusnya bisa dipandang dari berbagai sudut pandang, baik dari segi konteks, keilmuan, filosofis, antropologi, historis, sosial kritis, tidak hanya dari sudut pandang politik saja. tidak hanya Islam saja yang sudah memasuki wacana politik, namun agama-agama lainnya dari berbagai negara sudah memasuki wacana politik. Ada empat hal yang menjadi isu agama saat ini.
Pertama, Raising Public Religion, munculnya konflik agama, rasisme, radikalisme yang sering terjadi di Amerika, Eropa. India, Myanmar, dan Israel. Radikalisme keagamaan bukanlah tantangan yang paling mendasar melainkan ada sebab-sebab mendasar yang perlu dirumuskan.
Kedua, munculnya keseimbangan baru dunia, menguatnya tradisi Timur. Mulai dari India hingga Asia Tenggara yang mulai menguatnya Islam Nusantara karena kuatnya sumbangan-sumbangan tradisi yang memberikan solusi dan perdamaian atas permasalahan yang muncul terkait isu keagamaan.
Ketiga, kondisi disrupsi atau berkembangnya teknologi informasi yang memberikan pengaruh terhadap tatanan dunia yang kacau atau fitnatul kubra, siapa yang menguasai teknologi, sosial media, maka itulah yang menang. Hal ini merupakan tantangan umum yang dihadapi oleh dunia.
Islam Nusantara bukanlah tentang masa lalu, tetapi masa depan yang harus dibangun berdasarkan histori dan filososfis, bukanlah dibangun berdasarkan politik. Islam Nusantara dibangun berdasarkan ijtihad yang dilatarbelakangi konsep agama itu sendiri, konteks histori dalam keindonesiaan. Secara historis fenomena masuknya elemen-elemen agama ke dalam ranah publik dan negara, bukanlah islamisasi melainkan revitalisasi tradisi Nusantara sebagai perlawanan terhadap sekulerisasi XXX.
Sementara Dr. St. Sunardi membahas wacana Islam Nusantara dari sudut pandang filosofis mengatakan, munculnya wacana Islam Nusantara menurut pengantar Muktamar NU ke 33 sangat luar biasa secara politis. Jadi spirit yang dibawa oleh Islam Nusantara untuk memberikan kelegaan terhadap masyarakat Indonesia, terutama dalam menghadapi cara beragama yang radikal, bagaimana masyarakat harus beragama secara harmoni dengan agama lainnya. Kedua, Islam Nusantara harusnya mengajar kita memasuki perdebatan yang lebih menarik mengenai keislaman. Sebenarnya wacana Islam Nusantara itu bedanya apa dengan islam-islam sebelumnya. Islam Nusantara mereduplikasi kajian-kajian budaya lokal.
Ada empat kemungkinan Islam Nusantara dijalankan. Hanya dipakai untuk memerintah, wacana politis. Hal ini bisa terjadi jika wacana ini dipegang oleh penguasa. Kedua, Islam Nusantara dapat digunakan untuk mengajar yang dikembalikan kepada orang-orang yang telah mendalami Islam Nusantara. Ketiga, Islam Nusantara untuk menggugat, dan keempat, Islam Nusantara untuk menginterogasi. Jadi yang dimaksud dengan menginterogasi, bagaimana kita menggunakan wacana Islam Nusantara untuk memulihkan cara berkeislaman yang saat ini dianggap tidak sesuai dengan berkeislaman pada umumnya.
Islam Nusantara merupakan jejak-jejak kisah kultural, sosial yang menunjukkan Islam itu melakukan lintasan. Islam Nusantara melintas karena ingin menemui liyan. Kemudian Islam Nusantara sebagai peristiwa pengalaman melintas dengan berbagai jejak yang berbeda-beda di mana pengalaman melintas ini untuk bisa mengenali liyan. Islam Nusantara awalnya dianggap hendak melintas untuk menemui liyan kemudian di tahap berikutnya dianggap sebagai ancaman yang kemudian menjadi harapan
Wacana Islam Nusantara, menegaskan bagaimana kita beragama, spirit Islam dikaitkan dengan kondisi saat ini di mana salah satu keberhasilan adalah memprotes atau memulihkan cara berkeislaman yang saat ini diterapkan dan tidak hanya sebatas melihat masa lalu. Perlu dikaji ulang dan bagaimana kita mengimplementasikan dalam kehidupan saat ini. Dr. Sunardi mengutip Antonio Gramsci, seorang filsuf Italia, bahwa masyarakat sipil adalah suatu hati negara. Jadi Islam Nusantara adalah suara hati Indonesia.
Gus Ulil mengatakan bahwa Islam Nusantara terbagi menjadi dua level. Pertama, Islam Normatif ideologis. Kedua level analitis. Wacana Islam Nusantara Harus dibedakan karena cara kerjanya berbeda. Islam Nusantara pertama kali lahir di Muktamar NU di Jombang tahun 2015 sebagai suatu norma atau ideologi karena ini merupakan suatu gagasan yang menjadi respon terhadap keadaan yang saat ini menjadi isu di dunia misalnya radikalisme, rasisme.
Jadi ini adalah jawaban yang ditawarkan oleh NU, Islam Nusantara menjadi suatu wacana yang menjadi bagian dari pertarungan wacana. Di Indonesia banyak terjadi berbagai wacana Islam, Islam Nusantara bersaing terhadap wacana islam lainnya untuk mendapatkan pengaruh di publik.
Kedua, Islam Nusantara muncul karena selama ini praktik islam yang berkembang di Nusantara dianggap lebih rendah. Contohnya sampai saat ini di dunia akademis di Arab tidak ada pusat kajian mengenai Islam di Nusantara, walaupun ada hanya sedikit. Padahal jumlah umat Islam di Indonesia sangat banyak dan memiliki peran yang cukup penting. Kita mempunyai pehatian besar terhadap peradaban dunia tapi tidak ada timbal balik dari negara-negara Islam di Timur Tengah khususnya. Berbeda dengan kajian Islam di beberapa negara Eropa yang sangat berkembang.
Hadirnya wacana Islam Nusantara memiliki kedudukan penting dari aspek penegasan “agency,” kemandirian umat Islam yang hidup di luar “ruang pengalaman” non-Arab untuk mendefinisikan keislaman mereka sendiri. Selama ini, pengalaman semacam ini cenderung dinihilkan, atau diremehkan. Kesadaran tentang identitas Islam yang khas Indonesia (atau Asia Tenggara) adalah semacam manifesto: bahwa ada lho corak Islam yang lain. Dan yang lebih penting lagi adalah kesadaran bahwa corak Islam yang demikian itu juga tidak kalah validnya dengan corak Islam di negeri asalnya sendiri.
Munculnya penolakan keras atas apa yang disebut ideologi Islam transnasional yang digaungkan oleh intelektual nahdliyyin dan lain-lain dalam sepuluh tahun terakhir, bagi saya, adalah ungkapan saja dari sebuah aspirasi: bahwa Islam yang berasal dari pengalaman pribumi, setempat adalah valid, sah.
Menarik garis demarkasi yang terlalu tegas antara “Islam domestik” dan “Islam impor” sebagaimana kita baca dalam seloroh-seloroh populer, harus dipandang dengan sikap kritis. Mula-mula garis ini dibuat dengan niat yang boleh jadi valid: untuk menegaskan validitas identitas Islam lokal. Tetapi jika penggarisan ini melewati batas, lalu menimbulkan sentimen negatif untuk melakukan “demonisasi,” penghantuan atas segala hal yang berasal dari “luar” (Islam atau agama impor, misalnya), jelas berbahaya.
Bagaimanapun, Islam, baik sebagai doktrin atau peradaban, tidak bisa dipisahkan dari pengalaman panjang yang berkembang di tanah Arab dan sekitarnya. Peradaban literer atau susastra dalam bentuknya yang luas, termasuk buku-buku fikih yang banyak diajarkan di lembaga-lembaga Islam di seluruh tanah nusantara, berasal dari dan ditulis oleh sarjana-sarjana besar dari Arab (juga Persia). Suka atau tidak suka, apa yang disebut “lapisan-lapisan geologis” (meminjam istilah sejarawan besar Perancis, Denys Lombard) dalam peradaban nusantara untuk sebagian dibentuk oleh peradaban tekstual yang berasal dari tanah Arab. Peradaban nusantara adalah sebuah kosmopolis yang terikat dengan sejumlah kosmopolis lain di berbagai belahan lain dalam dunia Islam.
Tradisi tekstual yang berasal dari Timur Tengah ini telah memfasilitasi munculnya arabic cosmopolis di mana kawasan nusantara menjadi salah unit penting di dalamnya. Tradisi yang berasal dari Timur Tengah itu juga telah memperkaya tekstur peradaban di tanah nusantara.
Identitas Islam setempat patut disambut dengan baik. Tetapi penegasan identitas yang dibarengi dengan sikap anti-Arab jelas tidak sehat. Seluruh percakapan dan argumentasi keislaman yang dipakai dalam menjustifikasi hadirnya Islam lokal ini memakai kitab-kitab dan literatur yang berasal dari peradaban Islam yang berkembang di Timur Tengah.