Pemerintah kolonial Belanda pernah melarang hukum adat berupa pemenggalan kepala (pancung) bagi suku Dayak di Kalimantan, bagi seseorang yang melakukan pelanggaran adat. Menurut pihak kolonial, hukuman mati dalam bentuk pemenggalan kepala dianggap tidak humanis dalam peradaban masyarakat Belanda (Eropa). Karenanya, harus dihapus dan ditiadakan. Sebagian negeri-negeri Eropa juga telah meniadakan hukuman gantung, serta menggantinya dengan hukum tembak bagi para penjahat yang akan dieksekusi mati, khususnya setelah mereka bangkit dari puing-puing abad kegelapan (aufklaerung).
Di era sahabat Nabi, tentara-tentara Yazid bin Muawiyah dari Bani Umayah, pernah melakukan hukum pancung dalam suatu pertempuran tak seimbang di Padang Karbala. Sasaran utamanya adalah cucu Rasulullah (Husein) yang diperlakukan sewenang-wenang tanpa proses pengadilan. Dalam hal ini tentara, sebagai kelompok (organisasi) bersenjata, dalam sepanjang sejarah biasanya cukup lihai memelintir kebenaran, bahkan membangun imajinasi publik agar masyarakat awam terpancing pada kebencian dan kedengkian.
Mereka gemar memanfaatkan rakyat awam yang tak berpendidikan, sebagai ajang komoditas politik. Mereka akan mudah dijadikan target sasaran yang menggiurkan, hingga mudah pula terprovokasi oleh permusuhan yang membabi-buta. Terkait dengan ini, Rasulullah pernah memperingatkan kita agar jangan terlampau mencintai seseorang (sesuatu) secara berlebihan, juga jangan membenci secara berlebihan. Karena boleh jadi, suatu saat nanti orang yang kita benci itu berubah menjadi pihak yang kita cintai. Apa-apa yang kita benci boleh jadi merupakan sesuatu yang dicintai di mata Allah, begitu pula sebaliknya.
Manusia tidak banyak tahu, dan pandangan kasatmata (eksistensi) kadangkala bertolak-belakang dengan yang asli (esensi). Bahkan, apa yang kita anggap benar hari ini, boleh jadi esok lusa berubah menjadi sesuatu yang kita anggap salah atau keliru. Begitulah sifat dan tabiat manusia yang serba terbatas. Kita diperintahkan untuk bertawakkal dan berpasrah pada ketentuan Allah, setelah berikhtiar seoptimal mungkin. Apa pun yang terjadi, setelah berpasrah-diri, itulah yang terbaik dalam pandangan dan penilaian Allah Swt.
Dalam suatu sengketa atas kepemilikan baju perang, Ali bin Abi Thalib pernah dikalahkan atas tuntutannya kepada seorang Yahudi (dzimmi) di muka meja hijau. Bagi Ali, itu adalah hukum duniawi. Dan seberapa keras pun kita berikhtiar untuk memenangkan perkara, pada akhirnya manusia dibatasi oleh pandangan indera yang bersifat kasatmata. Jika saksinya adalah Hasan dan Husein, maka hukum Islam tidak membenarkan adanya pembelaan saksi anak atas tuntutan orang tuanya, begitu pun pembelaan orang tua atas tuntutan seorang anak.
“Tidak ada hukum selain hukum Allah,” demikian pandangan kaum Khawarij yang menganggap Ali sebagai figur pemimpin yang lemah dan gampang berkompromi. Namun, bukan di situ duduk persoalannya. Jika kita menuruti hawa nafsu untuk memenangkan suatu perkara, berarti sikap kita berseberangan dengan ajaran dan nilai-nilai Islam.
Bukankah Allah menegaskan, bahwa kebencian kita kepada suatu kaum, tidak boleh membuat kita berlaku semena-mena terhadap kaum tersebut?
Saydina Ali tidak merasa takut dengan caci-maki manusia sebagai makhluk Tuhan. Yang dia takuti justru ketika langkah hidupnya, maupun keputusan politiknya tidak diridhoi oleh Allah Swt. Biarlah Ali tidak lagi memiliki benda berharga yang amat dicintainya, bahkan ia pun siap untuk hidup dalam keterbatasan maupun kemiskinan. Namun, yang dia takuti justru ketika kekuasaan dan kekayaan yang digenggam tidak membawa keberkahan yang diridhoi Allah Swt.
Bagi Saydina Ali, jika seseorang merasa cukup, niscaya Allah akan memberi kecukupan kepada hamba-Nya. Dan jika seseorang berusaha untuk bersabar, niscaya hidup dalam kesabaran dan kelapangan hati, akan menjadi anugerah terbesar yang diberikan Allah kepada hamba-hamba yang dicintai-Nya.
Untuk mengantisipasi dekadensi moral kaum penguasa, khususnya setelah pembunuhan atas diri Khalifah Utsman bin Affan, Saydina Ali memilih mengalah dan mundur selangkah. Ia membiarkan Muawiyah mengambil-alih kekuasaan, setelah adanya putusan arbitrase yang digelar di hadapan rakyat mayoritas.
Dalam konteksnya dengan situasi politik Indonesia, nampak relevan dengan peristiwa penggulingan bapak bangsa Soekarno, oleh kekuasaan militerisme Orde Baru pasca tahun 1965. Tipikal kepemimpinan Soekarno berbanding lurus dengan Saydina Ali yang memilih persatuan dan kesatuan di atas segala-galanya. Soekarno bukanlah pemimpin dan negarawan yang layak digulingkan. Ia bukan saja sebagai bapak bangsa, namun sangat concern pada nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Ia sangat gigih memperjuangkan kemerdekaan bangsa-bangsa, khususnya di wilayah Asia-Afrika.
Kalaupun perlawanan terhadap pelaku makar dimungkinkan, bahkan kemenangan dapat dipastikan, Soekarno tidak menghendaki adanya korban-korban yang diakibatkan pertumpahan darah antar sesama saudara, sebangsa dan setanah air.
Demikian halnya dengan Saydina Ali, sampai dirinya menjadi korban dari anarkisme kaum Khawarij, setelah Abdurrahman bin Muljam membunuhnya di pagi hari menjelang subuh dan fajar tiba. Dalam keadaan terbaring sebelum wafatnya, Saydina Ali tetap menghendaki adanya kerukunan, bahkan menolak untuk membalas dendam: “Tidak sama orang mencari kebenaran walaupun belum dicapainya, ketimbang mereka yang mencari-cari kesalahan, walaupun sudah berhasil diperolehnya.”
Dulu, ketika kekhalifahan berada di tangannya, menantu Rasulullah itu juga pernah memperingatkan Gubernur Mesir yang saat itu dijabat oleh Malik bin Harits Al-Asytar (655 M). Ali mengirim selembar surat, yang isinya tetap valid dalam konteks kepemimpinan saat ini, bahkan untuk para politisi dan penguasa Indonesia sekalipun: “Wahai Malik, saat ini kau menjabat Gubernur pada suatu negeri (Mesir) yang dalam sejarahnya telah berganti-ganti kekuasaan selama berabad-abad, baik pemerintahan yang baik maupun yang buruk. Saat ini, setiap gerak-gerikmu akan diperhatikan rakyat banyak, sebagaimana kamu juga pernah memerhatikan pemerintah sebelummu. Rakyat akan mengawasimu dengan cermat dan teliti, sebagaimana kamu juga pernah mengawasi pemerintah sebelummu dengan cermat juga.”
Selanjutnya, terkandung pesan dan saran Saydina Ali yang bersifat universal, bahwa sejarah telah mencatat bagaimanakah tipikal pemimpin baik berikut kesudahannya yang dapat mengukir tinta emas. Lalu, macam apakah pemimpin buruk, dan bagaimanakah nasib kesudahannya.
Semuanya itu akibat dari pilihan-pilihan tentang kebijakan yang dibuatnya, apakah sang pemimpin mampu berkomunikasi dan terhubung dengan keadilan rakyat dan kebesaran Tuhan. Ataukah, dia hanya mementingkan citra-diri agar dipandang mulia oleh kelompoknya, dengan mengesampingkan kemuliaannya di mata Tuhan?
Apakah sang pemimpin ikhlas dan tulus untuk berjuang memerdekakan jiwa, mencerdaskan dan mendewasakan rakyatnya? Ataukah tetap bersikukuh menjadikan kebodohan dan ketakutan sebagai komoditas politik semata?
Bandingkan keteladanan Saydina Ali dengan kekuasaan Bani Umayah pasca kepemimpinan Ali. Mereka lebih sibuk mementingkan urusan duniawi, seakan kembali ke era kerajaan-kerajaan masa silam sebelum era kedatangan Islam. Bandingkan pula dengan kekuasaan militerisme Orde Baru pasca kejatuhan Soekarno dan para sahabatnya, selaku bapak-bapak bangsa negeri ini.
Mengapa kebanyakan politisi dan penguasa selalu enggan untuk belajar dari sejarah? Mengapa mereka tidak perhatikan, bahwa setiap kekuasaan yang diraih dengan kecurangan dan ketidakadilan, kelak akan berjalan dengan segala pertentangan yang tak berkesudahan? Bukankah setiap penguasa tidak menghendaki kekuasaannya berakhir dengan kekacauan (su’ul khatimah)? Bukankah tiap-tiap individu menghendaki ending hidupnya secara husnul khatimah?
Ya, nampaknya kita telah banyak belajar dari sejarah, bahwa para politisi dan penguasa dari zaman ke zaman, selalu saja “gagal paham” dalam memaknai sejarah. []