Belakangan ini, di beberapa wilayah di Madura, peminat dari tradisi ghabay (Walimatul urs) kian dominan. Saya mengamati di Sumenep sendiri, ghabay telah menjadi tradisi yang dielu-elukan masyarakat. Masyarakat di beberapa desa bahkan berlomba-lomba untuk menyelenggarakan pesta pernikahan, yang sebenarnya sudah ada sejak masa Rasul ini.
Sekilas memang terlihat menarik dan terkesan baik. Ghabay bisa dikatakan menjadi manifestasi dari rasa syukur atas terlaksananya pernikahan dua mempelai, yang belakangan ini maknanya sudah makin general. Ghabay—sekarang—telah diistilahkan untuk beberapa perayaan lain, seperti; peminangan, nuzulul qur’an, dan lainnya. Meskipun, istilah ghabay sendiri tetap saja identik dengan istilah awal, pesta pernikahan.
Meski muasalnya bukan dari Madura asli, akulturasi yang ada dalam walimatul urs di Madura memiliki corak dan karakter yang berbeda. Sehingga bisa dikatakan, Madura memiliki walimatul urs dengan versinya sendiri. Barangkali sekilas terlihat sama, sama-sama pesta pernikahan, namun adat istiadat dan improvisasi yang ada di dalamnya yang membuatnya berbeda dari yang lain. Dan hal ini juga yang akan diulas dalam tulisan ini.
Di satu sisi, ghabay memiliki sisi positif. Selain sebagai ungkapan rasa syukur, ghabay juga menjadi citra solidaritas orang Madura yang dikenal dengan song-osong lombhung-nya (tolong menolong). Dan seharusnya, dua nilai inilah (rasa syukur dan solidaritas) yang diketakkan sebagai esensi utama dari perayaan tersebut. Namun, nyatanya, nilai ghabay saat ini mengalami kemerosotan. Orang-orang—bahkan masyarakat Madura sendiri—banyak yang gagal paham dengan arti ghabay yang sebenarnya.
Perayaan pernikahan awalnya memang sudah diperkenalkan sejak masa kenabian. Dulu beberapa sahabat, sebut saja Zainab binti Jahsy, Abdurrahman bin Auf, sampai Sufiyah Radiyallahu Anha (RA) telah lebih dulu merayakannya.
Dalam kitab Kifayatul Akhyar, halaman 69 juz 2, walimatul urs didefinisikan sebagai upacara untuk sebuah perkumpulan. Perkumpulan yang dimaksud adalah berkumpulnya para tamu undangan yang kemudian disuguhkan beberapa hidangan. Hingga kemudian makna itu menjadi lebih spesifik, yakni berkumpulnya dua mempelai yang sedang melangsungkan upacara pernikahan.
Dalam fashal (pembahasan) yang sama, Imam Syafii melemparkan sebuah argumen, yaitu;
الوليمة تقع على كل دعوة تتخذ لسرور حادث كنكاح او ختان اوغيرها
‘Walimah merupakan suatu penyampaian, seruan, atau panggilan atas suatu hal yang telah terjadi, seperti nikah atau khitan.’
Lalu, Imam Syafii pun menambahkan, dalam argumennya tersebut
والاشهر استعمالها عند الاطلاق في النكاح
Namun yang paling terkenal penggunannya adalah untuk pernikahan.
Jadi, menilik dari pendapatnya Imam Syafii ini, istilah walimatul urs (ghabay jika dalam istilah Madura) tersebut awalnya digunakan untuk upacara perkumpulan. Namun, kemudian penggunaan istiah tersebut lebih lumrah dan masyhur dengan upacara pernikahan.
Seolah Transaksional
Memang benar, pada awalnya, ghabay itu sekilas memiliki kesan dan nilai yang positif. Namun, lambat laun keberadaannya pun semakin mengkhawatirkan sebab mengalami dekadensi. Bahkan, ghabay di Madura (sekalipun menjadi kecenderungan), eksistensinya sering dikeluhkan.
Keberadaannya tersebut seakan menawarkan sebuah dualisme. Satu sisi—sebagaimana saya katakan di awal—memang menyuguhkan sisi positif. Namun, di sisi lain, ghabay juga menimbulkan madharat. Sebuah persoalan yang tentu tidak bisa dianggap remeh. Terlebih jika melihat Madura sebagai pulau yang menjunjung nilai pesantren.
Di beberapa wilayah di Madura misal. Saya contohkan seperti halnya di pulau Poteran. Salah satu pulau yang terletak di Kabupaten Sumenep ini masih kental dengan perayaan tersebut, mulai dari untuk perayaan tunangan sampai acara pernikahannya. Di pulau ini juga, kemerosotan tradisi tersebut bisa kita saksikan sendiri.
Meski menjelaskannya dengan agak samar, namun saya yakin, Kyai Dardiri Zubairi, dalam tulisannya bertajuk ‘Pulau di Simpang Jalan’ dalam bukunya Wajah Islam Madura sedang menarasikan pulau ini. Beliau menjelaskan mengenai sebuah pulau di Madura yang sudah hedon dan glamor. Bahkan ke-glamor-an itu bisa disaksikan dalam tradisi ghabay itu sendiri. Ghabay yang harusnya positif secara praktek, malah cenderung transaksional.
Ya, transaksional. Tetek bengek dari realitas tersebut adalah adanya tradisi tompangan yang ada di dalamnya. Tompangan sendiri memang menjadi salah satu unsur yang masih problematik. Namun, karena sudah menjadi tradisi mayoritas, hal problematis itu dianggap sebagai kebenaran.
Biasanya, orang-orang yang hadir dan diundang dalam ghabay akan membawa bawaan berupa uang atau barang, baik beras, gula, dan barang lain untuk mempelai dan keluarga. Namun nyatanya, barang yang dibawa itu tidak hanya semata-mata diperuntukkan untuk hadiah, melainkan fungsinya (tidak lebih) hanya seolah-olah sebagai hutang.
Di sini letak masalahnya. Di Madura sendiri, ini disebut sebagai tompangan. Tamu yang hadir dan membawa barang bawaan tersebut akan dicatat, nama dan bawaannya. Nanti, ketika tamu itu juga menggelar hajatan atau walimah, barang yang tadinya dibawa akan dikembalikan, transaksional memang.
Banyak masyarakat—meski tidak semuanya—mengeluh dengan realitas demikian. Bahkan berdasarkan penuturan, tradisi semacam itu hanya menciptakan utang yang menumpuk, bahkan jika boleh dibahasakan—tidak akan habis tujuh turunan.
Menilik Kembali Konsep Walimatul Urs
Walimatul Urs—secara hukum—masih kontradiktif. Ada sebagaian yang mengatakan hukumnya wajib. Namun sebagian yang lain mengatakan bahwa hukum dari Walimatul Urs hukumnya sunah.
Pendapat yang mengatakan wajib adalah berlandaskan kepada hadits Nabi SAW. Rasulullah SAW pernah bersabda kepada sahabat Abdurrahman bin Auf;
اولم ولو بشاة
Ber-walimah-lah meski hanya dengan seekor kambing
Hadits di atas diriwayatkan oleh dua Syekh, Imam Bukhari dan Imam Muslim. Sehingga jelas bahwa kedudukan hadits ini adalah shahih. Namun, pendapat yang mengatakan wajib dengan berlandaskan kepada hadits ini ini kemudian disanggah dengan hadits yang datang selanjutnya, yakni;
ليس في المال حق سوى الزكاة
Maka, pendapat yang paling benar adalah bahwa hukum menyelenggarakan walimatul urs adalah sunah muakkad (suah yang dikukuhkan). Maknanya, menyelenggarakan walimatul ursy itu bukan kewajiban, hanya saja ia dihukumi sunah muakkadah.
Untuk suguhan yang dipersembahkan juga tidak terlalu besar dan dilebih-lebihkan. Sesuai kemampuan dan ala kadarnya. Bahkan berdasarkan hadits sebelumnya (di atas), walimatul urs bisa diselenggarakan hanya dengan menggunakan suguhan seekor kambing, yang jika dinominalkan bisa hanya sejuta-an lebih, bahkan ada yang tidak sampai.
Hal itu dilakukan oleh Rasul (menggunakan seekor kambing) ketika merayakan pernikahan Zainab binti Jahsy. Bahkan dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa walimatul urs cukup dengan buah-buahan.
Realitas sekarang beda lagi, walimatul urs dijadikan ajang unjuk gigi, bahkan dengan pengeluaran di luar kemampuan. Masyarakat akan merasa gengsi terhadap tetangganya yang merayakan kalau tidak ikut merayakannya. Bahkan, stigmasi akan lahir jika ada salah satu dari mereka yang tidak merayakan, misal dalam pernikahan.
Jika sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, maka sah-sah saja merayakannya. Namun, beberapa dari mereka dengan ekonomi kelas menengah ke bawah juga ikut turut serta. Pada ujungnya, mereka terlilit utang-utang imbas dari ghabay yang mereka selenggarakan. Wallahu a’lam…