Masjid di bilangan Old Cairo yang selalu dan paling ramai sejak buka sampai tutup adalah Al-Azhar dan Masjid Sidnal Husein. Dua masjid ini berseberangan jalan saja. Saling berhadapan. Seolah menjaga keseimbangan syariat dan suluk. Al-Azhar dengan menjaga ilmu syar’iyah sedang Masjid Sidnal Husein menjadi poros tujuan para lelaku sufi. Baik ulamanya maupun awamnya.
Masjid Sidnal Husein kian menarik ketika posisinya di kawasan turis yang kendati masjid sudah tutup, pelataran dan tamannya tidak pernah sepi 24 jam sebab Khan Khalili, pasar bersejarah pusat oleh-oleh Mesir itu, berada di depannya. Cafe-cafe kesohor, Elfisyawi misalnya, di mana para sastrawan besar Mesir menulis karyanya di sana berjajar rapi di depannya. Hotel dan motel juga di sekitar situ.
Ketika kita dari arah jalan besar menuju masjid, pertama kali yang dilihat oleh mata adalah menara menjulang tinggi gaya Utsmaniyah. Sebuah menara dengan bentuk runcing seperti pena di atasnya seolah menunjukkan bahwa Utsmaniyah punya missi prioritas yaitu literasi!
Sejak puluhan tahun lalu, kegiatan seminar ilmiah yang dihelat oleh Menteri Agama Mesir yang biasanya di bulan Ramadan nyaris selalu di sini.
Masjid ini dulu bak madrasah. Para ulama akan sangat berbangga jika diizinkan mengajar di sini. Jika kita membaca biografi para ulama, khususnya sejak Abad 12 H, kita akan dapati para ulama besar yang mengajar di sini. Di antaranya adalah Syekh Sulaiman al-Jamal yang punya Hasyiah al-Jamal atas Fathul Wahhab dalam fikih syafii dan Hasyiah al-Jamal atas Tafsir al-Jalalain.
Di dekat sini pula Sultan Shalahuddin al-Ayubi mendirikan madrasahnya, sebagaimana ia mendirikan madrasah di dekat makam Imam Syafii di Qarrafah sana.
Para qari yang dipilih untuk bertugas tilawah di sini juga melewati ujian ketat. Di antara qari kesohor Mesir yang lolos ujian dan dipilih sebagai qari di Masjid Sidnal Husein adalah Syekh Mahmud Khalil al-Hushari. Tokoh yang suaranya selalu kita dengar di seantero Indonesia di ujung senja sebagai tanda waktu Maghrib akan tiba. Benar. Beliau yang menciptakan dan melantunkan shalawat tarhim itu. Ashshalaatu wassalaamu alaiiiiik ya Rasulallaaaaah…..
Ketika kita memasuki masjid ini, nuansanya akan berbeda ketika memasuki Al-Azhar. Masing-masing memiliki nilai magis yang khas. Di kanan kiri saat kita jalan dari pintu menuju makam terdapat orang dengan pakaian yang beragam membaca Alquran, salat, zikir atau belajar. Banyak juga yang jauh dari kampung hanya untuk ziarah. Bermalam di pelataran kalau masjid ditutup.
Ketika masuk, pastikan kamu tahu bahwa sebelah kanan makam itu adalah Hujrah Nabawiyah di mana banyak peninggalan dan segala hal yang bergubungan dengan Nabi di sana. Pintu Hujrah Nabawaiyah ini selalu dibaluri minyak wangi. Tak pernah kering. Agar diketahui supaya tidak hanya melewatinya.
Di bawah kubah makam, suasana ramai tapi khusyuk. Kita akan mendapati gaya peziarah yang berbeda dengan yang biasa kita lakukan atau saksikan di Nusantara.
Ada yang berdiri di tepi pagar makam dengan memegang erat pagar seolah ia mengadu kerinduan. Ada yang menyandarkan kepalanya di pagar dengan tangan mengepal di keningnya seolah ia sedang mengadu gundahnya. Ada yang berjajar bersandar di setiap tembok yang mengelilinginya dengan memtutar tasbih atau membaca Alquran. Ada juga yang serius menyenandungkan shalawat dengan begitu kencang dan nada yg khas seolah ia sedang di panggung. Yang lain menyahut di saat saat tertentu.
Bab al-Akhdhar
Kalau ke sini saya tidak pernah melupakan untuk ke Bab al-Akhdar. Di ujung sana ada tembok yang dipagari kaca bening. Ada semerbak harum dari sela lobang kecil di sana. Orang-orang berkata bahwa itu pintu memasukkan kepala mulia Sidnal Husein. Sayang sekali belakangan tempat sakral ini seringkali tutup. Dulu saat Kiai Said Aqil ziarah ke Sidnal Husein, beliau ke Bab al-Akhdar (pintu hijau) sini.
Pintu ini dulunya dikenal dengan Bab al-Husain (pintu Husein) sebagaimana termaktub dalam peta operasi penjajahan Prancis, kemudian dikenal dengan Bab al-Akhdar.
Kutipan Dr. Suad Maher mengatakan bahwa bagian paling lama dalam masjid dan makam ini adalah Bab al-Akhdhar. Tahun bangunannya bagian ini dikatakan sebagai bagian terlama, sebab dibangun di era Fathimiyah. Kalau era Fathimiyah itu artinya bangunan bagian ini dibangun bersamaan datanganya ra’su syarif atau kepala mulia Sidnal Husein ke Kairo.
Di atas kubah makam ada menara yang tidak tinggi gaya dinasti Ayubiyah yang didirian pada tahun 634 H sebagaimana tercatat dalam papan di menara.
Masjid dan Makam
Di antara yang menarik di Masjid Sidnal Husein ini adalah posisi makam di kiblat. Bukan di depan mihrab imam, tapi ke selatan sedikit. Jadi kalau shalat di bagian selatan sini kita persis menghadap makam.
Sebenarnya makam ini bukan bagian dari masjid. Ia terpisah dengan masjid, hanya saja saat bangunan masjid diperbarui kubah makam digandeng ke masjid. Begitu kata Ali Basya Mubarak dalam al-Khithath at-Taufiqiyah.
Makamnya lumayan luas. Di bagian ujung kiblat sana juga ada mihrab. Yang menarik ketika salat tarawih Ramadhan. Tarawih di masjid ini ada dua kelompok. Yang satu salat di masjid dengan delapan rakaat, dan yang lain salat 23 rakaat di dalam makam. Keduanya salat seolah di tempat yang saling berjauhan. Dengan pintu makam tertutup.
Sejarah masjid dan makam ini sudah sangat lama. Ia didirikan oleh ash-Shalih ath-Thalai’ era Khalifah Fathimitah al-Faiz Binashrillah tahun 549 H. Setiap masa, para penguasa Mesir menaruh perhatian besar pada masjid ini. Saking pengennya memugar dan membuat masjid ini kian megah, tahun 1282 H dirobohkan secara total kecuali kubah makam. Lalu dibangun dengan arsitektur yang megah nan tinggi. Sebagaimana menurut catatan Ali Mubarak.
Makamnya era Fatimiyah. Kubahnya era Ayubiyah dan masjidnya era Mamluk dan Ustmaniyah. Setiap penguasa punya andil dalam membangun.
Wibawa Sidnal Husein
Wibawa Sidnal Husein memang sangat terasa beda. Jika orang yang terbiasa sowan ulama yang sudah meninggal, akan terasa janggal sekali jika ziarah ke ahlul bait lain atau ulama lain di Kairo sebelum ziarah ke Sidnal Husein. Sebab ahlul bait di Mesir yang paling tua adalah Sidnal Husein. Seperti sangat tidak sopan jika ada guru sepuh belum disowani tapi sudah sowan ke guru yang masih muda atau yang jauh dari guru sepuh. Baik umur atau yang lain.
Jika sowan ke ahlub bait atau ulama saja kita bisa tidak karuan rasanya, apalagi di Sidnal Husein. Apalagi di Masjid Nabawi.
Tradisi baik pelajar Indonesia di Mesir ketika adik kelas datang, ia akan membawanya ke Sidnal Husein. Kulonuwun dulu. Saya juga mengenal teman, ia seorang muhibbin betul. Suatu ketika melalukan plesir ke Mesir. Esoknya setelah tiba langsung diajak ke luar Mesir untuk ziarah. Ia merasa tidak enak dan tidak sopan jika langsung ke luar Kairo. Langsung ke selain Sidnal Husein. Akhirnya ia malamnya ke Sidnal Husein. Meski sudah tutup. Ia kulonuwun sebelum esoknya beranjak menjauh dari Sidnal Husein.
Ibnu Katsir bertutur dalam Isytisyhadul Husein bahwa saat kemelut di Karbala. Tepatnya tahun 61 H saat seribu kavaleri dipimpin Al-Hurr bin Yazid at-Tamimi utusan Ibnu Ziyad untuk memapak Sidnal Husein di Karbala sebelum masuk Kufah. Kala itu Sidnal Husein dan rombongan sedang mengurus bekal minuman. Baik untuk rombongan atau untuk kendaraan hewannya. Saat seribu kavaleri itu datang, anak kedua Imam Ali bin Abu Thalib itu justru tenang dan sangat berwibawa dan meminta rombongan untuk tenang dan terus memberi minum hewan-hewan mereka termasuk kendaraan hewan-hewan “musuh”nya!
Ketika masuk salat zuhur, Hajjaj bin Masruq al-Ju’fi azan. Sidnal Husein keluar tenda dengan mengenakan pakaian berikut rida’ dan alas kaki. Kemudian khotbah. Siapa yang mendengarkan? Dua kelompok. Rombongan dan pasukan utusan Ibnu Ziyad dari Yazid bin Muawiyah yang kelak mereka memenggal kepalanya!
Setelah khotbah selesai saat hendak salat, beliau berkata pada pimpinan pasukan lawan,at-Tamimi, apakah hendak salat sendiri dengan rombongan, maka silahkan. At-Tamimi tidak bisa menjawab kecuali meminta seribu pasukan itu untuk shalat di belakang Sidnal Husein.
Ini tentu fenomena aneh dan ajaib. Pasukan yang melawannya justru malah menaruh hormat, dan meminta sosok yang akan dibunuhnya menjadi imam salat. Dan tidak hanya sekali, tapi nanti saat masuk Asar, mereka juga shalat berjamaah lagi.
Itu karena mereka tahu, bahwa yg dihadapi adalah cucu kinasih Rasulullah, alim dan zuhud yg luar biasa sehingga mereka juga tahu kalau mustahil jauh-jauh ke Baghdad demi kekuasaan urusan dunia!
Etika Ziarah
Di antara etika ziarah adalah melakukan atau membaca apa yang disukai oleh shahibul maqam. Qais bin al-Asy’ats meriwayatkan dalam pengakuan Sidnal Husein sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir dalam kitab yang sama, “Allah tahu kalau aku sangat suka salat, membaca Alquran, memperbanyak istighfar dan berdoa,”
Dari sini kita tahu apa yang harus kita lakukan atau baca saat ziarah. Memperbanyak shalat, membaca Alquran dan beristighfar kepada Allah.