Pemerintahan baru telah dilantik. Kabinet baru pun telah dibentuk. Beberapa bidang pengelolaannya diwadahi dalam institusi kementerian yang niatannya mencoba lebih fokus dalam pengelolaannya. Tidak terkecuali bidang kebudayaan, dengan dibentuknya Kementerian Kebudayaan dengan Menteri Fadli Zon dan didampingi oleh Asisten Menteri Giring Ganesha.
Menarik untuk menanti kiprah pasangan yang selama ini diketahui umum telah berkecimpung di bidang kebudayaan ini. Karena bidang ini meliputi aspek kehidupan sosial masyarakat yang sangat luas, tidak hanya secara persebaran wilayah, kurun waktu hingga keragaman ekspresinya. Kebudayaan, yang tidak semata berwujud kesenian seperti selama ini dipahami masyarakat luas, meliputi berbagai aspek kehidupan yang bisa dibaca dan dimaknai sebagai sebuah potensi, terlepas dari berbagai masakah, hambatan dan tantangan yang dihadapinya di hadapan laju jaman.
Laporan
Seperti sebelumnya, Harian Kompas edisi 18-21/6/2024 menurunkan laporan tematik tentang seni budaya. Fokus yang diambil adalah kehidupan para seniman tradisional yang ada di sekitar kita. Disebutkan bahwa nasib pekerja seni pertunjukan tradisional begitu miris karena harus berakrobat dan bersiasat sedemikian rupa untuk dapat bertahan (Kompas, 19/6/2024). Selain berjuang demi kelangsungan hidup, mereka juga berjuang menjaga daya hidup seni pertunjukan tradisional.
Disadari atau tidak, kita telah meninggalkan pekerja seni berjuang sendiri mempertahankan seni pertunjukan tradisional di tengah arus perubahan zaman (Kompas, 18/6/2024). Jika hal ini dibiarkan, bukan tidak mungkin seni pertunjukan tradisional tinggal nama.
Padahal eksistensi seni menjadi penanda peradaban. Ekspresi seni budaya dalam suatu wilayah komunal-regional yang penduduknya heterogen seperti Indonesia, seharusnya bisa menjadi identifikasi identitas yang representatif dan menguatkan.
Ini hanya menjadi salah satu contoh diantara kompleksitas problematika kehidupan kesenian, yang menjadi salah satu wujud kebudayaan. Namun, atas nama perkembangan zaman, kita sering kali terlalu sibuk dengan segala hal terkait perkembangan teknologi dan hal-hal modern lainnya. Demi mengejar kemajuan dan agar tidak disebut ketinggalan zaman, kita lupa terhadap tanggung jawab pelestarian seni budaya dalam kehidupan kini. Peranannya bahkan menjadi sekuler. Seni budaya kini telah menjadi bagian penting pariwisata dan industri kontemporer, tidak hanya terkait dengan ekonomi tapi juga dengan politik.
Investasi Kebudayaan
Pemerintahan Jokowi sebenarnya telah menetapkan kebudayaan sebagai investasi untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa. Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan mentransformasi pengelolaan kebudayaan di Indonesia. Perencanaan kebijakan yang dahulu bersifat top-down (atas-bawah) menjadi bottom-up sehingga masyarakat lebih berpartisipasi.
Peran pemerintah pun beralih dari eksekutor menjadi fasilitator untuk mendukung inisiatif dan aspirasi masyarakat dalam memajukan kebudayaan. Berbagai program, seperti Dana Indonesiana, Pekan Kebudayaan Nasional, reformasi tata kelola warisan budaya, dan penguatan ekosistem film, telah mendorong inovasi dan partisipasi publik dalam pemajuan kebudayaan (Kompas, 22/6/2024).
Dengannya, ekosistem kebudayaan pelan-pelan mulai mewujud. Kerangka logisnya telah tersedia, fondasi kerjanya sudah diletakkan. Saatnya memberi nyawa pada rancang bangun yang telah disiapkan. Ini penting karena dengan basis kulturalnya yang kuat, seni memiliki modal estetis, komunalitas dan psikologi sosial yang mampu beradaptasi dengan zaman.
Namun jika tidak dipahami, hal ini beresiko pada reduktivitas pemahaman dan kepemilikan publik atas jejak historis dan proses transformasi identitas kultural. Modal ini kerap diabaikan, bahkan dieksploitasi dan digunakan untuk kepentingan para pengambil kebijakan. Akibatnya, terjadi lompatan seni dengan euforia sebagai investasi tanpa bersumber modal sosial.
Efeknya, menurut Garin Nugroho (2024), Indonesia kini mengalami krisis karena konfigurasi pemimpinnya hanya politikus populer, militer, dan agama populis – bukan orang humaniora. Kita selalu jadi bangsa yang bermimpi cepat ambil untung dan mendatangkan massa. Imbasnya, seni pertunjukan yang memberi wadah modal sosial tak ditemui dalam hukum model ekonomi modern. Hal ini menjadi persoalan nasional.
Kebudayaan sebagai Panglima
Potensi kebudayaan sebagai modal pembangunan telah disuarakan oleh berbagai pihak. Kebudayaan sebagai panglima adalah keniscayaan. Hal ini mesti terwujud dalam strategi politik membangun peradaban bangsa melalui jalan kebudayaan. Caranya dengan memanfaatkan nilai-nilai (kearifan lokal dan nilai-nilai dari luar), akal budi (pikiran, sikap, gagasan), tradisi, sejarah, nasionalisme, patriotisme, sistem perilaku etis, ekspresi estetis non-estetis, serta karya budaya yang bermuara pada penguatan karakter bangsa.
Untuk itu dibutuhkan langkah-langkah konkret untuk membangun kehidupan yang berbudaya. Yang utama tentu saja politik kebudayaan berupa orientasi nilai bagi negara dalam kebijakan politik yang berpihak pada budaya bangsa dan kepentingan warga negara. Di dalamnya terkandung kewajiban negara untuk melestarikan, melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan kekayaan budaya bangsa yang diwujudkan dalam kehidupan publik.
Caranya dengan mencoba merevitalisasi tema-tema penting kehidupan bersama seperti pendidikan moral, tanggung jawab sosial, demokrasi, pendidikan dan pembangunan kesejahteraan masyarakat secara moril materiil. Memahami kebudayaan seperti memberikan wadah kepada jiwa manusia untuk membangun toleransi, nilai kemanusiaan dan ketermilikan atas kehidupan bersama. Pada perwujudannya, setiap aktivitas kultural selayaknya berada dalam orientasi humanitarian yang bertumpu pada nilai-nilai kehidupan manusia, bukan dengan kebenaran ideologi jaman semata.
Maka kita perlu menggeser paradigma pembangunan yang selama ini berfokus pada pertumbuhan ekonomi. Perspektif kebudayaan patutnya menjadi sektor ”primadona” dibandingkan sektor ekonomi yang dianggap lebih berdampak nyata bagi pembangunan. Politik anggaran pemerintah (dan juga daerah) juga tidak selalu berpihak pada semangat pemajuan kebudayaan.
Untuk itu, berdasarkan kewenangannya, pemerintah pusat harus memastikan bahwa pemerintah daerah memberi porsi anggaran cukup di sektor kebudayaan pada program-program pembangunannya. Dokumen PPKD (Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah) mutlak diperlukan bagi kebijakan nasional karena mencakup kondisi riil kebudayaan di daerah, baik dari segi data jumlah paling mutakhir maupun permasalahan dan rekomendasi solusinya. Tanpa dokumen ini, maka perencanaan pembangunan pemerintah daerah di bidang kebudayaan pasti akan dilakukan serampangan (Andi Sumar Karman, Kompas 18/5/2024). Dalam konteks momen pilkada yang akan dilangsungkan dalam waktu dekat, kita perlu melahirkan para pemimpin yang berpihak, berkomitmen dan bertindak nyata bagi masyarakatnya.
Berikutnya, membangun kesadaran atas budaya toleran dan kesetaraan melalui literasi atau melek budaya. Bisa dengan menciptakan atau membuka ruang-ruang budaya demi membangun karakter dan harmoni kehidupan bangsa di sekolah, kampus, kantong-kantong budaya, komunitas keagamaan, karang taruna, dan lainnya. Yang pasti, keteladanan dalam toleransi. Tokoh-tokoh publik wajib mewujudkannya dengan kehadiran dan tindakan nyata demi narasi kebaikan (Tranggono, 2020).
Kehidupan berbangsa dan bernegara kita saat ini membutuhkan asupan energi kebudayaan berupa nilai-nilai budaya yang memberi tenaga positif untuk membangun kehidupan bersama, disangga sistem nilai, gagasan, kemajuan ekonomi, penegakan hukum, dan kualitas karya budaya bangsa, baik tangible maupun intangible.
Oleh karenanya, pembangunan kebudayaan yang sungguh-sungguh, menjadi keniscayaan. Nilai lama dikembangkan lebih adaptif terhadap lingkungan baru yang positif dan produktif. Kekayaan budaya lokal dikembangkan dengan mempertimbangkan kebudayaan umum (massa, komersial), kebudayaan alternatif (seni, invensi) dan kebudayaan klasik yang mengandung dimensi kesejarahan. Muaranya adalah penemuan identitas yang sejati dan adaptif terhadap laju jaman.