Sedang Membaca
Demokrasi dalam Keberlanjutan Watak Kekuasaan Raja-Raja Kuno dan Kompeni
Gifari Juniatama
Penulis Kolom

Gifari Juniatama adalah penulis lepas dan peneliti independen. Meminati kajian sosial, agama, dan budaya. Saat ini tinggal di Tangerang. Dapat dihubungi melalui akun instagram @gifarijuniatama atau akun facebook Gifari Juniatama.

Demokrasi dalam Keberlanjutan Watak Kekuasaan Raja-Raja Kuno dan Kompeni

kotak suara, pemilu, politik

Demokrasi selalu menjadi isu hangat sejak pertama kali Indonesia didirikan. Beragam tafsiran dari setiap kelompok saling beradu, sebagian berhasil mewujudkannya meskipun berjalan buruk sementara sebagian yang lain tidak pernah bisa benar-benar mewujudkan idenya tentang demokrasi. Para Indonesianis generasi awal dari luar negeri berdebat tentang eksistensi demokrasi dalam masyarakat Indonesia, apakah hal ini sesuatu yang alamiah lahir dari dalam masyarakat atau justru masyarakat kebanyakan tidak pernah benar-benar hidup dalam kesadaran demokratis.

Dalam diskusi termutakhir, para ahli di berbagai bidang sosial dan politik cenderung bersepakat bahwa demokrasi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir semakin menurun. Marcus Meitzner (2019) dan Thomas Power (2018) misalnya, menunjukkan bahwa dalam periode kepemimpinan politik belakangan ini terjadi akumulasi kekuasaan pada lembaga eksekutif yang membungkam kritik dan menekan kekuatan oposisi dengan cara-cara otoriter. Bentuk nyata dari gelagat kekuasaan eksekutif yang sangat terpusat ini bisa dilihat dari bagaimana lembaga legislatif dan yudikatif begitu mudah untuk diatur untuk melayani kepentingan pimpinan eksekutif.

Dari sisi warga, terjadi juga penurunan praktik demokratis dalam kehidupan publik. Seperti diperlihatkan oleh Eve Warburton dan Edward Aspinall (2019), yang menyoroti gencarnya mobilisasi populis, perkembangan intoleransi antar warga negara, dan semakin menguatnya sektarianisme. Hal ini diperparah dengan semakin tidak berfungsinya lembaga pemilihan karena masyarakat semakin jauh terjebak dalam praktik politik transaksional. Kajian Burhanuddin Muhtadi (2020) menjelaskan bahwa praktik politik uang di Indonesia adalah yang terburuk nomor tiga di dunia, dengan keterlibatan 33% warganya dalam praktik kotor politik suap-menyuap ini.

Baca juga:  Mengenal Islam Lewat Jalur Sastra

Hari-hari belakangan ini, publik tengah diuji dengan pertunjukan atraksi politik yang justru membakar panggung demokrasi. Gejala politik kartel semakin jelas terlihat dan membuat pilihan warga terampas dari tangannya. Pertanyaan yang mungkin perlu diajukan kembali, kondisi seperti apa yang membuat politik kartel bisa tumbuh dan terus menggerogoti demokrasi bahkan sejak awal perkembangannya pasca-reformasi.

Ancaman demokrasi di Indonesia nampaknya memang datang dari dua arah, para politisi di level elite nampak berusaha semakin membatasi hak pribadi dan politik individu. Salah satunya dengan melancarkan pukulan berupa pasal pencemaran nama baik yang menjadi senjata untuk menyasar siapa saja yang mengkritisi kebijakan pejabat, pemerintahan, atau lembaga negara. Pada sisi lain, demokrasi yang benar-benar terbuka hanya mendapat sedikit dukungan dan lebih sedikit lagi yang bersedia bersuara mengenai proses kemunduran yang tengah berlangsung (Power dan Warburton, 2020). Sebagai contoh, aksi massa yang belakangan terjadi masih mendapat banyak tentangan dari sesama warga.

Jika kembali menengok perdebatan yang pernah terjadi pada tahun 1960an, beberapa Indonesianis ternama pernah terlibat dalam sebuah perdebatan menyoal tentang eksistensi demokrasi di negeri ini. Saat Herbert Feith menyelesaikan studinya tentang menurunnya demokrasi konstitusional di Indonesia, Harry Benda langsung memberi tanggapan yang mengkritisi pandangan Feith.

Baca juga:  Apa Pentingnya Beribadah, Bila Allah Tidak Membutuhkan Sedikit pun Ibadah Kita?

Menurut Benda (1964), argumentasi Feith dalam bukunya yang berjudul The Decline of Constitutional Democracy (1962) tidak terlalu memberikan dimensi sejarah dalam analisisnya tentang politik Indonesia. Kekuasaan Sukarno yang otokratik dalam periode Demokrasi Terpimpin, hanya diukur sebagai penurunan dalam standar ukuran demokrasi liberal. Bagi Benda, permasalahan yang semestinya diteliti bukanlah mengapa demokrasi mundur dalam politik Indonesia, melainkan apakah kepemimpinan Sukarno yang tidak demokratis merupakan sebuah kelanjutan dari arus sejarah yang sudah berlangsung sejak era prakolonial.

Feith (1965) kemudian menanggapi kritikan Benda dengan menyatakan bahwa gejala otoritarian dalam politik Indonesia dalam periode Demokrasi Terpimpin bukanlah kelanjutan dari konsepsi kekuasaan masyarakat Indonesia (terutama Jawa) sejak era prakolonial. Dalam pandangan Feith, langkah politik kelompok populis atau dalam istilahnya disebut “solidarity makers” adalah konsekuensi dari proses dekolonisasi. Kelompok populis yang tidak demokratis berusaha untuk menghidupkan budaya dan bahasa kekuasaan masa lalu sebagai tanda bahwa mereka telah lepas dari kekuatan “asing”.

Cara semacam ini juga dilakukan oleh beberapa negara pascakolonial, semisal Mahathir Mohamad dari Malaysia dan Lee Kuan Yew dari Singapuran yang mempopulerkan gaya kepemimpinan mereka dengan istilah Asian Value. Mereka menganggap demokrasi sebagai produk asing yang tidak bersifat universal.

Baca juga:  Lamine Yamal

Menurut sejarawan Onghokham (1997), Indonesia pasca kolonial adalah gabungan antara keberlanjutan kekuasaan tradisional dan kekuasaan kolonial. Keduanya memiliki pengaruh yang berkesinambungan hingga kini. Semisal dalam soal mengelola surplus pendapatan pajak negara, negara tradisional menggunakannya untuk mengembangkan budaya keraton. Membangun monumen-monumen megah simbol kekuasaan kerajaan yang jejaknya bisa dilihat hingga kini. Pembangunan proyek mercusuar seperti era kerajaan kuno kini berlangsung persis sama dengan masa prakolonial. Untuk perlakuan terhadap oposisi, negara Indonesia modern memiliki beberapa kemiripan dengan negara kolonial seperti keberadaan pasal pencemaran nama baik atau tekanan politik bagi mereka yang bersebrangan dengan rezim Hindia Belanda.

Dengan demikian, merosotnya keadaan demokrasi di Indonesia belakangan ini mirip dengan apa yang pernah terjadi pada periode Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru. Sejarah politik Indonesia seperti berlangsung dalam sebuah siklus yang terus berputar dan kembali pada titik-titik peristiwa yang berulang. Demokratisasi selalu diikuti dengan kejatuhannya di kemudian hari. Bayang-bayang kekuasaan raja-raja kuno dan penguasa kompeni selalu mengintai setiap kelahiran momentum demokratis. Untuk memutus siklus kehadiran kehendak autokratik, semua rakyat perlu terlibat. Tidak perlu menunggu sosok penyelamat yang dianggap pahlawan. Karena harapan yang dilimpahkan pada seseorang hanya akan berujung pada kekecewaan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top