Namanya (Gus Dur) menjadi magnet di mana-mana.
(Salahuddin Wahid)
Pemikiran-pemikiran Abdurahman wahid (Gus Dur), baik sikap, ucapan lisan, maupun dalam bentuk tulisan, telah menginspirasi banyak orang seantero nusantara (bahkan internasional) untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangannya. Dari sanalah, muncul apa yang lazim disebut para pengangum, pecinta, dan penerus perjuangan Gus Dur—atau dalam bahasa populer disebut “GUSDURian”, yang pada 7-16 Desember 2020 menyelenggarakan Temu Nasional ke-2, yang karena situasi Covid-19 diselenggarakan secara daring.
Semasa hidup, meskipun Gus Dur seringkali disalahpahmi oleh banyak orang, tapi bagi para pengagumnya ini, memahami Gus Dur tidak bisa ditinjau dari satu sudut perpektif, sebab Gus Dur sendiri “multi-perspektif’, baik kapasitasnya sebagai agamawan atau kiai, politisi dan negarawan, aktivis LSM, budayawan, ahli ilmu sosial, dan lain sebagainya.
Salah paham terhadap pemikiran Gus Dur tidak hanya dialami masyarakat Indonesia (termasuk di lingkaran keluarganya sendiri), tapi juga oleh masyarakat Barat, sebagaimana diungkapkan oleh Greg Barton. Di satu sisi, tulis Greg (1999), Gus Dur dipandang dan dikenal banyak orang sebagai figur religius dan pada sisi yang lain ditafsirkan oleh banyak orang, khususnya di pusat-pusat metropolitan dan di antara kelas menengah terdidik Indonesia sebagai politisi yang sekuler atau sebagai intelektual liberal. Dengan berdasar kedua ini, kesalahpahaman tentang Gus Dur berjalan seiring dengan kesalahpahaman tentang Barat pada umumnya, yaitu bagaimana seorang yang merupakan intelektual liberal juga dapat dianggap sebagai figur religius dan bahkan pemimpin kharismatik setingkat wali?
Hal yang paling penting untuk bisa memahami Gus Dur adalah selalu mencari apa yang tersirat dari yang tersurat. Pada umumnya, tidak bijak untuk meremehkan Gus Dur karena pada dirinya itu selalu terdapat sesuatu yang lebih daripada apa yang kasatmata. Demikian juga tidak bijaksana untuk memahami apa yang diucapkannya secara harfiah. Seringkali, apa yang diucapkan Gus Dur bukanlah apa yang diketahuinya, melainkan lebih merupakan apa yang diinginkannya sebagai sesuatu yang benar.
Gus Dur menurut Salahuddin Wahid, adalah “buku” yang dapat dibaca semua orang. Ia dapat dibaca oleh siapa saja, kapan saja, dan dari sudut pandang apapun. Dalam tempo singkat, “buku besar” ini sulit ditemukan bandingannya (Yahya, 2010).
Gus Dur yang fenomenal telah membuat berjuta komunitas menyebut namanya sampai pihak vendor software raksasa Microsoft pun juga tidak lupa mengukir namanya dalam ensklopedi “Encarta”. Hal yang sama dilakukan oleh intelektual Mesir Abdul Mun’im al-Khifni dalam karyanya Mausu’ah al-Firaq wa al-Jama’at wa al-Madzahib wa al-Ahzab wa al-Harakat al-Islamiyah, sebuah ensiklopedi tentang 759 organisasi, partai dan gerakan Islam seluruh dunia yang juga menyebut nama besar Gus Dur (Abegebriel, 2007).
Jadi tidaklah mengherankan jika banyak di antara masyarakat dari berbagai elemen, lintas agama, etnis, dan golongan mengekspresikan kecintaannya kepada Gus Dur. Kekaguman dan kecintaan kepada Gus Dur ini kemudian mengkristal ke dalam sebuah wadah komunitas GUSDURian yang tampak terlihat di banyak tempat, terutama setelah ia meninggal dunia. Meskipun sebenarnya, cikal-bakal pengagum Gus Dur menurut sebagian pendapat dari kalangan aktivis NU, sudah muncul di tahun 1980-an, atau bahkan mundur ke belakang tahun 1970-an, saat Gus Dur bergerilya sebagai aktivis kemanusiaan (LSM maupun jalur organisasi NU) dengan melakukan advokasi terhadap kelompok marginal dan tertindas.
Generasi GUSDURian
Gus Dur, dengan segala aktivitas mulia tersebut, semasa hidup maupun kenangan ketika ia tiada, sesungguhnya bukan hanya “milik” keluarga atau warga NU, tapi ia menjadi “milik” semua masyarakat Indonesia maupun dunia Internasional. Nama Gus Dur harum dihirup oleh generasi selanjutnya, maka tidaklah berlebihan jika ia menyandang predikat guru bangsa dan pahlawan, yang tidak hanya dalam pengertian formal negara, tapi lebih dari itu telah melekat kuat dalam diri sanubari setiap insan masyarakat dunia.
Kini masyarakat sadar, bahwa ketika Gus Dur telah berpulang, betapa penting arti kehadirannya. Masyarakat merindukan suara lantang advokasi Gus Dur, ketika dewasa ini masih saja terjadi kesenjangan sosial dan pelanggaran HAM, seperti kekerasan atas nama agama, tuntutan keadilan buruh, nasib TKI, penggusuran, dan lain sebagainya.
Beruntung di tengah situasi dan kondisi itu, masih ada kepedulian dari tokoh-tokoh atau komunitas tertentu yang bercita-cita hendak melanjutkan pemikiran dan perjuangan Gus Dur. Pada dasarnya, mereka yang menamakan diri GUSDURian sebenarnya tidak selalu identik dengan “komunitas” atau “kelompok” pengagum dan pecinta Gus Dur, tapi juga berlaku kepada perorangan (individu) yang juga mengagumi dan mencintai Gus Dur. Kedua-duanya, yang berbentuk “komunitas” maupun “individu”, memiliki kesamaan persepsi, yaitu menjadikan Gus Dur sebagai “objek” sekaligus “subjek”.
Gus Dur sebagai “objek”, berarti usaha sungguh-sungguh untuk mengkaji daras pemikirannya, baik dalam bidang politik, agama, ekonomi, sosial, dan budaya. Keseluruhan pemikiran-pemikiran Gus Dur merupakan hamparan pengetahuan yang luas untuk dikaji secara mendalam. Sedangkan sebagai “subjek”, berarti menjadikan pemikiran-pemikiran Gus Dur sebagai inspirasi untuk terus melanjutkannya dalam melakukan aksi-aksi sosial kerakyatan.
Dalam posisi itu, generasi GUSDURian tidak dimaksudkan untuk mengkultuskan terhadap ketokohan Gus Dur. GUSDURian setidaknya perlu melakukan apa yang pernah dikatakan oleh putri tertua Gus Dur, Alissa Qotrunada atau biasa disapa Alissa Wahid, bahwa saat ini yang diperlukan oleh pecinta Gus Dur ialah bagaimana mengimplementasikan konsep pemikirannya dalam bidang kebudayaan, pendidikan dan ekonomi sebagaimana yang pernah digagasnya menjadi sebuah gerakan riil di masyarakat, sehingga masyarakat merasakan manfaatnya. Jika dahulu Gus Dur pernah menggagas gerakan ekonomi lewat pendirian 2000 BPR Nusumma atau membangun pendidikan yang berkarakter, saatnya kini untuk melanjutkan dan mewujudkan impiannya menjadi sebuah kenyataan, sebab inilah yang dibutuhkan masyarakat.
Komunitas GUSDURian diinisiasi oleh kesadaran kolektif beberapa orang di banyak daerah atas apresiasi kecintaannya yang tulus kepada Gus Dur. Para pegiatnya banyak didominasi oleh kaum muda lintas iman/agama. Pegiat komunitas ini tidaklah seperti yang disesalkan Nur Khalik Ridwan (2010), bahwa ketika guru besar Nahdliyin (Gus Dur) meninggal, masih saja ada murid-murid yang memanfaatkannya dengan “menjual” kebesaran namanya sang guru untuk keuntungan pribadi, bukan untuk membangun komunitas dan martabat nahdliyin.
Karena itu, benarlah jargon terkenal di kalangan komunitas GUSDURian yang berbunyi: “Gus Dur telah meneladankan, saatnya kita meneruskan”. Alfatihah.