Wakhit Hasyim
Penulis Kolom

Pendidik di Sekolah Alam Wangsakerta Cirebon.

Pendidikan, Negara dan Masyarakat

Dxb4ew1uuam9k7g

Masyarakat adalah tubuh-besar manusia, dan pendidikan adalah cara merawat pertumbuhan jasmani dan rohani tubuh ini. Saat tubuh ini beraktifitas dengan aturan formal, ia menjilma sebagai negara. Jadi negara adalah masyarakat plus aturan formal.

Lalu pertumbuhan jasmani dan rohani seperti apa yang diinginkan oleh tubuh-masyarakat melalui pendidikan ini? Apakah untuk menyokong negara, atau untuk menyokong masyarakat? Bagaimana jika keinginan negara dan masyarakat bertentangan?

Konsep masyarakat sebagai tubuh-besar manusia mengilhami para filsuf abad Pertengahan dalam memahami masyarakat yang sempurna. Ibn Sina dan Al-Farabi menyebutnya sebagai masyarakat-unggul (madinah fadlilah). Struktur masyarakat ini mengikuti bentuk tubuh manusia: raja sebagai kepala, ulama-filsuf sebagai dada, dan rakyat sebagai kaki dan tangan.

Di masa modern, ketika pemikiran mengenai negara berkembang menjadi negara-bangsa, imaginasi ini berubah. Negara adalah hasil kesepakatan, kata Rousseau. Tubuhnya dibayangkan sebagai tiga orang-tiga fungsi oleh Montesque, yang menjadi wakil masyarakat: pihak pembuat aturan umum (legislatis), pelaksana aturan umum (eksekutif) dan pengawas (judikatif).

Namun para ilmuan sosial masih mengambil imaginasi tubuh seperti masa klasik sebagai penjelas tentang kaitan pertumbuhan jasmani dan rohani tubuh besar dan tubuh kecil manusia. Tubuh besar ini dinilai, misalnya oleh Durkheim, mendikte dan mengekang tubuh kecil, sehingga individu harus tunduk kepada kemauan masyarakat. Ini mengandung masalah yaitu menggangu kebebasan individu. Bisa saja ganguan ini bersifat mental bagi individu.

Freud menyelidiki gangguan mental disebabkan oleh kekangan tubuh-besar ini, sekaligus mengenali kekangan lain yang tak kalah dahsyat, tubuh-kecil-pra-sadar. Masyarakat digambarkan sebagai super-ego (aku-besar), dan menamai manusia sadar sebagai ego (aku). Lalu ada daya insting hewani yang bercokol pada manusia yang menjadi obyek rawatan (pendidikan) untuk dikelola relasinya dengan ego dan super-ego, yaitu id (pra-sadar/insting impulsif tubuh).

Baca juga:  Tulisan dan Petuah

Jadi merawat tubuh ini, apakah dimaksud merawat tubuh-besar (masyarakat), atau merawat tubuh-kecil (individu)? Lalu bagaimana cara pembagian kerja antara masyarakat dan negara untuk mengusung perawatan jasmani dan rohani ini?

Dua pertanyaan bagian pertama dan bagian kedua ini tidak menjadi wacana yang kuat seiring dengan “ketidaksadaran-pola-kebijakan-nasional” tentang pendidikan yang bias kemodernan. Modern artinya adalah rasional (ego-sentris), progressif-positifistik (kapitalistik), dan differensiasi peran secara sistemik (birokratik). Ketiga sifat ini nyaris menjadi orientasi pra-sadar negara-negara bekas jajahan seperti Indonesia.

Untuk menjawabnya kita butuh menarik nafas dulu. Pertama kita akan me-review tentang Sisdiknas yang mengenalkan tiga pola pendidikan yang diklaim keliru sebagai kelembagaan pendidikan: formal, non-formal, dan informal.

Kedua, kita perlu merefleksi tentang imaginasi kemasyarakatan yang diinginkan oleh tujuan pendidikan nasional. Yang dirawat sekolah adalah murid (individual), dan konsep tentang masyarakat benar-benar di luar pikiran sadar oleh sistem sekolah. Untuk merefleksi ini, kita butuh filsafat kritis, utamanya untuk mengungkapkan aspek “ketidaksadaran masyarakat modern” dalam baju pencerahan.

Ketiga, nah, kita baru bisa menimbang setelah dua aspek itu dibahas, tentang nasip tubuh-besar dan tubuh-kecil dengan dipisahkannya keduanya akibat ketidaksadaran modernitas di atas. Yang jelas, akibatnya adalah “neraka jahanam” baik untuk individu maupun masyarakat.

Model Pendidikan dan Kekosongan Dukungan Sosial

Kita sering mendengar istilah pendidikan formal, non formal dan informal. Apa sih beda ketiganya? Sistem pendidikan nasional mengenalkan ketiganya sebagai jalur pendidikan. Jalur utamanya adalah formal, yaitu pendidikan ala pemerintah, yakni dari PAUD, SD, SMP, SMU, sampai Perguruan Tinggi. Jika penyelenggaranya adalah pemerintah, disebut negeri. Jika non pemerintah disebut swasta.

Baca juga:  Menelisik Wahabi (5): Pandangan KH. M. Hasyim Asy'ari dan NU

Jalur formal dianggap sebagai standar bagi jalur lain yaitu non formal dan informal. Posisi-posisi publik pemerintahan dan lembaga di lingkungannya wajib diisi lulusan formal sesuai kebutuhan. Akibatnya jalur lain wajib mengikuti standar formal jika ingin mengakses posisi publik ini.

Jalur non formal dan informal adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar jalur formal ini. Beda keduanya adalah pada penyelenggara, jalur non formal oleh organisasi sosial seperti yayasan, balai kursus, jamaah dll. Sementara itu jalur informal oleh keluarga.

Kedua jalur di atas dapat memiliki program dan lulusan setara formal dan diakui jika: pertama penyelenggaranya mendapat penilaian oleh lembaga yang berwenang memenuhi standar nasional pendidikan. Kedua siawanya lulus dalam ujian penyetaraan sesuai standar nasional pendidikan.

Jadi ketiga jalur ini sebetulnya tidak jelas-jelas amat bedanya, kecuali dari aspek penyelenggara. Secara substansi ketiganya sama, namun syarat penyetaraan diwajibkan dengan standar pendidikan formal.

Sisdiknas tidak memiliki sistem yang ditawarkan untuk menyangga masyarakat dengan pilihan-pilihan yang relevan dan kontekstual. Sisdiknas hanya punya satu standar sesuai kebutuhan pengisian posisi publik negara: sekolah formal.

Bagaimana dengan kebutuhan masyarakat yang membutuhkan daya dukung pendidikan, misalnya pendidikan pernelayanan, pergaraman, lahan payau, pertanahan, dan sebagainya terkait sumber kehidupan masyarakat lokal, pemerintah tak punya imaginasi pengembangan masyarakat ini.

Sementara itu, kelembagaan masyarakat juga kosong untuk merespon perkembangan kebutuhan dirinya. Masyarakat mulai mengikuti pendidikan dengan gaya pemerintah, untuk kebutuhan yang semakin abstrak dan tidak riil. Karena sekolah formal mengambil alih arus utama jalur pendidikan, maka seluruh tanggungjawab masalah sosial seperti bertumpu harap pada lulusan formal ini.

Baca juga:  Masih Relevankah Teori Emanasi Al-Farabi

Pertanian di kampung, bertumpu pada SD, SMP, Madrasah di kampung itu sendiri. Perkapal-layaran, pernelayanan, bertumpu pada SD, SMP, Madrasah, Ponpes di kampung nelayan itu sendiri. Lahan payau, lahan gambut di luar Jawa sumber kehidupan kampung-kampung, diharap dapat diselesaikan oleh SD, SMP, SMA, Madrasah, Pondok Pesantren di daerah setempat.

Namun, itu tidak pernah terjadi. Tingkat SMA juga tidak menjawab. Perguruan Tinggi juga tidak menjawab. Apalagi SD dan SMP! Jadi siapa yang menjawab masalah dan kebutuhan masyarakat? Tidak ada. Negara tidak. Masyarakat tidak. Yang menjawab adalah keluarga-keluarga yang tak terorganisir, yang butuh sedikit waktu untuk hancur ditinggalkan generasi rebahan.

Kita ada pada satu sistem perawatan diri-besar yang buta. Bahkan terhadap kerusakan diri, ini tidak disadari oleh orang yang bahkan legitimasi disebut pintar: sarjana, ulama, kaum intelektual, kaum priyayi para pejabat.

Ada yang sudah menyadari ini. Bukan masyarakat. Bukan negara. Bukan media. Bukan. Lalu siapa?

Adalah pasar kerja internasional. Mereka akan menyewa tanah-tanah nganggur kita. Membuka lapangan kerja buruh murah kita. Memenuhi hamparan tanah kita dengan sistem monokultur massif. Menghilangkan jumpah tegakan vegetasi sehingga potensi penyangga tanah lumat, memudahkan likuifaksi seperti di Palu tahun lalu, juga di Dieng yang sdh lama, dan seterusnya. Meracuni tanah-tanah dengan pestisida. Membuat pabrik-pabrik olahan di sebelah lahan. Dan lama-lama mereka membeli tanah-tanah kita. Sementara itu birokrasi mendapat jatah maka melayani. Orang kuat mendapat jatah, maka semuanya diam. Kecuali kita sadar, mulai tobat, dan bertindak! Tentu saja tidak bisa sendiri.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top