Tahun 1990 saya meninggalkan Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Setelah enam tahun mesantren di Pesantren Assalafie yang diasuh oleh KH. Syaerozi kemudian Saya melanjutkan belajar ke Yogyakarta.
Pesantren Assalafie di masa beliau dikenal sebagai pesantren yang sepenuhnya salaf, hanya fokus pada pengajian kitab kuning dan semua santri diarahkan agar belajar di Madrasah al-Hikamus Salafiyah (MHS). Karena itu tidak banyak santri yang sekolah negeri atau sekolah formal, seperti MTs dan SMP dan seterusnya.
Saya pribadi beruntung pernah belajar di salah satu pesantren tertua di Cirebon ini. Sebab, saya bisa belajar dan mendalami kitab kuning yang di kemudian hari terasa manfaatnya. Berkat pendidikan yang saya peroleh di Pesantren Assalafie, saya bisa mengikuti dengan cukup mudah saat saya melanjutkan di jenjang perguruan tinggi baik di strata satu (S1) hingga strata tiga (S3).
Kini, Pondok Pesantren Assalafie diasuh bersama oleh putra-putri beliau. Tampak perubahan dialami oleh pesantren tersebut. Pesantren ini telah memiliki sekolah formal sendiri, tingkat tsanawiyah dan aliyah dan bahkan sedang mengajukan pendirian Sekolah Tinggi.
Keterbukaan pesantren dengan membuka unit pendidikan formal menunjukkan bahwa pesantren terus bertransformasi sesuai dengan perubahan dan kebutuhan zaman. Di Pesantren Assalafie kajian kitab kuning masih terjaga dengan baik, dan bahkan kajiannya sudah menggunakan teknologi. Ini tentu bagian dari cara al-muhafadzoh alal qadimissalih. Namun, dengan transformasinya, pesantren ini juga telah mengambil produk peradaban modern untuk pelayanan lebih baik kepada santri yang hidup dalam kemajuan. Saya memahaminya sebagai breakdown dari al-akhdzu bil jadidil aslah.
KH. Syaerozi, Potret Seorang Kiai Alim dan Penyabar
Kyai Syaerozi belajar di banyak pesantren. Selain belajar kepada ayahandanya sendiri, beliau tipikal santri kelana yang haus akan ilmu. Beliau sempat belajar kepada Syekh Masduqi Lasem Rembang dan sejumlah masyayikh Pondok Sarang seperti Mbah Yai Zubair, ayahanda Mbah Maemun Zubair, dan masyayikh lainnya.
Pengalamannya berkelana dan berguru kepada banyak ulama ini membentuk kealiman dan karakter Kyai Syaerozi yang penyabar dalam mendidik para muridnya. Kealiman beliau dibuktikan dengan sejumlah karya tulis yang diwariskannya. Di antaranya adalah Bad’ul Adib sebuah karya nazam dari kitab Mughni Labib, kitab Syarh Al-Luma’ (ilmu ushul fikih), Khulashoh Fi Ilmi Al Mustholah (Ilmu Hadits), Rasa’il Fil Adab Al-Ziyarah.
Beliau juga merupakan sosok Kyai yang istikamah dalam mengaji. Kepada beliau saya sendiri mengaji sejumlah kitab. Salah satunya adalah saya mengkhatamkan ngaji kitab Tafsir Jalalain. Sebuah kitab tafsir yang ditulis oleh Syekh Jalaludin al-Mahalli dan Syekh Jalaludin al-Suyuthi.
Generasi Penerus Kyai Syaerozi
Kyai Syaerozi merupakan menantu dari KH. Abdul Hannan. Beliau menikahi salah satu putri gurunya, Nyai Hj. Tasmi’ah Hannan. Dari pernikahannya ini Kyai Syaerozi dikaruniai tujuh putra dan putri. Yaitu, Nyai Hj. Surotul Aini Syaerozie (istri KH. Ahmad Mufid Dahlan), KH. Azka Hammam Syaerozie, KH. Yasif Maemun Syaerozie, Nyai. Hj. Ila Mursilah Syaerozie (istri KH. Lukman Hakim), KH. Aziz Hakim Syaerozie, KH. Abdul Muiz Syaerozie, dan KH. Arwani Syaerozi.
Sebagaimana tertuang dalam laman assalafiebabakan.com, Pondok Assalafie kini memiliki metode membaca kitab kuning tersendiri. Pada tahun 2016 Kiai Yasif Maemun Syaerozi, salah satu putra Kyai Saerozi berhasil menyusun metode Auzan. Selain itu, Kiai Luqman Hakim, salah satu menantu Kyai Syaerozi pada tahun 2014 juga telah berhasil membuat metode menghafal Al-Quran. Sebuah metode yang diharapkan dapat memudahkan para santri dalam menghafal Al-Quran.
Setelah lebih dari tiga puluh tahun yang lalu meninggalkan Pondok Pesantren Assalafie Babakan saya semakin yakin akan perkembangan pesantren ini. Di bawah asuhan putra-putri beliau, pondok pesantren Assalafie akan terus maju.
Kang Mufid, Kang Hammam, Kang Yasif, Nyai Ila dan Kang Lukman, Kang Aziz, Kang Muiz, dan Kang Wawan semoga terus sehat, panjang umur, dan istikamah dalam menemani para santri. Salam takzim kula kangge panjenengan sedaya.