
Takbir begitu sakral. Sementara sepak bola adalah profan. Takbir, Allahu Akbar pernyataan mengagungkan Allah, sarat dengan kesadaran iman dam Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan dalam setiap ritual sholat lima waktu dikumandangkan dalam transisi gerakan sholat, takbir selalu dikumandangkan. Sehingga kalam takbir itu netral, bukan ideologis.
Begitu bermaknanya takbir bagi kehidupan keberagamaan umat Islam. Sarat dengan nilai spiritual dan transendensi. Sementara sepak bola identik dengan permainan sebagai cabang olah raga yang paling merakyat sehingga memang cenderung material duniawi, bersifat hiburan (sport entertainment) yang menonjol.
Namun begitu takbir berkumandang sesaat setelah kemenangan timnas Indonesia 1-0 atas China pada lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2026, Kamis (5/6) ini menjadi menarik untuk dikaji, ditelaah secara khusus. Setidaknya untuk menyerap makna di balik momentum, mengambil i’tibar dalam spesial momen itu.
Dalam telah filsafat semiotika, tindakan baik berupa perilaku maupun ucapan seseorang tidak lepas kesadaran berpikir dan kesadaran akan sistem tanda (sign). RMP. Sosrokartono kakak RA Kartini dan inspirator Soekarno, Sang Proklamator RI, perilaku manusia tak lepas dari 4 (empat) hal yang dikenal dengan Chatur Murti; pikiran yang benar, perasaan yang benar, perkataan yang benar dan perbuatan yang benar. Gemuruh takbir atau sering disebut takbiran dalam ekspresi kemenangan timnas Indonesia atas China di momen Idul Adha juga tak lepas dari kesadaran ruang dan waktu pada saat takbiran itu dikumandangkan.
Kesadaran Ruang Pancasila
Kesadaran ruang ditunjukkan dengan dukungan para suporter timnas Indonesia dengan sebagian dengan logo garuda di dadanya dan bendera Merah Putih dibawanya sebagai bagian tanda kebanggaan sebagai warga negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila yang Berketuhanan Yang Maha Esa, sila pertama. Takbir sebagai penanda bahwa dirinya sebagai bagian dari pribadi teistik, bahwa kemenangan Indonesia atas China dalam momentum ini sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Sementara kesadaran akan waktu (time) ditunjukkan dengan varian takbir dengan redaksi yang khas hanya dikumandangkan pada saat malam Idul Fitri atau Idul Adha sebagaimana yang menggema pada malam itu.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Laailaaha illallah Huwallahhu Akbar. Allahu Akbar wa Lillahilhamdu. (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tiada Tuhan selain Allah. Allah Maha Besar, dan segala puji bagi Allah). Kalam takbiran ini begitu khas dan bahkan di masjid, mushala, langgar, pondok pesantren bahkan di lapangan terus berkumandang saat takbir keliling, begitu juga pada saat malam Idul Adha.
Ekspresi kebahagiaan para suporter timnas Indonesia dalam kemenangan melalui gema takbiran seperti itu dalam semiotika dapat dilihat sebagai sistem tanda (sign) yang di dalamnya ada penanda (signifier) dan petanda (signified). Mereka memiliki makna simbolik, paradigmatik dan sintagmatik. Makna simbolik (petanda) terkandung dalam ekspresi takbir secara internal yang menunjukkan kesadaran bahwa kemenangan ini sebagai bagian dari tanda kebesaran Allah, dan sekaligus menunjukkan statemen misi keberagamaan Pancasila Tiada Tuhan selain Allah (Tuhan Yang Maha Esa). Kemudian diakhiri dengan kesadaran pujian kemenangan ini hakikatnya pujian untuk Tuhan Yang Maha Esa. Tiada kemenangan kecuali tak lepas intervensi dari Allah.
Sementara dalam relasi paradigmatik ini terkait penanda takbir tersebut dalam relasinya dengan makna eksternal dalam bingkai kewargaan nasional dan global tentu memberi pesan (petanda) khusus. Ternyata dalam berbagai liputan media, fenomena ini pertama di dunia. Penonton atau para suporter takbiran saat timnas Indonesia melawan China dan diterima oleh sebagian besar masyarakat. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya komentar positif di berbagai platform yang memberitakannya sehingga bisa dikatakan sebagai bagian dari budaya pop religi khas Pancasila.
Meskipun takbiran ini melalui komando, dipimpin langsung oleh Ibnu Jamil, artis dan presenter ternama yang dikenal sebagai pecinta sepak bola, namun tidak akan bisa sekompak dan seemosional ini kalau momentumnya tidak selaras dengan ruang dan waktu sebagai manifestasi praksis falsafah ruang dan waktu (philosophy in space and time).
Dalam relasi sintagmatik, ini makna yang terkait what next? kalau apa makna bagi timnas sepak bola Indonesia dalam konteks piala dunia? tentu, kalau para suporter menyadari betul gema takbiran atas kemenangan melawan China sebagai wujud syukur yang mendalam kepada Allah, secara teologis dijanjikan nikmat kemenangan berikutnya, sangat mungkin bisa teraih dengan perjuangan dan doa.
Semi final bahkan suatu saat bisa sampai final piala dunia. Meskipun kata Gus Dur pada tahun 2006 (nuonline, 30/12/2022), beliau mengatakan masih lama Indonesia bisa masuk piala dunia. Kini sudah hampir 20 tahun sejak Gus Dur memprediksinya, bisa jadi momentum kualifikasi piala dunia 2026 adalah momentumnya.
Ekspresi seperti takbiran di lapangan sepak bola tentu unik apalagi di tengah pertandingan bergengsi kualifikasi piala dunia ini. Tidak akan terjadi di negara sekuler, bahkan di negara agama di Jazirah Arab tempat ruang awal turunnya Islam pun belum pernah terjadi terliput secara massif seperti Indonesia ini. Indonesia bukan negara agama, bukan juga negara sekuler, tapi negara berdasarkan Pancasila, sebagai sistem moderasi politik antara keduanya.
Bersyukur kita di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila, sehingga ekspresi religi dalam keragaman budaya bisa diterima sebagai bagian dari Bhinneka Tunggal Ika yang tampak dalam perhelatan sepak bola itu.
Dialektika Transenden dan Imanan
Meskipun lapangan sepak bola adalah ruang profan dan takbiran adalah ekspresi sakral dalam Idul Adha. Dalam tasawuf untuk menjumpai Tuhan tidak terikat oleh ruang dan waktu. “Ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah” (QS. Al Baqarah: 115). Ini artinya jalan menjumpai Tuhan Yang Maha Esa itu banyak dan beragam. Bisa ditemukan melalui ruang transenden maupun ruang imanen.
Yang transenden biasanya terkait sesuatu yang melampaui atau berada di luar dunia fisik atau pengalaman manusia biasa. Ini hanya bisa dilalui dengan intuisi atau pengalaman irfani, sebagaimana pengalaman para mistikus khas, para mursyid ahli thariqah, para auliya’, bahkan anbiya’ dan para rasul.
Sementara yang imanen, kehadiran Tuhan Yang Maha Esa melekat, hadir, atau ada di dalam dunia atau pengalaman manusia. Bisa ditemukan dalam realitas sehari-hari termasuk dalam lapangan sepak bola asal manusia mau tafakkur, refleksi atas apa yang terjadi sehingga melahirkan kesadaran esoteris akan Yang Ilahi, yang mendorong manusia mengekspresikan dalam perilaku maupun ucapan. Kalau pikirannya benar, perasaannya benar, maka akan terkristalisasi menjadi ucapan dan perbuatan yang benar. Takbiran dalam hal ini adalah dari kristalisasi dari pikiran dan perasaan yang benar, wujud syukur yang insya Allah berbuah nikmat kemenangan berikutnya. Semoga timnas lolos piala dunia.