Sedang Membaca
Dari Konservatif hingga Liberal: Melihat Sisi Moderat dalam Tubuh Islam (1)
Ahmad Reza
Penulis Kolom

Mahasiswa al-Azhar sedang menempuh S1 jurusan Tafsir.

Dari Konservatif hingga Liberal: Melihat Sisi Moderat dalam Tubuh Islam (1)

pesantren

Di dunia yang serba instan ini, banyak dari umat muslim yang kesan belajar agamanya setengah-setengah. Ini sangat terlihat dari mata pelajaran yang dijadwalkan dalam satu minggunya di sekolah umum, ada yang hanya satu jam saja. Kecuali dengan pondok pesantren, tempatnya ilmu agama diajarkan.

Akan tetapi tidak semua orang tua rela memondokkan anaknya, bisa jadi problem ekonomi atau karena memang tidak tahu mesti diarahkan ke mana anaknya. Di saat yang sama, orang tua yang tahu betul pentingnya memondokkan anak sangat terhalang dengan biaya yang cenderung mahal. Zaman sekarang ini memang pondok pesantren semakin menaikkan biaya, terutama karena fasilitas atau tuntutan zamannya sudah seperti itu. Tapi masih banyak pondok-pondok yang biayanya terjangkau, terbilang wajar.

Lantas banyak dari mereka yang akhirnya lari; belajarnya hanya lewat media internet yang serba instan, tinggal klik maka langsung dapat jawabannya. Walapun ini bisa menjadi alternatif dalam hal belajar, akan tetapi madlarat dari alternatif ini sama pentingnya untuk diperhatikan.

Coba bayangkan, ketika kita ingin mengerti tentang permasalahan hukum Tahlil, internet cenderung akan merekomendasikan link atau channel yang isinya adalah orang-orang dengan kedok agama, tetapi Islamnya sangat ekslusif dan seringnya konservatif dalam beragama, sehingga ini menjadi problem terbesar dari belajar yang hanya mencukupkan dari internet belaka.

Maka di sinilah pentingnya santri-santri yang menggunakan internet sebagai lahan dakwahnya, agar dunia maya atau internet juga stabil, bahkan agar orang-orang yang konservatif itu kalah dan tersingkirkan dengan banyaknya konten-konten yang moderat. Ihwal ini dikenal dengan rumus algoritma. Jadi, semakin banyak yang disukai konten-konten yang jelek, maka semakin sering keluar juga konten seperti itu ke permukaan, sehingga sangat mudah untuk dinikmati dan terus akan muncul lagi dan lagi sampai ada yang mengalahkan konten tadi.

Baca juga:  Corona, Sastra, dan Kutukan Tuhan?

Nah, cara untuk mengalahkan agar konten jelek tadi tidak keluar ke permukaan adalah dengan mengisinya dan menjadi lawan konten tadi. Tentunya dengan konten yang baik-baik, yang moderat.

Kemudian banyak juga dari kaum muda yang terkadang belajarnya itu melompat; dia banyak membaca dan mempelajarinya namun yang dijadikan bahan bacaanya itu terlampau tinggi di usianya yang seharusnya belum saatnya membaca dan mempelajarinya.

Setelah ditelusuri, ternyata memang banyak dari mereka yang bacaanya buku-buku pemikiran modern yang sedikit-banyak tersisipi liberalisme, juga buku-buku filsafat yang tidak berurutan yang seharusnya sebelum membaca buku-buku seperti ini, hendaknya mereka mengisi bangunan dasarnya dulu, suatu pondasi yang akan mengokohkan imanya. Sehingga ketika nantinya membaca buku-buku tersebut dia bisa mengembangkanya, bukan malah menabrak sisi-sisi yang sudah paten dalam Islam, atau sisi-sisi yang seharusnya bisa dia kembangkan seandainya dulu dia sudah membuat pondasinya.

Alih-alih mereka berpura-pura menjadi Ateis, lantaran ekspetasinya gagal terhadap Islam. Seakan-akan dia mempunyai teori sendiri untuk Islam. Mereka menghendaki Islam sesuai keinginanya semata, sesuai dengan teori-teori liar hasil bacaan mereka. Dan  ketika pada kenyataanya Islam tidak sesuai dengan keinginanya mereka akan berateis dini.

Potret dari mereka seperti ini, dia menyoal kenapa Allah swt menghukum mahluknya yang bermaksiat atau kufur terhadapnya, padahal itu kehendaknya sendiri. Ini perlu dijawab dengan matang, pertama, Allah swt ketika menciptakan manusia itu sekaligus menyertakan dua macam Af’al yang Idltirori dan Ikhtiyari.

Secara sederhana Idltirori itu pores kerja tubuh manusia yang tidak bisa tidak hanya dilakukan oleh kuasa Allah swt. Misalnya detak jantung, getar tangan saat menggigil kedinginan. Adakah yang bisa mengatur detak jantung agar lebih pelan, atau yang bisa menahan gigilan saat kedinginan, inilah makanya Af’al ini dinamai Idltirori.

Kalau Ikhtiyari itu proses kerja manusia yang dasar Af’al nya itu dari Allah swt, tetapi yang mengeksekusi apakah pekerjaan itu akan dilakukan atau tidak tergantung dengan kehendak murni manusianya. Di sinilah letak terkenanya hukum taklif bagi manusia. Pada dasarnya Allah swt hanya menitipkan –istilah Syeh Ramdlan Bouti- sirr atau –istilah Syeh Abu Bakar al-Baqilani- Asl alFi’l untuk manusia agar manusia itu bisa mengerjakanya dan yang menentukan betul pekerjaan itu -baik buruk atau tidak- akan dikerjakan atau tidak hanya manusia, sekali lagi hanya manusia, sehingga jangan ada yang mengelak ketika Allah swt mengadzab lalu mereka mengatakan “kenapa kami diazab, Bukankan ini kehendakmu?”.

Baca juga:  Salat Lebih Baik daripada Allah

Dari awal Allah swt hanya membantu manusia agar bisa melakukan hal-hal yang mereka kehendaki, sekarang jika kita tidak pernah diberi sirr atau Asl al-Fi’l tadi yang keduanya masih dibawah kehendak Allah swt juga, maka kita tidak akan mampu berbuat apa-apa. Bukankah manusia mahluk yang tidak bisa apa-apa dihadapan Tuhannya. La Khaula wa La Quwwata illa Billah

Kemudian jawaban kedua seperti ini, dalam teori teologi Islam Ulama membedakan antara Amr dan Irodah. Di samping keduanya jelas-jelas berbeda secara definisi, antara kehendak Allah swt dengan perintahnya Juga tidak identik. Artinya tidak mesti yang dikehendaki Allah swt itu sesuai apa yang telah diperintahkan olehnya.

Kita ambil contoh kufurnya Abu Jahl, ini merupakan kehendak Allah swt namun bukan perintahnya, karena Allah swt tidak pernah menyuruh hambanya untuk menyekutukannya. Jadi, seperti inilah format kekuasaan dan keagungan Allah swt memiliki hak progratif yang tidak dimiliki Dzat manapun, karena seandainya hak preogratif ini dimiliki Dzat lain maka Allah swt akan disifati dengan ‘Ajz atau lemah dan itu tidak mungkin alias mustahil.

Agar memudahkan gambaran atas jawaban di atas mari simak analogi sederhanya, ketika ada majikan yang ingin menguji budaknya, apakah dia budak yang jujur atau pembohong, maka suatu hari sang majikan memberikan uang untuk dibelanjakan oleh si budak tadi di pasar. Seandainya budaknya jujur maka dia akan pulang lalu menyerahkan uang kembalianya akan tetapi jika ternyata seorang pembohong maka dia akan pulang tanpa menyerahkan uang kembalianya.

Baca juga:  Mengurai Era Kenabian di Tanah Jawa

Di contoh ini, berangkatnya sang budak itu berkat suruhan sang majikan atau di sini sebagai sirr atau Asl al-Fi’l nya, sedangkan di sisi lain lihat, di situ sang budak juga diberi kebebasan untuk memilih apakah dia akan membohongi atau jujur kepada majikanya, inilah yang disebut Iktiyar, yaitu kehendak bebas yang dimiliki manusia, karena inilah juga manusia bisa terkena atau pantas mendapatkan pahala atau dosa tergantung perbuatannya. Atau analogi kedua seperti ini, ada guru yang akan menguji muridnya, sang guru menyuruh murid untuk mengerjakan beberapa soal, lantas diakhir ujian ternyata sang murid gagal dalam ujiannya. Apakah kemudian sang murid dianggap benar tatkala mengatakan “saya dipaksa untuk gagal dalam ujian ini” jawabanya tidak. Karena guru hanya memberikan materi pelajaran, sisanya ditanggung sang muid alias tergantung kehendak bebasnya.

Kalau dia ingin lulus maka dia akan mempersiapkan ujiannya dengan sungguh-sungguh, tetapi jika tidak, konsekwensinya akan tahu sendiri, yakni gagal. Materi pelajaran di sini layaknya sirr atau Asl alFi’l yang diberikan guru kepada muridnya, guru tadi hanya menitipkan sedang sisanya diserahkan kepada muridnya. Begitu juga Allah swt, hanya menititpkan sirr atau Asl alFi’l sisanya akan ditanggung hambanya.

Bersambung..

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top