Sunat atau khitan merupakan suatu hal yang baik, hal tersebut memang baik dilakukan pada laki-laki. Namun, pada perempuan hal tersebut tidak dianjurkan, mengapa demikian? Karena menurut Ilmu Kesehatan struktur kelamin perempuan dan laki-laki itu berbeda, oleh karena itu dalam perawatannya juga berbeda.
Praktek sunat pada perempuan atau istilah lainnya P2GP (Pemotongan/Perlukaan Genitalia Perempuan) di Indonesia sendiri masih banyak dilakukan, seperti di daerah Ciamis, Cianjur, riau, jambi, banten, jateng dan beberapa daerah lainnya terutama di daerah yang masih menjunjung nilai adat dan tradisi sehingga beranggapan bahwa sunat pada perempuan dianggap wajib.
Pemberi layanan sunat perempuan di wilayah perkotaan pada umumnya dilakukan oleh tenaga kesehatan, sedangkan di pedesaan biasanya dilakukan oleh dukun sunat atau dukun beranak. Menurut Dr. Hadi saat mengisi acara Halaqoh Online Pencegahan P2GP Pada hari jumat tanggal 27 Agustus 2021 bahwa 18% Fasyankes dan organisasi profesi melakukan praktik sunat dan 74% telah mengkhitankan anak pada berbagai layanan yang menyediakan sunat perempuan.
Karakteristik anak perempuan yang pernah disunat adalah tamat SD mencapai 52,8%, yang terjadi di daerah perkotaan sekitar 55,8% dan kalangan menengah atas sekitar 55,6%. Sebanyak 10% sunat perempuan dilakukan bersamaan dengan paket persalinan (sumber: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM 2017).
Tingginya angka sunat pada perempuan dilatarbelakangi oleh berbagai hal pertama, doktrin agama yang mana dalam Islam sendiri terdapat banyak perbedaan pandangan dalam memandang praktek sunat pada perempuan. Bagi pengikut mazhab Syafi’i, mereka meyakini bahwa sunat perempuan merupakan sebuah perintah agama. Dengan adanya pandangan tersebut otomatis akan melanggengkan praktek tersebut.
Kedua tradisi, banyak daerah yang masih mempertahankan tradisi sunat pada perempuan misalnya, Bagi masyarakat etnis Lampung sunat pada perempuan dipandang sebagai sunat sebai atau tradisi yang diwariskan secara turun temurun, sehingga dilarang untuk tidak melaksanakannya. Dalam pandangan mereka perempuan yang disunat dinilai lebih cantik dan berwibawa dan sebaliknya perempuan yang tidak disunat dianggap tidak cantik dan tidak berwibawa karena melanggar tradisi dan ajaran agama.
Menurut Dr. Muhammad Fadli,sp.OG dalam acara Ngaji KGI (Kajian Gender Islam) pada sabtu, 05 Juni 2021, dalam dunia kedokteran tidak ada kurikulum mengenai pemotongan atau sunat pada perempuan karena anatominya berbeda dengan laki-laki. Namun, meskipun dalam ilmu kedokteran tidak dibenarkan praktek sunat perempuan akan tetapi prosesnya dilapangan masih banyak dilakukan oleh tenaga kesehatan misalnya Bidan, karena untuk memenuhi permintaan orang tua dan masyarakat meskipun berlawanan dengan prinsip pribadinya.
Perlu kita ketahui bahwa sunat pada perempuan sama sekali tidak membawa manfaat bahkan berdampak negatif. Beberapa dampak sunat pada perempuan diantaranya pada perempuan yang sudah menikah dan bilamana bekas operasi atau keloidnya muncul maka perempuan akan merasakan kesakitan dan enggan untuk melakukan hubungan seksual serta pada beberapa perempuan akan kurang merasakan kenikmatan dalam berhubungan seksual.
Selain itu, pada perempuan dewasa dampak negatif yang mungkin muncul diantaranya keputihan yang terus menerus (infeksi), gangguan menstruasi, pendarahan, bengkak serta bisa menimbulkan infeksi saluran buang air kecil.
Meskipun semua perempuan yang disunat tidak merasakan dampak negatifnya namun hal tersebut bukan berarti prakteknya harus tetap dibudayakan. Karena sunat pada perempuan merupakan salah satu bentuk kekerasan karena bersifat melukai dan menyakitkan. Jika sunat dipandang sebagai sesuatu yang dianggap adil, apakah tindakan yang disebut adil tersebut adil untuk perempuan? Karena sesuatu dapat dikatakan adil jika berdampak baik untuk perempuan.
Dalam Islam sendiri Allah memandang manusia baik laki-laki maupun perempuan sama derajatnya, yang membedakan hanya ketaqwaannya saja. Dalam taqwa sendiri syaratnya adalah bisa berbuat adil, dan syarat adil sendiri salah satunya adil pada perempuan (salah satunya tidak menyakitinya dengan praktek khitan).
Beberapa pandangan yang melarang praktek sunat pada perempuan adalah Ulama Azhar yang berpandangan bahwa Khitan pada perempuan hukumnya haram dan pelakunya bisa dipidanakan. Selain itu Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) juga tidak memperbolehkan praktek sunat pada perempuan karena menjaga organ tubuh adalah kewajiban dan merasakan nikmat hubungan seksual adalah hak perempuan.
Dengan tingginya angka praktik sunat perempuan perlu adanya kolaborasi antara para tenaga kesehatan, tokoh agama, tokoh adat, tenaga pendidik dan para aktivis dalam mengkampanyekan stop sunat pada perempuan dan sosialisasi bahaya sunat perempuan. Selain itu penelitian dan sosialisasi berkelanjutan sangat diperlukan karena praktek ini harus segera dihentikan.
Secara medis sunat pada laki-laki memang banyak manfaatnya namun sunat pada perempuan tidak ada manfaatnya. Karena suatu hal yang maslahat untuk laki-laki belum tentu maslahat untuk perempuan. Praktek sunat perempuan salah satu bukti belum merdekanya dari kebiadaban.