Sabyan Gambus dengan vokalis bernama Nissa tengah populer di masyarakat. Lagu-lagu seperti “Deen As-Salam”, “Ya Habibal Qolbi”, “Ya Jamalu”, “Rohman Ya Rohman”, “Ya Asyiqol Musthofa” sering diputar oleh berbagai kalangan, mulai dari kaum muda hingga kaum tua. Jika melihat jumlah viewers dan subcribers lagu-lagu mereka di Youtube, tidak dapat disangkal bahwa jumlahnya sangatlah menakjubkan. Selama Ramadan 2018, mereka juga sering diundang untuk manggung di beberapa stasiun televisi.
Personel Sabyan Gambus terdiri dari Ahmad Fairuz (keyboard), Khoirunnisa (vokalis), Sofwan Yusuf (perkusi), Kamal (darbuka), Tubagus Syaifulloh (biola) dan Anisa Rahman (backing vokalis). Dalam wawancara di sebuah stasiun televisi, mereka mengungkapkan bahwa sebelum populer seperti sekarang, mereka sering tampil di pesta pernikahan.
Mereka mengusung musik gambus dan salawat sebagai jenis musik yang mereka tampilkan di muka publik. Maka, Sabyan Gambus dan musik ‘islami’ mereka dapat dilihat sebagai sebuah fenomena kebudayaan tersendiri.
Dengan menilik lanskap sosio-kultural, tulisan ini hendak mengidentifikasi sebuah fase proses islamisasi dalam koridor musik. Penulis berusaha mengurai mengapa Sabyan Gambus mampu mencuri perhatian dan menjadi idola masyarakat dalam selera musik mereka.
Pertama, mereka mampu mendayung di atas arus islamisasi yang terus bergerak. Dengan genre gambus yang identik dengan musik arab dan mengusung lagu-lagu ‘islami’, musik mereka menjadi semacam oase yang menghapus dahaga kaum menengah muslim akan hadirnya apa yang disebut sebagai ‘musik islami’. Mereka berhasil dengan sangat gemilang memadukan antara unsur ‘islami’ dan ‘modern’ dalam cara bermusik mereka. Persis seperti yang didambakan kaum menengah muslim.
Dengan mengusung kemasan moderen dan aransemen lagu yang memikat, Sabyan Gambus menunjukkan bahwa mereka siap untuk masuk gelanggang musik nasional dengan ciri khas dan warna tersendiri. Grup musik ini seakan menggambarkan perpaduan antara simbol-simbol islam dan ikon modern dalam balutan nada dan irama.
Sang vokalis yang berjilbab, berparas cantik, bersuara merdu, dan berpenampilan trendy adalah simbol akomodotif yang memadukan unsur ‘islam’ dan modernitas. Perpaduan inilah yang telah lama dinanti oleh para kaum menengah muslim.
Apalagi selepas beberapa peristiwa politik di tahun 2018 ini yang mengatasnamakan Islam, masyarakat sangat gandrung akan hal-hal yang berkaitan dengan Islam walaupun itu dalam ranah budaya populer. Masyarakat seakan butuh hal-hal yang mampu menegaskan identitas keislaman mereka. Maka, kemunculan Sabyan Gambus menjawab kegelisahan dan kebutuhan masyarakat untuk mencecap musik ‘islami’.
Jalin kelindan antara budaya populer dan kaum menengah muslim pernah ditulis oleh Wasisto Raharjo Jati. Ia menyatakan bahwa beberapa kelompok masyarakat merasa sudah islami ketika menggunakan produk syariah seperti jilbab syar’i, pakaian islami, bank syariah, makanan berlabel halal, dan perumahan syar’i, walaupun tanpa melakukan peribadatan agama.
Jenis musik seperti Sabyan Gambus juga rawan untuk terjatuh ke dalam pemaknaan seperti di atas. Pemaknaan yang memandang musik ‘islami’ hanya sebagai target konsumsi, gaya hidup hedonis, penegasan identitas, dan pencarian kenikmatan belaka.
Gelombang islamisasi yang ‘hanya’ menekankan pada label, nama, dan identitas belaka, harus ditilik secara kritis. Apakah hal itu benar-benar mengandung nilai-nilai keislaman atau tidak. Sabyan Gambus harus bergerak lebih jauh untuk menyuarakan nilai-nilai Islam kepada publik.
Kedua, Sabyan Gambus berhasil menggunakan media sosial dengan baik untuk mempromosikan karya-karya mereka. Video-video mereka di Youtube ditonton jutaan orang. Hal ini berhasil menggeser pakem lama dalam dunia musik yang harus melewati banyak tahapan untuk bisa dikenal masyarakat.
Televisi dan radio sebagai medium untuk menampilkan grup-grup musik sudah mulai tergantikan. Media sosial memangkas itu semua, menjadi idola baru. Menyasar generasi milineal yang sangat akrab dengan gawai berisikan aplikasi musik seperti YouTube, Spotify, dan Joox. Sabyan Gambus sebagai sebuah fenomena kebudayaan berhasil berjalan di atas dua tapak; arus islamisasi dan gelombang media sosial.
Sabyan Gambus hanya satu contoh . Ada beberapa kelompok serupa yang menyuarakan Islam melalui medsos dan kini juga ngehits di YouTube. Duet suami istri Vira dan Iqbal, misalnya, pun menyedot banyak penggemar di medsos. Keduanya juga menyanyikan ulang Deen As-Salam, lagu yang mendadak ngetop sepanjang Ramadan hingga Syawal ini .
Politik Identitas dalam Musik ‘Islami
Sabyan Gambus setidaknya dapat dikategorikan sebagai musik ‘islami’ dari dua hal. Pertama, ia mengusung salawat dan lagu berbahasa Arab, walaupun tidak semua lagu Arab itu islami.
Kedua, para personil perempuan memakai jilbab sebagai penegasan akan identitas muslim mereka. Tentu Islam tidak sesederhana definisi ini, namun dari tampilan dan isi lagu mereka, masyarakat mengerti bahwa itu adalah musik islami.
Seni musik dipercayai bersifat universal dan dapat dinikmati siapa pun. Namun faktanya, beberapa jenis musik memang hanya dapat dinikmati oleh beberapa kelompok masyarakat saja. Penggemar dangdut biasanya berbeda dengan penggemar jazz, sehingga musik mampu menjadi simbol identitas seseorang.
Maka itu, persoalan mendengarkan musik tidak hanya sekedar menikmati nada dan irama. Namun, juga berkaitan dengan ‘dia’ dan ‘mereka’. Musik dapat dipandang sebagai penegasan identitas.
Dalam konteks ini, bagi beberapa orang terutama kaum menengah muslim, mendengarkan lagu-lagu Sabyan Gambus tidak hanya bahwa mereka menikmati nada lagu tersebut. Tapi, mereka menegaskan identitas ‘keislaman’ dan ‘ke-muslim-an’ mereka dengan cara mendengarkan lagu-lagu tersebut.
Seakan-akan dengan mendengarkan Sabyan Gambus, identitas ‘islam’ mereka dianggap menguat. Apakah mendengarkan musik sesuai dengan ajaran islam atau tidak, itu adalah persoalan lain. Apakah lirik-lirik lagu berbahasa arab itu benar-benar merepresentasikan nilai-nilai Islam, bisa jadi bukan menjadi perhatian utama mereka.
Tak heran, lagu-lagu ini banyak terdengar di perkantoran, mall, stasiun televisi, dan mobil sebagai ruang dimana kaum menengah muslim sering tinggal.
Model musik Sabyan Gambus ini menjadi tanda akan sebuah bentuk alternatif islamisasi dalam bidang musik. Musik sebagai salah satu ruang dalam medan ‘perang’ kebudayaan akan selalu dipengaruhi dengan saling silang budaya, tawar menawar identitas dan tumpang tindih ideologi. Ruang pemaknaan akan sebuah musik akan selalu bergantung terhadap lanskap sosial, politik dan budaya yang mengitarinya.