Terdapat tiga penulis dalam bagian dua ini, yakni Anne K. Rasmussen, Matthew Isaac Cohen, dan Uwe U. Pätzold. Berbeda dengan para kontributor lainnya dalam buku Divine Inspirations: Music and Islam in Indonesia ini, Rasmussen melihat pertunjukan musik Islami melalui pembacaan Alquran oleh perempuan dengan nyanyian dan musik.
Pertunjukan musik yang diteliti oleh Rasmussen melibatkan perempuan yang berpartisipasi dalam berbagai genre musik, misalnya qasidah modern Indonesia atau musik gambus, dan menyanyikan lagu-lagu salawat dan tawashshih untuk memuji nabi Muhammad. Lazimnya, pertunjukan tersebut diikutkan dalam acara ritual, festival, maupun kompetisi.
Selain pertunjukan musik, Rasmussen juga menyoroti qari perempuan. Ia berpendapat bahwa bagi sebagian besar umat Islam Indonesia, suara dan tubuh perempuan bukan “awra”–dari bahasa Arab (aurat), melainkan “biasa saja” dalam bahasa Indonesia. Ciri khas tilawah para qari di Indonesia ialah dengan mode musik Arab dan dalam penampilan gaya Mesir, dengan karakteristik: Maqam Bayyati, Maqam Saba, Maqam Ajam, Maqam Hijaz, Maqam Sikah, Maqam Nahawand, dan Maqam Rast.
Sementara itu, Cohen menawarkan tentang kesenian yang berada di Cirebon, yakni seni “brai” atau dalam bahasa Jawa berarti gairah. Tradisi brai Cirebon dibedakan dari daerah lain karena geografi keramat Cirebon. Hal tersebut disebabkan semua Muslim Cirebon mengakui Astana Gunung Jati sebagai situs suci dan puncak spiritualitas yang merupakan makam Sunan Gunung Jati–sang wali yang mendirikan kesultanan Cirebon.
Secara historis dan kontemporer, brai dilakukan oleh suatu kelompok, baik laki-laki maupun perempuan yang bernyanyi dalam bahasa Arab dan Jawa. Kesenian ini diiringi dengan tepukan dan perkusi yang bersemangat. Rasa kegembiraan yang disebabkan oleh musik inilah kunci dari kinerja brai.
Adapun Pätzold, memaparkan mengenai gaya seni gerak atau yang lazim disebut dengan pencak silat. Dalam penelitiannya ini, ia berfokus pada tradisi pencak silat dan iringan musik tertentu sambil mempertimbangkan pentingnya keterkaitan antara Islam, seni bela diri, dan musik. Seni musik dan pencak silat dalam konteks Muslim, secara historis sebagai sarana dakwah, tugas misi Islam yang hadir sejak zaman wali sanga.
Musik dan pencak silat telah digunakan sebagai media untuk menarik massa lokal dan menyebarkan Islam, khususnya ke seluruh Jawa Barat pada masa awal Islamisasi. Di Jawa Barat, seni musik dan gerak diperbolehkan selama menyediakan sarana yang diwujudkan berdasarkan ajaran Alquran.
Dalam ajaran pencak silat di pesantren-pesantren Cianjur, aspek ini dikonseptualisasikan sebagai èlmu asrol, yakni keyakinan tentang kekuatan aktivitas fisik sebagai wujud penyatuan dengan Tuhan. Pencak silat dan musik yang diilhami Islam, misalnya kesenian kuntulan, dari Cirebon dan Indramayu.
Dari Gambus sampai Musik Etnik Sunda
Charles Capwell, Birgit Berg, dan Wim Van Zanten berkontribusi pada bagian tiga. Capwell dan Berg sama-sama memaparkan tentang musik gambus, tetapi perbedaannya jika Capwell berfokus pada grup musik “Debu”, sedangkan Berg mengeksplorasi posisi musik gambus etnis Arab di wilayah Gorontalo dan Manado.
Menurut Capwell, Debu dan para penggemarnya adalah contoh dalam Islam Indonesia yang berkaitan dengan konsep modernitas. Musik mereka telah membantu membangun ruang publik untuk mewujudkan cara menjadi modern dan Muslim.
Adapun Berg mengatakan bahwa musik gambus Gorontalo diiringi oleh kendang yang dikenal sebagai maluwasi. Musik gambus yang diiringi tarian ini dikenal sebagai dana-dana–istilah daerah untuk genre musik atau tarian zapin Melayu. Sementara itu, di Manado musik gambus digunakan dalam pesta pernikahan.
Terlepas dari itu, musik gambus juga dilakukan pada program-program untuk menyambut awal bulan puasa Ramadan dan pada berbagai program Halal bi Halal. Ada perbedaan musik gambus dulu dan sekarang. Pertama, hampir semua lagu dalam gambus modern berbahasa Arab; kedua, musik gambus lama kebanyakan adalah lagu salawat–pujian kepada Nabi Muhammad SAW, sedangkan gambus saat ini justru memodernisasi gambus lama.
Sementara itu, Van Zanten mengeksplorasi perdebatan tentang musik dan Islam di Indonesia, khususnya di Jawa Barat. Berbagai jenis nyanyian yang memakai bentuk syair khusus, seperti macapat, Cigawiran, atau beluk, telah digunakan dalam ajaran Islam sejak Islam masuk ke Jawa Barat.
Van Zanten mengambil contoh salah satunya pada grup musik Bimbo. Bimbo menggunakan unsur musik dari Jawa Barat, misalnya suling bambu dalam lagunya yang berjudul “Marhaban”.
Selain itu, pimpinan grup Ath-Thawaf, Yus Wiradiredja seorang musikal Cianjur tahun 1960 yang belajar memainkan kecapi serta menyanyikan lagu-lagu Tembang Sunda Cianjuran sejak usia dini. Ath-Thawaf sendiri berarti pemenuhan kewajiban agama dengan mengelilingi Ka’bah di Mekah sebanyak tujuh kali. Menurut Van Zanten, Yus mengartikan nama kelompok ini sebagai pencarian kebenaran.
Grup Ath-Thawaf melibatkan alat musik Sunda, seperti gendang, gambang, suling bambu, dan kecapi. Pula terdapat instrumen baru yang dibuat berdasarkan model Sunda lama, misalnya instrumen perkusi puklung.
Ratéb Meuseukat sampai Dangdut
Di bagian terakhir ini, terdapat Margaret Kartomi, R. Franki Notosudirdjo, dan Andrew Weintraub.
Kartomi membahas tentang tari Ratéb Meuseukat di Aceh. Ratéb meuseukat atau lazim disebut meuseukat adalah genre lagu dan tarian di kabupaten Nanggroe Aceh Darussalam. Meuseukat dibawakan oleh barisan perempuan dalam posisi duduk–sambil berlutut atau berdiri, para pesertanya dapat menyanyikan teks-teks dari liturgi Muslim (diké atau liké).
Meuseukat, menurut Kartomi, menampilkan musik vokal dengan teks agama dan perkusi tubuh (body percussion). Efek kumulatif dari pengulangan nama-nama Allah dan para nabi dalam pertunjukan telah meningkatkan kesadaran akan kehadiran ilahi. Seperti aliran sufi lainnya, meuseukat bertujuan untuk memperoleh penglihatan ilahi melalui ilmu kebatinan (tasawuf).
Dalam pembahasannya, R. Franki Notosudirdjo menuturkan pengaruh Islam dalam musik kontemporer Indonesia dengan melihat karya komposer Trisutji Kamal. Menurutnya, komposisi Trisutji mengangkat isu-isu modernitas dalam konteks pembaruan budaya Islam.
Pada awal 1990-an, setelah kembali dari Mekah, Trisutji mulai memasukkan instrumen pribumi dan unsur musik-religius Islam dalam komposisinya. Karyanya yang paling representatif dalam nada ini ialah komposisi berjudul “Persembahan”. Trisutji menggunakan puisi-puisi Emha Ainun Najib–seorang Muslim, penyair, dan musisi terkemuka. Teksnya disajikan dalam dua bentuk, yakni dalam pembacaan puisi dan sebagai lirik yang dinyanyikan.
Dalam bab terakhir, Andrew Weintraub mengkhususkan penelitiannya pada musik dan tarian dangdut. Menurut Weintraub, dangdut merupakan musik yang paling banyak beredar di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya Muslim. Elemen dasar dari musik dangdut mulai mengkristal dalam musik orkes Melayu di Jakarta dan Surabaya selama akhir 1950-an dan awal 1960-an.
Ia mengingatkan, bahwa tidak semua penilaian tentang karakter moral dangdut berakar pada Islam, tetapi juga kepentingan lain, seperti politik dan ekonomi, telah menjadi faktor deterministik dalam membatasi musik.
Weintraub menjadikan Rhoma Irama sebagai studi kasus penelitiannya. Rhoma ialah seorang musisi, komposer, produser rekaman, bintang film, dan penyebar Islam. Rhoma Irama yang lahir pada 1947 menempati posisi sentral dalam sejarah dangdut. Ia merasa bahwa musik harus digunakan untuk memberikan nasihat tentang menjalani kehidupan yang benar.
Rhoma Irama juga menjadikan dangdut yang terurbanisasi, termediasi massa, dan terkomodifikasi menjadi sebuah bentuk Islam kerakyatan, yakni terlokalisasi, pragmatis, dan performatif. Menurut Weintraub, Rhoma melokalisasi Islam dengan mengatasi masalah sosial dan politik tertentu dalam musiknya.
Bagi Weintraub, meski bukan musik islami, dangdut telah meramaikan perdebatan tentang hakikat dan makna Islam.
Pertama, berakar pada musik pop Melayu yang berhubungan dengan Islam baik sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia. Kedua, pencipta gaya dangdut menekankan pelatihan lantunan Alquran sebagai elemen penting dalam menghasilkan ornamen vokal dangdut yang khas. Ketiga, dangdut telah digunakan sebagai alat untuk dakwah tentang menjalani kehidupan Muslim yang layak.
Pada akhirnya, antara agama Islam dan musik dalam budaya Indonesia saling memiliki keterkaitan dan pada kenyataannya tidak dilarang (haram). Pertama, musik digunakan sebagai sarana islamisasi pada masa wali sanga, misalnya gamelan. Kedua, musik digunakan dalam sebuah ritual keagamaan. Ketiga, musik sebagai spiritualitas sehingga dengannya dapat menyatukan diri kepada ilahi.