Sehari sebelum Natal, umat Kristiani kehilangan sosok penting global yang juga mendapatkan apresiasi tinggi di kalangan kelompok Muslim, terutama di Palestina dan Myanmar. Nama lengkapnya Desmond Mpilo Tutu, ia lahir di Transvaal Barat, Afrika Selatan 90 tahun lalu. Semasa hidupnya, Desmond terlibat aktif dalam memperjuangkan isu keseteraan dan keadilan bagi warga kulit berwarna. Ia bahkan dikenal ulet dalam menyuarakan narasi anti-apartheid yang sempat memecah belah Afrika Selatan di masa lampau.
Lahir dari keluarga papa, ayah seorang guru dan ibu yang bekerja sebagai tukang masak sekaligus staf cleaning service di sekolah, Desmond kecil sudah terbiasa menghadapi kondisi penuh keterbatasan, termasuk berada di lingkungan diskriminatif yang memisahkan murid kulit hitam dan putih di ruang yang berbeda saat menimba ilmu.
Meski di saat yang sama, ia memahami betul bahwa ia diperlakukan tidak adil, namun Desmond mecoba menjalani kehidupan masa kecilnya dengan bahagia, “Kami paham bahwa (waktu itu) kami hidup penuh dengan kekurangan,” kenangnya kemudian dalam suatu wawancara dengan Academy of Achievement, “Jelas berbeda bila dibandingkan dengan nasib anak-anak kulit putih, tapi masa itu apa yang bisa kami lakukan? Maksud saya, minimal kami bisa memaksimalkan apa yang kami miliki: kami membuat mainan untuk diri kami sendiri dengan kabel, membuat mobil, dan benar-benar gembira!”
Dalam perjalanannya, meski sempat mendapati tindakan diskriminatif di lingkungan sekolah. Justru pengalaman yang berbeda ia peroleh dari salah satu pastor kulit putih yang tak sengaja ia jumpai. Waktu itu, Tutu ingat betul ketika ia sedang berjalan-jalan dengan ibunya, seorang pria kulit putih, pendeta bernama Trevor Huddleston, memberikan topinya padanya secara spontan—pertama kali dalam sejarah hidup Tutu ia melihat seorang pria kulit putih yang rela memberikan penghormatan kepada seorang wanita kulit hitam dan anak laki-laki kecilnya. Insiden itu membuat kesan mendalam pada Tutu, dan mengajarinya bahwa diskriminasi hanyalah tindakan yang coba dinormalisasikan dan tak dapat terus menerus dilanggengkan. Di saat yang sama, ia juga melihat peluang bahwa agama pun bisa menjadi alat yang ampuh untuk mengadvokasi kesetaraan ras.
Yang menarik, pengalaman tidak menyenangkan Tutu semasa kecil justru membuat Tutu mengejar karier di lingkungan akademik mengikuti jejak ayahnya. Ia memutuskan menjadi guru dan mengajar di Pretoria Bantu Norm College. Namun pada tahun 1953, ia memutuskan berhenti menjadi guru setelah pengesahan Akta Pendidikan yang digunakan sebagai landasan aturan segregasi rasial di sekolah-sekolah.
Kurang cocok dengan sistem pendidikan yang masih diskriminatif, Desmond Tutu akhirnya masuk ke lingkungan gereja yang juga menentang keras sistem apartheid, termasuk Uskup Trevor Huddleston. Pada tahun 1960, ia ditahbiskan sebagai imam Anglikan dan dua tahun setelahnya ia pindah ke Inggris untuk belajar teologi di King’s College London. Tak berlama-lama di Inggris, pada tahun 1966 ia kembali ke Afrika bagian selatan, dan mengajar di Seminari Teologi Federal dan Universitas Botswana, Lesotho serta Swaziland.
Tutu semakin dikenal publik internasional ketika ia menjadi orang kulit hitam pertama yang diangkat sebagai dean Anglikan Johannesburg pada tahun 1975. Dalam posisi inilah ia muncul sebagai salah satu figur utama dalam gerakan anti-apartheid Afrika Selatan, hal yang justru memancing risiko politik, terlebih banyak pemimpin terkemuka gerakan tersebut sebelumnya dipenjara atau diasingkan.
Pada tahun 1976, tak lama setelah ia diangkat sebagai Uskup Lesotho, Tutu justru semakin gigih memperjuangkan gerakan anti rasis-nya. Ia menulis surat kepada perdana menteri Afrika Selatan bahwa jika pemerintahannya tidak segera memperbaiki kesenjangan rasial, hal tersebut akan banyak membawa dampak negatif, namun surat Tutu hanya masuk laci. Ia diabaikan.
Tak berhenti hanya sampai di situ, saat Tutu terpilih sebagai warga kulit hitam pertama yang menjabat sebagai sekretaris jenderal Dewan Gereja Afrika Selatan, ia terus menggunakan posisinya dalam hierarki agama Afrika Selatan untuk mengadvokasi diakhirinya apartheid, “Sama seperti melihat kekejian yang dilakukan oleh Nazi, saya juga melihat apartheid sebagai tindakan tak bermoral dan jauh dari nilai-nilai Kristiani.”
Atas kerja-kerja kemanusiaanya, di tahun 1984, Tutu menerima Hadiah Nobel Perdamaian sebagai tanda dukungan kepadanya, Dewan Gereja-Gereja Afrika Selatan yang dipimpinnya, juga kepada semua individu dan kelompok di Afrika Selatan telah berjuang keras merajut persaudaraan dan demokrasi. Diganjarnya Tutu dengan hadiah Nobel Perdamaian mengubah gerakan anti-apartheid Afrika Selatan menjadi kekuatan yang menggugah simpati mendalam di seluruh dunia. Penghargaan itu juga mengangkat Tutu ke status pemimpin dunia yang tak pernah lelah menyuarakan isu-isu kemanusiaan termasuk opresi Israel terhadap Palestina.
Dalam wawancaranya dengan jurnalis kawakan Amina Chaudary, ia menyampaikan bahwa apa yang dilakukan pemerintah Israel justru bertentangan dengan prinsip utama ajaran Yahudi, “ada orang-orang yang membenarkan pendudukan Israel atas tanah Palestina sebagai pemenuhan dari apa yang telah dijanjikan Tuhan.
Tetapi kemudian Anda juga dapat membaca dari kitab yang sama, mereka akan dihakimi dengan sangat keras karena Tuhan yang mungkin telah menjanjikan mereka tanah tersebut adalah Tuhan yang sama dari para janda, anak yatim dan orang asing yang menjadi korban tindakan bengis mereka. Dan sudah cukup jelas bahwa Tuhan tidak akan menyambut tindakan keagamaan yang tidak memuat prinsip-prinsip keadilan, kasih sayang dan hal-hal semacam itu. Sehingga tak perlu berdebat lagi, yang Israel lakukan pada Palestina sangat bertentangan dengan ajaran terbaik dan ajaran tertinggi dari iman mereka.”